KONSEP INTELEGENSIA
A. Penemuan Seputar
Kecerdasan
Manusia adalah makhluk yang paling cerdas,
dan Tuhan, melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan yang paling kompleks.
Sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa manusia adalah makhluk yang
diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul asalkan bisa menggunakan
keunggulannya. Kemampuan menggunakan keunggulan ini dikatakan oleh William W Hewitt, pengarang buku The Mind Power, sebagai faktor yang
membedakan antara orang jenius dan orang
yang tidak jenius di bidangnya.
Sayangnya, menurut Leonardo Da Vinci,
kebanyakan manusia me-nganggurkan kecerdasan itu. Punya mata hanya untuk
melihat tetapi tidak untuk memperhatikan, punya perasaan hanya untuk merasakan
tetapi tidak untuk menyadari, punya telinga hanya untuk mendengar tetapi tidak
untuk mendengarkan dan seterusnya.
Thorndike adalah salah satu ahli yang
membagi kecerdasan manusia menjadi tiga, yaitu kecerdasan Abstrak, kemampuan
memahami simbol matematis atau bahasa, Kecerdasan Kongkrit, kemampuan memahami
objek nyata dan Kecerdasan Sosial – kemampuan untuk memahami dan mengelola
hubungan manusia yang dikatakan menjadi akar istilah Kecerdasan Emosional (
Stephen Jay Could, On Intelligence, Monash University: 1994)
Pakar lain seperti Charles Handy juga punya
daftar kecerdasan yang lebih banyak, yaitu: Kecerdasan Logika (menalar dan
menghitung), Kecerdasan Praktek (kemampuan mempraktekkan ide), Kecerdasan
Verbal (bahasa komunikasi), Kecerdasan Musik, Kecerdasan Intrapersonal
(berhubungan ke dalam diri), Kecerdasan Interpersonal (berhubungan ke luar diri
dengan orang lain) dan Kecerdasan Spasial (Inside Organizaion: 1990)
Bahkan pakar Psikologi semacam Howard
Gardner & Associates konon memiliki daftar 25 nama kecerdasan manusia
termasuk misalnya saja Kecerdasan Visual / Spasial, Kecerdasan Natural
(kemampuan untuk menyelaraksan diri dengan alam), atau Kecerdasan Linguistik
(kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), Kecerdasan Logika (menalar atau
menghitung), Kecerdasan Kinestik / Fisik (kemampuan mengolah fisik seperti
penari, atlet, dll), Kecerdasan sosial yang dibagi menjadi Intrapersonal dan
Interpersonal (Dr. Steve Hallam, Creative and leadership, Colloquium in
Business, Fall: 2002).
B. Definisi Intelligence
Quontient, Emotional Quontient Dan Spiritual Quontient
1. Kecerdasan Intelektual (IQ)
Orang sering kali
menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini
mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi
adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan
menghadapi lingkungannya secara efektif.
Secara garis besar
dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang
melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak
dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai
tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari zqproses berpikir rasional itu.
sedangkan IQ atau singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang
diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan
sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan
kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Intelligence
Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan
kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli
psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari
Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet
dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut
dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ)
merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya
bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut.
Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak
sampai usia 13 tahun.
Inti kecerdasan
intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita.
Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan
kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh
cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15
triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya
organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori
otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius
memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa
memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan
seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient)
memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut
penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar
umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic)
yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang
cukup.
IQ atau daya
tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada
sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi
memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang
kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping
faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan
emosional. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya.
Apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan
cepat dan banyak.
Rumus kecerdasan
umum, atau IQ yang ditetapkan oleh para ilmuwan adalah :
Usia
Mental Anak
|
x 100 = IQ
|
Usia
Sesungguhnya
|
Contoh : Misalnya
anak pada usia 3 tahun telah punya kecerdasan anak-anak yang rata-rata baru
bisa berbicara seperti itu pada usia 4 tahun. Inilah yang disebut dengan Usia
Mental. Berarti IQ si anak adalah 4/3 x 100 = 133.
Interpretasi
atau penafsiran dari IQ adalah sebagai berikut :
TINGKAT KECERDASAN
|
IQ
|
Genius
|
Di atas 140
|
Sangat Super
|
120 - 140
|
Super
|
110 - 120
|
Normal
|
90 -110
|
Bodoh
|
80 - 90
|
Perbatasan
|
70 - 80
|
Moron / Dungu
|
50 - 70
|
Imbecile
|
25-50
|
Idiot
|
0 - 25
|
Sudah bertahun-tahun
dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer)
dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standar mengukur kecerdasan seseorang.
Tetapi namanya juga temuan manusia, istilah tehnis yang berasal dari hasil
kerja Alfred Binet ini (1857 – 1911) lama kelamaan mendapat sorotan dari para
ahli dan mereka mencatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang
menuntut untuk diperbaruhi, yaitu:
a.
Pemahaman absolut terhadap skor
IQ
Steve Hallam berpandangan, pendapat
yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa
diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa
kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58%
merupakan hasil dari proses belajar.
b.
Cakupan kecerdasan manusia:
kecerdasan nalar, matematika dan logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan
bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak
pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu
bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan
dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike
Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.
2. Kecerdasan Emosional (EQ)
Emotional Quontient adalah istilah baru yang dipopulerkan oleh Daniel Golleman.
Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman (1995)
berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran
rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan
intelektual atau “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional
digerakkan oleh emosi.
Daniel Golemen,
dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ
bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan
oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis
itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat
fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan
keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya
sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan
bermanfaat.
Kecerdasan
emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan
mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu
mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi
manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara
otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu
dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak
emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional
hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
Beberapa pengertian
EQ yang lain, yaitu:
Kecerdasan
emosional merupakan kemampuan individu untuk mengenal emosi diri sendiri, emosi
orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola dengan baik emosi pada diri
sendiri dalam berhubungan dengan orang lain (Golleman, 1999). Emosi adalah
perasaan yang dialami individu sebagai reaksi terhadap rangsang yang berasal
dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Emosi tersebut beragam, namun dapat
dikelompokkan kedalam kategori emosi seperti; marah, takut, sedih, gembira,
kasih sayang dan takjub (Santrock, 1994).
Ø Kemampuan mengenal emosi diri adalah kemampuan
menyadari perasaan sendiri pada saat perasaan itu muncul dari saat-kesaat
sehingga mampu memahami dirinya, dan mengendalikan dirinya, dan mampu membuat
keputusan yang bijaksana sehingga tidak ‘diperbudak’ oleh emosinya.
Ø Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan
menyelaraskan perasaan (emosi) dengan lingkungannnya sehingga dapat memelihara
harmoni kehidupan individunya dengan lingkungannya/orang lain.
Ø Kemampuan mengenal emosi orang lain yaitu
kemampuan memahami emosi orang lain (empaty) serta mampu mengkomunikasikan
pemahaman tersebut kepada orang lain yang dimaksud.
Ø Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan
mendorong dan mengarahkan segala daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan,
keinginan dan cita-citanya. Peran memotivasi diri yang terdiri atas antusiasme
dan keyakinan pada diri seseorang akan sangat produktif dan efektif dalam
segala aktifitasnya
Ø Kemampuan mengembangkan hubungan adalah
kemampuan mengelola emosi orang lain atau emosi diri yang timbul akibat
rangsang dari luar dirinya. Kemampuan ini akan membantu individu dalam menjalin
hubungan dengan orang lain secara memuaskan dan mampu berfikir secara rasional
(IQ) serta mampu keluar dari tekanan (stress).
Manusia dengan EQ
yang baik, mampu menyelesaikan dan bertanggung jawab penuh pada pekerjaan,
mudah bersosialisasi, mampu membuat keputusan yang manusiawi, dan berpegang
pada komitmen. Makanya, orang yang EQ-nya bagus mampu mengerjakan segala
sesuatunya dengan lebih baik.
Kecerdasan
emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan
daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang
manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati
sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya infomasi tidak
hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam
dirinya sendiri yakni suara hati. Malahan sumber infomasi yang disebut terakhir
akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca indra.
Substansi dari
kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian
disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan
orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap
bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar
bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti
kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik. Tidak
lain karena orang tersebut dapat merespon tuntutan lingkungannya dengan tepat.
Di samping itu,
kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen, visi, kreatifitas,
ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan diri. Oleh karena itu EQ
mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya (intra personal)
seperti self awamess (percaya diri), self motivation (memotivasi diri), self
regulation (mengatur diri), dan terhadap orang lain (interpersonal) seperti empathy,
kemampuan memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap orang
dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik. Kecerdasan emosional adalah kemampuan
seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan
maupun menyakitkan. Mantan Presiden Soeharto dan Akbar Tandjung adalah contoh
orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu mengendalikan emosinya
dalam berkomunikasi.
Dalam bahasa agama
, EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas". Pusat dari EQ
adalah "qalbu" . Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam,
mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat
mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah sumber
keberanian dan semangat , integritas dan komitmen. Hati merupakan sumber energi
dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan kerja
sama, memimpin dan melayani.
3. Kecerdasan Spiritual (SQ)
Selain IQ, dan EQ,
di beberapa tahun terakhir juga berkembang kecerdasan spiritual (SQ = Spritual
Quotiens). Tepatnya di tahun 2000, dalam bukunya berjudul ”Spiritual
Intelligence : the Ultimate Intellegence, Danah Zohar dan Ian Marshall
mengklaim bahwa SQ adalah inti dari segala intelejensia. Kecerdasan ini
digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-nilai spiritual. Dengan
adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai kebahagiaan
hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga bisa melihat
apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan
juga ada kekurangannya. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal itu.
Intelejensia spiritual membawa seseorang untuk dapat menyeimbangkan pekerjaan
dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta.
Denah Zohar dan Ian
Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk
menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya,
kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih
bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang
diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan
kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja
tidak dapat menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan pula
dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada
diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan
jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat
sebuah model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis)
and Soul (Spiritual).
Selain itu menurut
Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001, IQ
bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di
dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi
‘pusat-diri’
Kecerdasan
spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat
internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada
di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam
versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi
terkapling-kapling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan
pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup
dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan
yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan
jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Mengenalkan SQ
sebagai pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan
dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat
membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada
budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan
untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
C. Penerapan Intelligence Quotient,
Emotional Quontient dan Spiritual Quontient Dalam Kehidupan
Intelligence
Quotient (IQ), Emotional Quontient (EQ) dan Spiritual Quontient (SQ) bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita.
Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat, berasal dari
proses:
1. Merumuskan keputusan
2. Menjalankan keputusan atau eksekusi
3. Menyikapi hasil pelaksanaan keputusan
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan
pada fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi), bukan
berdasarkan pada kebiasaan atau preferensi pribadi suka, tidak suka. Kita bisa
menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta
obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap
pilihan keputusan yang ada.
Rencana keputusan yang hendak kita ambil,
hasil dari penyaringan logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan,
semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun,
kita hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain.
Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati)
kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan
memutuskan. Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini, yang harus
dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menggunakan rumusan logika, matematis
untung rugi.
Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa
faktor human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang
terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan
pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya “kekeluargaan”
sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan
penyelesaian konflik.
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah
perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait
(interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita
pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak
dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan
perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau Anthony Robbins, meskipun
keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu
karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan se-fleksibel orang
berenang.
Aplikasi keputusan dengan IQ, EQ, dan SQ ini
hanyalah satu dari sekian tak terhitung cara hidup, dan seperti kata Bruce Lee,
strategi yang paling baik adalah strategi yang kita temukan sendiri di dalam
diri kita. “Kalau kamu berkelahi hanya berpaku pada penggunaan strategi yang
diajarkan buku di kelas, namanya bukan berkelahi (tetapi belajar berkelahi)”
D. Faktor yang Mempengaruhi
Intelegensi
Hingga sekarang sudah banyak beberapa kajian
dalam hal intelegensi atau tingkat IQ seseorang. Menurut Kohstan, intelegensi
dapat dikembangkan, namun hanya sebatas segi kualitasnya, yaitu pengembangan
akan terjadi sampai pola pada batas kemampuan saja, terbatas pada segi
peningkatan mutu intelegensi, dan cara cara berpikir secara metodis.
Intelegensi orang satu dengan yang lain
cenderng berbeda-beda. Hal ini karena beberapa faktor yang mempengaruhinya.
Adapun faktor yang mempengaruhi intelegensi antara lain sebagai berikut:
1.
Faktor bawaan
Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat
yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam
memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu,
di dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar. Dan pintar
sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
2.
Faktor minat dan pembawaan yang khas
Dimana minat mengarahkan perbuatan
kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri
manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi
dengan dunia luar,sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan
dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
3.
Faktor pembentukan
Dimana pembentukan adalah segala
keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di
sini dapat dibedakan antara pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan di
sekolah atau pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh alam
sekitarnya.
4.
Faktor kematangan
Dimana tiap organ dalam tubuh manusia
mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik mauapun
psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang
hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
Oleh karena itu, tidak diherankan bila
anak anak belum mampu mengerjakan atau memecahkan soal soal matematika di kelas
empat sekolah dasar, karena soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak.
Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal
tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan faktor umur.
5.
Faktor kebebasan
Hal ini berarti manusia dapat memilih
metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan
memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan
kebutuhannya.
Kelima faktor diatas saling mempengaruhi dan
saling terkait satu dengan yang lainnya. Jadi, untuk menentukan kecerdasan
seseorang, tidak dapat hanya berpedoman atau berpatokan kepada salah satu
faktor saja.
E. Hubungan Antara
Intelegensi Dengan Bakat.
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai
kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam
kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik.
Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang
memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu
setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude.
Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang
untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera
diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap
kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang
dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan
Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational
Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test
adalah Tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE).
Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah
Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
F. Hubungan Antara
Intelegensi Dengan Prestasi Belajar
Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai
kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan
ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu
menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya.
Adakalanya perkembangan ini ditandai oleh
kemajuan-kemajuan yang berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya,
sehingga seseorang anak pada usia tertentu sudah memiliki tingkat kecerdasan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan sebayanya. Oleh karena itu jelas
bahwa faktor intelegensi merupakan suatu hal yang tidak diabaikan dalam
kegiatan belajar mengajar.
Menurut Kartono (1995:1) kecerdasan
merupakan “salah satu aspek yang penting, dan sangat menentukan berhasil
tidaknya studi seseorang. Kalau seorang murid mempunyai tingkat kecerdasan
normal atau di atas normal maka secara potensi ia dapat mencapai prestasi yang
tinggi.”
Slameto (1995:56) mengatakan bahwa “tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.”
Muhibbin (1999:135) berpendapat bahwa intelegensi adalah “semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk meraih sukses.”
Slameto (1995:56) mengatakan bahwa “tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.”
Muhibbin (1999:135) berpendapat bahwa intelegensi adalah “semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk meraih sukses.”
Dari pendapat di atas jelaslah bahwa
intelegensi yang baik atau kecerdasan yang tinggi merupakan faktor yang sangat
penting bagi seorang anak dalam usaha belajar.
G. Hubungan Antara
Intelegensi Dengan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari
perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari
suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan
inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada
anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan
inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak
mendukung hal itu.
Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh
tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak
selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ
tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi,
ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu
mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu
proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan
berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya,
tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat
konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang
logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola
pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses
berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai
kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.
KONSEP KREATIVITAS
A.
Pengertian Kreativitas
Kreativitas adalah kemampuan individu untuk
mempergunakan imaginasi dan berbagai kemungkinan yang diperoleh dari interaksi
dengan ide atau gagasan, orang lain dan lingkungan untuk membuat koneksi dan
hasil yang baru serta bermakna. Suatu saat seseorang dihadapkan pada sebuah
permainan atau masalah yang menuntut kreativitas berpikir dalam menyelesaikan.
Orang tersebut tidak mampu menyelsaikan karena hanya berkutat pada satu jalan
keluar kemudian ada seseorang yang dapat membantunya melalui cara yang
tidak terpikir olehnya. Ia mungkin berkomentar ”Kenapa tidak terpikir
sampai kesana ya ?”
Komentar seperti tadi dan mungkin disertai
kekaguman juga pernah terlontar pada saat anda melihat sebuah hasil karya
seseorang, tanggapan atau ide yang disampaikan seseorang pada suatu forum
tertentu. Mengapa orang dapat berpikir atau dapat menghasilkan suatu karya yang
tidak terpikir oleh kita? atau mengapa orang mampu menyelesaikan persoalan
dengan lebih cepat dengan cara yang unik dan mencapai hasil yang baik?. Hal
tersebut dapat terjadi karena seseorang memiliki keterampilan berpikir
memecahkan masalah secara kreatif.
Apakah seseorang dapat belajar mengembangkan
Jadi apa itu kreativitas?, bagaimana
mengembangkan keterampilan berpikir kreatif, bagaimana memecahkan masalah
secara kreatif dan bagaimana kita mampu memfasilitasi orang lain untuk berpikir
kreatif dan bertindak kreatif ?
Manusia adalah mahkluk berkarakteristik kerja atau sebagai homo faber.
Untuk mengaktualisasikan segala kebutuhannya individu perlu sarana atau media,
dan pilihan yang tidak dapat dibantah lagi ialah hanya melalui bekerja, sebagai
media pemenuhan kebutuhan-kebutuhan (Noerhadi, 1980). Kerja memiliki nilai yang
penting dalam kehidupan manusia.
Dengan bekerja, seseorang akan dapat memperoleh segala yang ia butuhkan,
sekaligus mencetuskan karya-karya kreatif dan inovasi sebagai akibat dari
kecenderungan seseorang untuk mencoba menggapai efektivitas dan efisiensi dalam
pekerjaannya. Dua faktor utama yang mempengaruhi proses kerja dalam usahanya
mencapai prestasi kerja terbaik adalah keyakinan terhadap kemampuan diri yang
disebut sebagai kepercayaan diri (Kumara, 1988) dan kemampuan individu dalam menghasilkan
ide atau gagasan untuk diolah kembali menjadi gagasan yang baru yang
diistilahkan dengan kreativitas (Rawlinson, 1981). Pada dunia industri
persoalan kreativitas pekerja dipandang sangat penting. Ini dimaksudkan agar timbul suatu solusi mengenai
penggunaan cara atau pun metode kerja yang lebih efektif dan efisien serta
dengan penemuan-penemuan produk baru. Namun demikian, kreativitas pekeja tidak
akan pernah lepas dari persoalan kontrol
diri pekerja.
diri pekerja.
Dalam era globalisasi saat ini, kreativitas merupakan pendukung kerja
yang penting, karena kemajuan suatu negara sangat tergantung pada sumbangan kreatif
yang berupa ide-ide baru dan teknologi baru dari masyarakat (Jersild, Sawrey
dan Telford dalam Mulyani, 1987). Setiap individu memiliki potensi kreatif
dalam bertingkah laku, yang secara luas
dapat diartikan bahwa setiap orang mempunyai potensi kreatif dalam hal berpikir, bertindak serta berasa. Potensi kreatif ini berbeda dengan aktualisasi, kualitas, maupun kuantitasnya pada masing-masing orang, tergantung pada faktor-faktor tertentu, seperti halnya kontrol diri (Semiawan, 1983).
dapat diartikan bahwa setiap orang mempunyai potensi kreatif dalam hal berpikir, bertindak serta berasa. Potensi kreatif ini berbeda dengan aktualisasi, kualitas, maupun kuantitasnya pada masing-masing orang, tergantung pada faktor-faktor tertentu, seperti halnya kontrol diri (Semiawan, 1983).
Rogers (dalam Robert, 1975) berpendapat bahwa kreativitas merupakan gerakan
humanistis, kecenderungan-kecenderungan manusia untuk
mengaktualisasikan dirinya sesuai kemampuan yang dimilikinya. Rogers (1975) mendefinisikan kreativitas sebagai munculnya suatu hasil yang baru,
berkembangnya satu sisi individual secara unik serta materi, kejadian, orang-orang atau lingkungan hidup menjadi lain.
mengaktualisasikan dirinya sesuai kemampuan yang dimilikinya. Rogers (1975) mendefinisikan kreativitas sebagai munculnya suatu hasil yang baru,
berkembangnya satu sisi individual secara unik serta materi, kejadian, orang-orang atau lingkungan hidup menjadi lain.
Pengertian kreativitas dikemukan oleh Drevdahl (dalam Medinnus dan
Johnson, (1976), menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk
mencipta karangan, hasil atau ide-ide baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh
pencipta, kemampuan ini merupakan aktivitas imajinatif atau berpikir sintesis,
yang hasilnya bukan merupakan pembentukan kombinasi dari informasi yang
diperoleh dari pengalaman-pengalaman sebelumnya menjadi hal yang baru, harus
berarti dan bermanfaat.
Campbell (dalam Manguhardjana, 1986) mengemukakan pendapat-nya mengenai
kreativitas. Kreativitas merupakan suatu kegiatan yang mendatangkan hasil yang
sifatnya :
Ø Baru atau novel, yang diartikan sebagai inovatif, belum ada
sebelumnya, segar, menarik, aneh dan mengejutkan.
Ø Berguna atau useful, yang diartikan sebagai lebih enak, lebih
praktis, mempermudah, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi
hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil yang baik.
Ø Dapat dimengerti atau understandable, yang diartikan hasil yang sama
dapat dimengerti dan dapat dibuat di lain waktu, atau sebaliknya
peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu saja, tak dapat dimengerti, tak dapat
diramalkan dan tak dapat diulangi.
Guilford (dalam Munandar, 1977) mengatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan
berpikir divergen atau pemikiran menjajaki bermacam-macam alternative jawaban
terhadap suatu persoalan, yang sama benarnya. Selanjutnya dilakukan penelitian
mengenai kreativitas dengan menggunakan analisis faktor, ditemukan faktor
penting yang merupakan sifat dari kemampuan berpikir kreatif yaitu:
Ø Fluency of thinking atau kelancaran berpikir, yaitu banyaknya ide
yang keluar dari pemikiran seseorang.
Ø Flexibility atau keluwesan, yaitu kemampuan untuk menggunakan
bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan; orang yang kreatif adalah
orang yang luwes dalam berpikir, mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara
berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru.
berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru.
Ø Elaboration, yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan
mengurai secara terinci.
Ø Originality atau keaslian, yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan
asli.
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menampilkan
alternatif dari apa yang sudah ada atau dari prosedur yang biasa dilakukan
(Renzulli dalam Monks, Knoers dan Haditono, 1992).
Para ahli beranggapan bahwa kreativitas
adalah potensi
yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang, dalam derajat yang berbeda-beda (Semiawan, 1983). Meskipun telah disetujui bahwa kreativitas adalah konsep yang luas dan majemuk meliputi aspek kognitif dan non kognitif, tetapi penelitian yang membahas konsep ini lebih banyak menekankan pada keterkaitan antara kreativitas dengan aspek kognitif seperti inteligensi dan prestasi belajar (Kuwato, 1993).
yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang, dalam derajat yang berbeda-beda (Semiawan, 1983). Meskipun telah disetujui bahwa kreativitas adalah konsep yang luas dan majemuk meliputi aspek kognitif dan non kognitif, tetapi penelitian yang membahas konsep ini lebih banyak menekankan pada keterkaitan antara kreativitas dengan aspek kognitif seperti inteligensi dan prestasi belajar (Kuwato, 1993).
Munandar (1990) beranggapan bahwa untuk
mengembangkan potensi kreatif, dibutuhkan usaha-usaha mengembangkan aspek non
kognitif. Salah satu aspek non kognitif tersebut adalah sifat-sifat dalam kepribadian
seseorang. Banyak penelitian yang berkesimpulan bahwa aspek-aspek non-kognitif
seperti sifat, minat dan tempramen, akan turut menentukan produktivitas kreatif
(Munandar, 1990). Latihan-latihan pengembangan aspek non-kognitif seperti
berani mencoba sesuatu, berani mengambil resiko, usaha peningkatan minat dan
motivasi berkreasi, pandai memanfaatkan waktu, serta kepercayaan diri dan harga
diri akan sangat menetukan kreativitas (Munandar, 1985).
Berdasarkan uraian di atas, definisi kreativitas
dengan demikian diperoleh. Kreativitas dalam kerja merupakan kemampuan untuk
menampilkan alternatif dari cara kerja yang sudah ada atau dari prosedur kerja
yang biasa dilakukan. Mengarah pada penggunaan cara-cara kerja yang lain dari
biasanya dan mendukung pencapaian efektivitas, efisiensi, serta produktivitas
kerja. Individu yang kreativitasnya tinggi berusaha secara terus-menerus untuk
menemukan dan mencoba cara-cara kerja yang lain yang lebih efektif dan efisien,
serta dimaksudkan untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi.
1.
Kreativitas sebagai Proses
Kreativitas
adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru, apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam
suatu bentuk atau susunan yang baru (Hurlock 1978)
Proses kreatif
sebagai “munculnya dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan
individu di satu pihak, dan dari kejadian, orang-orang, dan keadaan hidupnya
dilain pihak” (Rogers, 1982)
Penekanan pada:
-
Aspek baru dari produk kreatif yang dihasilkan
-
Aspek interaksi antara individu dan
lingkungannya/kebudayaannya
Kreativitas
adalah suatu proses
upaya manusia atau bangsa untuk membangun dirinya dalam berbagai aspek
kehidupannya. Tujuan pembangunan diri itu ialah untuk menikmati kualitas
kehidupan yang semakin baik (Alvian, 1983)
Kretaivitas
adalah suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas)
dan originalitas dalam berfiir (Utami Munandar, 1977).
2.
Kreativitas sebagai Produk
Kretaivitas sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru
(1965).
Kecuali unsur baru, juga terkandung peran faktor lingkungan dan waktu
(masa). Produk baru dapat disebut karya kreatif jika mendapatkan pengakuan
(penghargaan) oleh masyarakat pada waktu tertentu (Stein, 1963). Namun menurut
ahli lain pertama-tama bukan suatu karya kreatif bermakna bagi umum, tetapi
terutama bagi si pencipta sendiri.
Kreativitas atau daya kreasi itu dalam masyarakat yang progresif
dihargai sedemikian tingginya dan dianggap begitu penting sehinnga untuk
memupuk dan mengembangkannya dibentuk laboratorium atau bengkel-bengkel khusus tang tersedia tempat, waktu dan
fasilitas yang diperlukan (Selo Sumardjan 1983).
Beliau mengingatkan pentingnya bagian Desain dan Penelitian dan
Pengembangan sebagai bagian yang vital dari suatu industri
3.
Kreativitas ditinjau dari segi Pribadi
Kreatifitas merupakan ungkapan unik dari seluruh pribadi sebagai hasil
interaksi individu, perasaan, sikap dan perilakunya.
Kreatifitas mulai dengan kemampuan individu untuk menciptakan sesuatu
yang baru. Biasanya seorang individu yang kreatif memiliki sifat yang mandiri.
Ia tidak merasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma umum yang berlaku
dalam bidang keahliannya. Ia memiliki system nilai dan system apresiasi hidup
sendiri yang mungkin tidak sama yang dianut oleh masyarakat ramai. Dengan
perkataan lain:
“Kreativitas merupakan sifat pribadi seorang individu (dan bukan
merupakan sifat social yang dihayati
oleh masyarakat) yang tercermin dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu
yang baru” (Selo Soemardjan 1983)
B. Teori Kreativitas
Teori yang melandasi pengembangan kreativitas dapat
dibedakan menjadi 3, yaitu:
1.
Teori Psikoanalisis
Pribadi kreatif dipandang sebagai seorang yang pernah mengalami
traumatis, yang dihadapi dengan memunculkan gagasan-gagasan yang disadari dan
tidak disadari bercampur menjadi pemecahan inovatif dari trauma. Teori ini
terdiri dari:
a.
Teori Freud
Freud
menjelaskan proses kretif dari mekanisme pertahanan (defence mechanism). Freud
percaya bahwa meskipun kebanyakan mekanisme pertahanan menghambat tindakan
kreatif, mekanisme sublimasi justru merupakan penyebab utama kreativitas karena
kebutuhan seksual tidak dapat dipenuhi, maka terjadi sublimasi dan merupakan
awal imajinasi. Macam mekanisme pertahanan:
Represi
|
Regresi
|
Kompensasi
|
Proyeksi
|
Sublimasi
|
Pembentukan reaksi
|
Rasionalisasi
|
Pemindahan
|
Identifikasi
|
Kompartementalisasi
|
Introjeksi
|
|
b.
Teori Ernst Kris
Erns
Kris (1900-1957) menekankan bahwa mekanisme pertahanan regresi seiring
memunculkan tindakan kreatif.
Orang
yang kreatif menurut teori ini adalah mereka yang paling mampu “memanggil”
bahan dari alam pikiran tidak sadar. Seorang yang kreatif tidak mengalami hambatan
untuk bias “seperti anak” dalam pemikirannya. Mereka dapat mempertahankan “sikap bermain” mengenai masala-masalah
serius dalam kehidupannya. Dengan demikian mereka m ampu malihat
masalah-masalah dengan cara yang segar dan inovatif, mereka melakukan regresi
demi bertahannya ego (Regression in The Survive of The Ego)
c.
Teori Carl Jung
Carl
Jung (1875-1967) percaya bahwa alam ketidaksadaran (ketidaksadaran kolektif)
memainkan peranan yang amat penting dalam pemunculan kreativitas tingkat
tinggi. Dari ketidaksadaran kolektif ini timbil penemuan, teori, seni dan
karya-karya baru lainnya.
2. Teori Humanistik
Teori Humanistik melikat kreativitas sebagai hasil dari kesehatan
psikologis tingkat tinggi. Teori Humanistik meliputi:
a.
Teori Maslow
Abraham
Maslow (1908-1970) berpendapat manusia mempunyai naluri-naluri dasar yang
menjadi nyata sebagai kebutuhan. Kebutuhan tersebut adalah:
Ø Kebutuhan
fisik/biologis
Ø Kebutuhan akan rasa
aman
Ø Kebutuhan akan rasa
dimiliki (sense of belonging) dan cinta
Ø Kebutuhan akan
penghagaan dan harga diri
Ø Kebutuhan
aktualisasi / perwujudan diri
Ø Kebutuhan estetik
Kebutuhan-kebutuhan
tersebut mempunyai urutan hierarki. Keempat Kebutuhan pertama disebut kebutuhan
“deficiency”. Kedua Kebutuhan berikutnya (aktualisasi diri dan estetik atau
transendentasi) disebut kebutuhan “being”. Proses perwujudan diri erat
kaitannya dengan kreativitas. Bila bebas
dari neurosis, orang yang mewujudkan dirinya mampu memusatkan dirinya pada yang
hakiki. Mereka mencapai “peak experience” saat mendapat kilasan ilham (flash of
insight)
b.
Teori Rogers
Carl
Rogers (1902-1987) tiga kondisi internal dari pribadi yang kreatif, yaitu:
-
Keterbukaan terhadap pengalaman
-
Kemampuan untuk menilai situasi patokan pribadi seseorang (internal
locus of evaluation)
-
Kemampuan untuk bereksperimen, untuk “bermain” dengan konsep-konsep.
Apabila
seseorang memiliki ketiga cirri ini maka kesehatan psikologis sangat baik.
Orang tersebut diatas akan berfungsi sepenuhnya menghasilkan karya-karya
kreatif, dan hidup secara kreatif. Ketiga cirri atau kondisi tersebut uga
merupakan dorongan dari dalam (internal press) untuk kreasi.
3. Teori Cziksentmihalyi
Ciri pertama yang memudahkan tumbuhnya kreativitas adalah Predisposisi
genetis (genetic predispotition). Contoh seorang yang system sensorisnya peka
terhadap warna lebih mudah menjadi pelukis, peka terhadap nada lebih mudah
menjadi pemusik.
Minat pada usia dini pada ranah tertentu. Minat menyebabkan seseorang
terlibat secara mendalam terhadap ranah tertentu, sehingga mencapai kemahiran
dan keunggulan kreativitas.
Akses terhadap suatu bidang. Adanya sarana dan prasarana serta adanya
pembina/mentor dalam bidang yang diminati
sangat membantu pengembangan bakat.
Access to a field, Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan
teman sejawat, dan tokoh-tokoh penting
dalam bidang yang digeluti, memperoleh informasi yang terakhir, mendapatkan
kesempatan bekerja sama dengan pakar-pakar dalam bidang yang diminati sangat
penting untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari orang-orang penting.
Orang-orang kreatif ditandai adanya kemampuan mereka yang luar biasa
untuk menyesuaikan diri terhadap hampir setiap situasi dan untuk melakukan apa
yang perlu untuk mencapau tujuannya. Ciri-ciri Kepribadian Kreatif menurut
Csikszentmihalyi, Csikszentmihalyi mengemukakan 10 pasang cirri-ciri
kepribadian kreatif yang seakan-akan paradoksal tetapi saling terpadu secara
dialektis.
§ Pribadi kreatif
mempunyai kekuatan energi fisik yang memungkinkan mereka dapat bekerja
berjam-jam dengan konsentrasi penuh, tetapi mereka juga bias tenang dan rileks,
tergantung situasinya.
§ Pribadi kretaif
cerdas dan cerdik tetapi pada saat yang sama mereka juga naïf. Mereka nampak
memilliki kebijaksanaan (wisdom) tetapi kelihatan seperti anak-anak (child
like). Insight mendalam nampak bersamaan dalam ketidakmatangan emosional dan
mental. Mampu
berfikir konvergen sekaligus divergen.
§ Ciri paradoksal
ketiga berkaitan dengan kombinasi sikap bermain dan disiplin.
§ Pribadi kreatif
dapat berselang-seling antara imajinasi dan fantasi, namun tetap bertumpu pada
realitas.
§ Keduanya
diperlukan untuk dapat melepaskan diri dari kekinian tanpa kehilangan sentuhan
masa lalu.
§ Pribadi kreatif
menunjukkan kecenderungan baik introversi maupun ekstroversi.
§ Orang kreatif
dapat bersikap rendah diri dan bangga akan karyanya pada saat yang sama
§ Pribadi
kreatif menunjukkan lecenderungan
androgini psikoogis, yaitu mereka dapat melepaskan diri dari stereotip gender
(maskulin-feminin)
§ Orang kreatif
cenderung mandiri bahkan suka menentang (passionate) bila menyangkut karya
mereka, tetapi juga sangat obyektif dalam penilaian karya mereka.
§ Sikap
keterbukaan dan sensitivitas orang kreatif sering menderita, jika mendapat
banyak kritik dan serangan, tetapi pada saat yang sama ia merasa gembira yang
luar biasa.
C.
Strategi 4P Dalam Pengembangan Kreativitas
Setiap orang pada dasarnya memiliki potensi kreatif dan kemampuan
mengungkapkan dirinya secara kreatif dalam bidang dan kadar yang berbeda
– beda. Yang penting dalam pendidikan adalah bahwa bakat kreatif dapat dan
perlu ditingkatkan dan dikembangkan. Pengembangan kreatifitas dengan pendekatan 4P:
1.
Person (Pribadi)
Kreatifitas adalah ungkapan keunikan individu dalam interaksi dengan
lingkungan. Dari pribadi yang unik inilah diharapkan timbul ide – ide
baru dan produk – produk yang inovatif.
2.
Press (Pendorong)
Untuk mewujudkan bakat kreatif diperlukan dorongan dan dukungan dari lingkungan (motivasi
eksternal) yang berupa apresiasi, dukungan, pemberian penghargaan, pujian,
insentif, dan dorongan dari dalam diri sendiri (motivasi internal) untuk
menghasilkan sesuatu. Bakat kreatif dapat berkembang dalam lingkungan
yang mendukung, tetapi dapat pula dihambat dalam lingkungan yang tidak
mendukung. Banyak orang tua yang kurang menghargai kegiatan kreatif anak mereka
dan lebih memprioritaskan pencapaian prestasi akademik yang tinggi dan
memperoleh rangking tinggi dalam kelasnya. Demikian pula guru meskipun
menyadari pentingnya perkembangan kreatifitas tetapi dengan kurikulum yang
ketat dan kelas dengan jumlah murid yang banyak maka tidak ada waktu bagi
pengembangan kreativitas.
3.
Process (Proses)
Untuk mengembangkan kreativitas, individu perlu diberi kesempatan
untuk bersibuk secara aktif. Pendidik hendaknya dapat merangsang siswa untuk
melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan kreatif. Untuk itu yang penting
adalah memberi kebebasan kepada siswa untuk mengekspresikan dirinya secara
kreatif. Pertama – tama yang perlu adalah proses bersibuk diri secara kreatif
tanpa perlu selalu atau terlalu cepat menuntut dihasilkan produk kreatif yang
bermakna.
4.
Product (Produk)
Kondisi yang memungkinkan seseorang menciptakan produk kreatif yang bermakna
adalah kondisi pribadi dan lingkungan yaitu sejauh mana keduanya mendorong
seseorang untuk melibatkan dirinya dalam proses (Kesibukan, kegiatan) kreatif.
Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa pendidik menghargai produk kreatifitas
anak dan mengkomunikasi-kannya kepada yang lain, misalnya dengan
mempertunjukkan atau memamerkan hasil karya anak. Ini akan lebih
menggugah minat anak untuk berkreasi.
D.
Ciri-ciri Kreativitas
Seseorang dikatakan kreatif tentu ada
indikator-indikator yang menyebabkan seseorang itu disebut kreatif. Indikator
yang sebagai ciri dari kreativitas dapat diamati dalam dua aspek yakni aspek
aptitute dan nonaptitute. Ciri-ciri aptitute adalah ciri-ciri yang berhubungan
dengan kognisi atau proses berpikir, sedangkan ciri-ciri nonaptitute adalah
ciri-ciri yang lebih berkaitan dengan sikap atau perasaan. Berdasarkan hasil
penelitian yang menunjukan indikator kreativitas dikemukan oleh (Munandar, S.
C. U, 1992) sebagai berikut:
·
Dorongan ingin tahu besar
·
Sering mengajukan pertanyaan
yang baik
·
Memberikan banyak gagasan atau
usul terhadap suatu masalah
·
Bebas dalam menyatakan pendapat
·
Mempunyai rasa keindahan
·
Menonjol dalam salah satu
bidang seni
·
Mempunyai pendapat sendiri dan
dapat mengungkapkannya, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.
·
Rasa humor tinggi
·
Daya imajinasi kuat
·
Keaslian (orisinalitas) tinggi
(tampak dalam ungkapan gagasan, karangan, dan sebagainya; dalam pemecahan
masalah menggunakan cara-cara orisinal, yang jarang diperlihatkan anak-anak
lain)
·
Dapat bekerja sendiri/mandiri
·
Senang mencoba hal-hal baru
·
Kemampuan mengembangkan atau
memerinci suatu gagasan (kemampuan elaborasi)
Dari uraian mengenai ciri-ciri kreativitas diatas maka dapat dipahami bahwa seseorang
dikatakan kreatif apabila dalam interaksinya dengan lingkungan ciri-ciri dari
kreativitas mendominasi dalam aktivitas kehidupannya, dan melakukan segalanya
dengan cara-cara yang unik. Semua ciri-ciri tersebut secara konstruktif dapat
dimunculkan dalam diri setiap individu, sebab setiap individu memiliki potensi
kreatif. Treffinger (1980) dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001 mengatakan bahwa
tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kreatifitas, hal ini memberikan makna
bahwa setiap orang memiliki potensi kreatif dalam dirinya.
E.
Ciri-ciri non-bakat berkaitan dengan kreativitas.
Banyak orang ingin mengetahui rahasia utama
penampilan kreatif di luar modalitas bakat. Tidak dapat disangkal bahwa sifat
motivasi dan tempramen diharapkan memiliki efek penentu yang signifikan
terhadap ada tidaknya seseorang menunjukkan penampilan kreatif. Moidalitas
kepribadian ini dapat diteliti dalam hubungan ini.
Anne Roe (2001), memperoleh informasi
berkenaan dengan peran sifat-sifat seperti itu dalam penampilan kreatif. Dalam
studinya memimpin artis dan memimpin
ilmuwan dalam beberapa bidang, Anne Roe menemukan hanya satu sifat yang
secara umum ada di antara individu, yaitu kemauan untuk bekerja keras dan
bekerja dalam waktu lama (Roe, 1946, 1953). Itulah sifat yang mendukung
keberhasilan dan keunggulan dalam bidang apapun. Tidak ada indikasi adanya
hubungan unik dengan kreativitas. Sifat itu juga berarti motivasi umum tingkat tinggi,
sumbernya kita belum dapat pastikan. Kepada kita tetap masih bermasalah dan
memerlukan lebih banyak studi analisis.
Dalam Proyek Bakat (Apptitudes Project)
perhatian kami ditujukan pada pertanyaan tentang sifat-sifat non-bakat yang
dapat berkontribusi terhadap berpikir kreatif. Sudah dikemukakan kesimpulan
bahwa fleksibilitas spontan dalam berpikir muncul menjadi kebebasan dari
perseverasi, sebagai satu bentuk kekakuan, dan bahwa flaksibilitas adaptif
muncul menjadi kebebasan dari kegigihan menggunakan apa yang dipelajari
sebelumnya, metode-metode pemecahan yang sia-sia, adalah bentuk lain kekakuan.
Hal ini memunculkan pertanyaan apakah factor-faktor kekakuan fleksibilitas
dalam berpikir harus diklasifikasikan dalam sifat-sifat modalitas bakat atau modalitas
tempramen atau apakah dengan contoh-contoh ini kita memperoleh sifat-sifat
dengan kedua aspeknya yaitu temperamen dan bakat, tergantung pada bagaimana
seseorang melihatnya.
Kita telah berspekulasi tentang apakah
orisinalitas adalah sikap unkonvensional yang meramalkan bahwa seseorang tidak
akan tampil seperti biasanya atau dalam sikap popular, lebih menyukai cara
berperilaku istimewa. Penelitian kami hanya menyinggung pertanyaan ini. Seperti
pada factor-faktor kefasihan (fluency factors), tercaqpat sejumlah hipotesis
dikemukakan dalam literature berkenaan dengan kemungkinan adanya hubungan
antara kelancaqran berpikir dengan sejumlah sifat motivasi dan temperamen
(Guilford et al., 1957).
Penyebab lain adanya perhatian terhadap
masalah-masalah ini kenyataan bahwa analisis factor sebelumnya telah
mengindikasikan sekurang-kurangnya tiga ciri utama minat dalam jen,is-jenis
berpikir yang berbeda, termasuk pehatian dalam berpikir reflektif, berpikir
teliti (rigorous), dan berpikir autistic. Apakah perhatian yang ditemukan ini
berkaitan dengan berbagai jenis penampilan berpikir? Ditemukan juga sepasang
perhatian utama dalam kegiatan estetis, salah satunya disbut aspirasi estetis
(esthetic aspiration) dan yang lainnya disebut ekspresi estetis (esthetic
expression). Variabel minat ini akan sangat mungkin berkaitan dengan penampilan
kreatif dalam bidang seni dan mungkin lebih umum dalam penampilan kreatif. Satu
penelitian terbaru tentang analisis faktor tentang minat berpikir mempelajari
beberapa hipotesis kemungkinan variable lain (Guilford et al., 1957).
Dengan menggunakan skor self-inventory,
ditemukan indikasi beberapa variable yang diharapkan. Salah satu factor
terindikasi sebagai toleransi ambiguity. Ini adalah keinginan untuk menerima
sejumlah kertidakpastian dalam kesimpulan dan keputusan dan kesenderungan untuk
menolak berpikir dalam arti kategori yang kaku, faktor lain diidentifikasi
sebagai suatu perhatian dalam berpikir konvergen.
Berpikir konvergen meliputi berpikir kearah
satu jawaban benar, atau kearah satu jawaban yang relative telah ditetapkan
secara unik. Sebuah factor pendamping didefinisikan sebagai minat atau
keinginan untuk berpikir divergen, suatu tipe berpikir dimana pencarian
secukupnya dilaksanakan dan sejumlah jawaban ditemukan. Masih ada lagi factor
lain yang ditemukan tetapi tidak dapat didefinisikan secara pasti. Bisa saja
minat dalam originatitas atau dalam kreativitas secara umum, atau mungkin
diidentifikasikan apakah ekspresi estetis atau apresiasi estetis.
Untuk menguji kemungkinan bahwa beberapa
atau semua factor ini mempunyai landasan bagi output kreativitas, kita
mengkorelasikan skor variable-variabel ini dengan skor penampilan pada tes
kefasihan, fleksibilitas, dan originalitas. Juga ada kemungkinan mengorelasikan
skor sejumlah variable lainnya, termasuk sifat-sifat lainnya, dengan skor tes
bakat yang sama. Kesimpulan didasarkan pada korelasi signifikan secara
statistic, tetapi koefiisiennya semua berada di bawah 0,30.
Dari hasilnya kita dapat simpulkan bahwa
individu yang menjawab tes kefasihan asosiasi secara baik cenderung memiliki
kebutuhan lebih kuat untuk petualangan dan mereka lebih toleran terhadap
ambiguity. Individu dengan skor tinggi untuk kefasihan ideasional cenderung
akan lebih impulsive, lebih berkuasa, dan lebih percaya dan memiliki apresiasi
yang kuat terhadap kreaivitas. Indiviidu yanbg menunjukka gejala nerves dan
depresi yang berlebihan akan sedikit lebih rendah pada tugas-tugas yang
mempersyaratkan kefasihan ideasional, tetapi menunjukkan tidak adanya hambatan dalam
tipe-tipe tes kefasihan lainnya. Mereka yang memperoleh skor lebih tinggi dalam
tes kefasihan ekspresional cenderung lebih impulsive, untuk mengapresiasi
ekspresi estetik dan untuk berpikir reflektif.
Pengukuran originalitas menunjukkan hubungan
dengan sejumlah sifat non-bakat, tetapi tidak begitu kuat. Orang yang original
cenderung lebih percaya diri dan toleran terhadap ambiguity, berpikir reflektif
dan divergen serta ekspresi estetis. Orang yang tidak original cenderung lebih
jelimet dan merasakan adanya kebutuhan untuk disiplin. Tidak ada indikasi bahwa
orang yang original selalu kurang cenderung terhadap kesesuaian budaya,
termasuk aspek-aspek moral. Hipotesis bahwa originalitas menaungi satu sikap
tidak secara konvensional tidak didukung.
Hubungan antara dua factor fleksibilitas
terhadap sifat kekakuan telah dikemukakan. Tidak ditemukan hubungan lain untuk
factor-faktor fleksibilitas kecuali beberapa indikasi bahwa seseorang dengan
fleksibilitas spontan yang tinggi mungkin akan memiliki kebutuhan yang kuat
akan keragaman. Orang yang fleksibel pada tipe ini jelas menunjukkan variasi
arah dalam mengejakan tes.
Fakta bahwa semua hubungan ini diteliti
dengan tes psikologi harus diberi penekanan. Dengan motivasi secara umum dengan
nada tinggi menempuh tes, peserta kurang memiliki ruangan untuk menunjukkan
kuatnya hubungan antara penampilan dalam tes itu dan beberapa sifat
non-aptitude. Penampilan dalam kehidupan sehari-hari dapat saja lebih kuat
berhubungan dengan banyak sifat motivasi dan tempramen.
F.
Pendekatan Psikologis terhadap Kreativitas
Kebutuhan-kebutuhan ini menemukan kekurang
siapan psikologi. Beberapa tahun lampau, seorang professor jurnalis datang
kepada penulis menanyakan apa yang diketahui para psikolog tentang berpikir
kreatif. Beliau berkeinginnan keras untuk mengembangkan bakat menulis kreatif
diantara mahasiswanya. Dengan sedikit memohon maaf, dirasa perlu dikatakan
kepadanya bahwa hampir tidak ada psikolog yang mengetahui subyek itu.
Sebagian besar kelemahan dari segi psikologi ini dapat ditujukan kepada penerimaan secara umum model stimulus-responsnya
Sebagian besar kelemahan dari segi psikologi ini dapat ditujukan kepada penerimaan secara umum model stimulus-responsnya
Pendekatan alternative lainnya adalah
melalui penekanan pada konsep trait (sifat). Sifat adalah milik (propêrty)
individual dan itu merupakan hasil penelitian dengan pendekatan yang menekankan
ada perbedaan individual. Suatu sifat adalah sesuatu yang membedakan antara
individu yang satu dengan individu lainnya. Karena itu minat para psikolog
menekankan pada arah sifat perilaku.
Cara yang paling dapat dipertahankan untuk
menemuikan konsep sifat yang dependen pada saat ini adalah dengan analisis
factor. Analisis faktor dimulai dengan informasi berkaitan dengan variasi
kinerja. Untuk mengatakan bahwa minat berkaitan dengan penampilan akan keliru,
karena penampilan yang berinterkorelasi diteliti dan diperoleh dengan control
eksperimen terhadap situasi-situasi yang mendukungnya. Dengan berbagai jenis
tes baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif kita akan tiba pada
interpretasi faktor yang lebih akurat.
Informasi berkenaan dengan factor sering digunakan
sebagai informasi berkenaan dengan fungsi-fungsi dasar psikologi. Tujuan bab
ini, pertama, memberi survey yang sangat singkat tentang sifat-sifat utama yang
diketahui yang dipercaya berkaitan dengan kreativitas. Sifat-sifat utama
diperoleh dengan analisis factor. Survei itu akan meliputi sifat-sifat bakat
(aptitude) maupun yang non-bakat (non-aptitude), di antaranya sifat-sifat
tempramen dan motivasi. Kedua, paper itu akan menunjukkan apa yang nampaknya
menjadi tempat bakat untuk kreativitas dalam kerangka umum intelektual. Dengan
bertindak seperti itu, sejumlah prediksi akan dibuat berkenaan dengan
bakat-bakat yang tidak dapat diemukan untuk berpikir kreatif. Ketiga, beberapa
hubungan factor-faktor kreativitas dengan evaluasi kinerja kreatif selain yang
dikategorikan pada tes bakat (aptitude-test) akan disebutkan, untuk menunjukkan
bahwa faktor-faktor kreativitas memperoleh dukungan dari sumber-sumber lain,
termasuk evaluasi terhadap kinerja dalam kehidupan sehari-hari.
G.
Faktor yang Mempengaruhi Kreativitas
Kreativitas peserta didik agar dapat
terwujud membutuhkan adanya dorongan dalam diri individu (motivasi intrinsik)
dan dorongan dari lingkungan (motivasi ekstrinsik).
Motivasi untuk Kreativitas:
Pada setiap orang ada kecenderungan atau
dorongan untuk mewujudkan potensinya, untuk mewujudkan dirinya; dorongan untuk
berkembang dan menjadi matang, dorongan untuk mengungkapkan dan mengaktifkan
semua kapasitas seseorang. Dorongan ini merupakan motivasi primer untuk
kreativitas ketika individu membentuk hubungan-hubungan baru dengan
lingkungannya dalam upaya menjadi dirinya sepenuhnya (Rogers, 1982 dalam
Munandar, 1999). Motivasi intrinsik ini yang hendakanya dibangun dalam diri
individu sejak dini. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan individu dengan
kegiatan-kegiatan kreatif, dengan tujuan untuk memunculkan rasa ingin tahu, dan
untuk melakukan hal-hal baru.
Kondisi Eksternal yang mendorong perilaku
kreatif
Kondisi eksternal (dari lingkungan) secara
konstruktif ikut mendorong munculnya kreativitas. Kreativitas memang tidak
dapat dipaksakan, tetapi harus dimungkinkan untuk tumbuh. Individu memerlukan
kondisi yang mempk dan memungkinkan individu tersebut mengembangkan sendiri
potensinya. Maka penting mengupayakan lingkungan (kondisi eksternal) yang dapat
memupuk dorongan dalam diri individu untuk mengembangkan kreativitasnya.
Menurut pengalaman Rogers dalam psikoterapi, penciptaan kondisi keamanan dan
kebebasan psikologis memungkinkan timbulnya kreativitas yang konstruktif.
Keamanan PsikologiS.
Hal ini dapat terbentuk melalui tiga proses yang
saling berhubungan yakni: Menerima individu sebagaimana adanya dengan segala
kelebihan dan keterbatasannya. Mengusahakan suasanan yang didalamnya evaluasi
eksternal tidak ada, sekurang-kurangnya tidak bersifat atau mempunyai efek
mengancam. Memberikan pengertian secara empatis (dapat ikut menghayati)
Dalam suasana ini ”real self” dimungkinkan untuk timbul, untuk diekspresikan dalam bentuk-bentuk baru dalam hubungannya dengan lingkungannya. Inilah pada dasarnya yang disebut memupuk kreativitas.
Dalam suasana ini ”real self” dimungkinkan untuk timbul, untuk diekspresikan dalam bentuk-bentuk baru dalam hubungannya dengan lingkungannya. Inilah pada dasarnya yang disebut memupuk kreativitas.
Kebebasan Psikologis
Memberikan kesempatan pada individu untuk
bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau
perasaan-perasaannya, permissiveness akan memberikan individu kebebasan dalam
berpikir atau merasa sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya. Ekspresi dalam
bentuk tindakan agresif tidak selalu dimungkinkan, namun tindakan-tindakan
konstruktif kearah kreatif hendaknya dimungkinkan.
H.
Hubungan Antara Intelegensi Dengan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari
perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari
suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan
inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada
anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan
inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak
mendukung hal itu.
Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh
tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak
selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ
tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi,
ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu
mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu
proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan
berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya,
tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat
konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang
logis berdasarkan informasi yang diberikan.
Ini merupakan akibat dari pola pendidikan
tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir
divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan
yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.
Kalo mau refrensi nya coment aja dulu ya...bukannya pelit tapi kalo coment...pasti asyiiiik.................................................................
BalasHapus