Minggu, 20 Mei 2012


KONSEP INTELEGENSIA



A.    Penemuan Seputar Kecerdasan
Manusia adalah makhluk yang paling cerdas, dan Tuhan, melengkapi manusia dengan komponen kecerdasan yang paling kompleks. Sejumlah temuan para ahli mengarah pada fakta bahwa manusia adalah makhluk yang diciptakan paling unggul dan akan menjadi unggul asalkan bisa menggunakan keunggulannya. Kemampuan menggunakan keunggulan ini dikatakan oleh William W Hewitt, pengarang buku The Mind Power, sebagai faktor yang membedakan antara  orang jenius dan orang yang tidak jenius di bidangnya.
Sayangnya, menurut Leonardo Da Vinci, kebanyakan manusia me-nganggurkan kecerdasan itu. Punya mata hanya untuk melihat tetapi tidak untuk memperhatikan, punya perasaan hanya untuk merasakan tetapi tidak untuk menyadari, punya telinga hanya untuk mendengar tetapi tidak untuk mendengarkan dan seterusnya.
Thorndike adalah salah satu ahli yang membagi kecerdasan manusia menjadi tiga, yaitu kecerdasan Abstrak, kemampuan memahami simbol matematis atau bahasa, Kecerdasan Kongkrit, kemampuan memahami objek nyata dan Kecerdasan Sosial – kemampuan untuk memahami dan mengelola hubungan manusia yang dikatakan menjadi akar istilah Kecerdasan Emosional ( Stephen Jay Could, On Intelligence, Monash University: 1994)
Pakar lain seperti Charles Handy juga punya daftar kecerdasan yang lebih banyak, yaitu: Kecerdasan Logika (menalar dan menghitung), Kecerdasan Praktek (kemampuan mempraktekkan ide), Kecerdasan Verbal (bahasa komunikasi), Kecerdasan Musik, Kecerdasan Intrapersonal (berhubungan ke dalam diri), Kecerdasan Interpersonal (berhubungan ke luar diri dengan orang lain) dan Kecerdasan Spasial (Inside Organizaion: 1990)
Bahkan pakar Psikologi semacam Howard Gardner & Associates konon memiliki daftar 25 nama kecerdasan manusia termasuk misalnya saja Kecerdasan Visual / Spasial, Kecerdasan Natural (kemampuan untuk menyelaraksan diri dengan alam), atau Kecerdasan Linguistik (kemampuan membaca, menulis, berkata-kata), Kecerdasan Logika (menalar atau menghitung), Kecerdasan Kinestik / Fisik (kemampuan mengolah fisik seperti penari, atlet, dll), Kecerdasan sosial yang dibagi menjadi Intrapersonal dan Interpersonal (Dr. Steve Hallam, Creative and leadership, Colloquium in Business, Fall: 2002).

B.     Definisi Intelligence Quontient, Emotional Quontient Dan Spiritual Quontient
1.      Kecerdasan Intelektual (IQ)
Orang sering kali menyamakan arti inteligensi dengan IQ, padahal kedua istilah ini mempunyai perbedaan arti yang sangat mendasar. Menurut David Wechsler, inteligensi adalah kemampuan untuk bertindak secara terarah, berpikir secara rasional, dan menghadapi lingkungannya secara efektif.
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa inteligensi adalah suatu kemampuan mental yang melibatkan proses berpikir secara rasional. Oleh karena itu, inteligensi tidak dapat diamati secara langsung, melainkan harus disimpulkan dari berbagai tindakan nyata yang merupakan manifestasi dari zqproses berpikir rasional itu. sedangkan IQ atau singkatan dari Intelligence Quotient, adalah skor yang diperoleh dari sebuah alat tes kecerdasan. Dengan demikian, IQ hanya memberikan sedikit indikasi mengenai taraf kecerdasan seseorang dan tidak menggambarkan kecerdasan seseorang secara keseluruhan.
Intelligence Quotient atau yang biasa disebut dengan IQ merupakan istilah dari pengelompokan kecerdasan manusia yang pertama kali diperkenalkan oleh Alferd Binet, ahli psikologi dari Perancis pada awal abad ke-20. Kemudian Lewis Ternman dari Universitas Stanford berusaha membakukan test IQ yang dikembangkan oleh Binet dengan mengembangkan norma populasi, sehingga selanjutnya test IQ tersebut dikenal sebagai test Stanford-Binet. Pada masanya kecerdasan intelektual (IQ) merupakan kecerdasan tunggal dari setiap individu yang pada dasarnya hanya bertautan dengan aspek kognitif dari setiap masing-masing individu tersebut. Tes Stanford-Binet ini banyak digunakan untuk mengukur kecerdasan anak-anak sampai usia 13 tahun.
Inti kecerdasan intelektual ialah aktifitas otak. Otak adalah organ luar biasa dalam diri kita. Beratnya hanya sekitar 1,5 Kg atau kurang lebih 5 % dari total berat badan kita. Namun demikian, benda kecil ini mengkonsumsi lebih dari 30 persen seluruh cadangan kalori yang tersimpan di dalam tubuh. Otak memiliki 10 sampai 15 triliun sel saraf dan masing-masing sel saraf mempunyai ribuan sambungan. Otak satu-satunya organ yang terus berkembang sepanjang itu terus diaktifkan. Kapasitas memori otak yang sebanyak itu hanya digunakan sekitar 4-5 % dan untuk orang jenius memakainya 5-6 %. Sampai sekarang para ilmuan belum memahami penggunaan sisa memori sekitar 94 %.
Tingkat kecerdasan seorang anak yang ditentukan secara metodik oleh IQ (Intellegentia Quotient) memegang peranan penting untuk suksesnya anak dalam belajar. Menurut penyelidikan, IQ atau daya tangkap seseorang mulai dapat ditentukan sekitar umur 3 tahun. Daya tangkap sangat dipengaruhi oleh garis keturunan (genetic) yang dibawanya dari keluarga ayah dan ibu di samping faktor gizi makanan yang cukup.
IQ atau daya tangkap ini dianggap takkan berubah sampai seseorang dewasa, kecuali bila ada sebab kemunduran fungsi otak seperti penuaan dan kecelakaan. IQ yang tinggi memudahkan seorang murid belajar dan memahami berbagai ilmu. Daya tangkap yang kurang merupakan penyebab kesulitan belajar pada seorang murid, disamping faktor lain, seperti gangguan fisik (demam, lemah, sakit-sakitan) dan gangguan emosional. Ada hubungan langsung antara kemampuan bahasa si anak dengan IQ-nya. Apabila seorang anak dengan IQ tinggi masuk sekolah, penguasaan bahasanya akan cepat dan banyak.
Rumus kecerdasan umum, atau IQ yang ditetapkan oleh para ilmuwan adalah :
Usia Mental Anak
x 100 = IQ
Usia Sesungguhnya

Contoh : Misalnya anak pada usia 3 tahun telah punya kecerdasan anak-anak yang rata-rata baru bisa berbicara seperti itu pada usia 4 tahun. Inilah yang disebut dengan Usia Mental. Berarti IQ si anak adalah 4/3 x 100 = 133.


Interpretasi atau penafsiran dari IQ adalah sebagai berikut :
TINGKAT KECERDASAN
IQ
Genius
Di atas 140
Sangat Super
120 - 140
Super
110 - 120
Normal
90 -110
Bodoh
80 - 90
Perbatasan
70 - 80
Moron / Dungu
50 - 70
Imbecile
25-50
Idiot
0 - 25

Sudah bertahun-tahun dunia akademik, dunia militer (sistem rekrutmen dan promosi personel militer) dan dunia kerja, menggunakan IQ sebagai standar mengukur kecerdasan seseorang. Tetapi namanya juga temuan manusia, istilah tehnis yang berasal dari hasil kerja Alfred Binet ini (1857 – 1911) lama kelamaan mendapat sorotan dari para ahli dan mereka mencatat sedikitnya ada dua kelemahan (bukan kesalahan) yang menuntut untuk diperbaruhi, yaitu:
a.       Pemahaman absolut terhadap skor IQ
Steve Hallam berpandangan, pendapat yang menyatakan kecerdasan manusia itu sudah seperti angka mati dan tidak bisa diubah, adalah tidak tepat. Penemuan modern menunjuk pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu hanya 42% yang dibawa dari lahir, sementara sisanya, 58% merupakan hasil dari proses belajar.
b.      Cakupan kecerdasan manusia: kecerdasan nalar, matematika dan logika
Steve Hallam sekali lagi mengatakan bahwa pandangan tersebut tidaklah tepat, sebab dewasa ini makin banyak pembuktian yang mengarah pada fakta bahwa kecerdasan manusia itu bermacam-macam. Buktinya, Michael Jordan dikatakan cerdas selama berhubungan dengan bola basket. Mozart dikatakan cerdas selama berurusan dengan musik. Mike Tyson dikatakan cerdas selama berhubungan dengan ring tinju.
2.      Kecerdasan Emosional (EQ)
Emotional Quontient adalah istilah baru yang dipopulerkan oleh Daniel Golleman. Berdasarkan hasil penelitian para neurolog dan psikolog, Goleman (1995) berkesimpulan bahwa setiap manusia memiliki dua potensi pikiran, yaitu pikiran rasional dan pikiran emosional. Pikiran rasional digerakkan oleh kemampuan intelektual atau “Intelligence Quotient” (IQ), sedangkan pikiran emosional digerakkan oleh emosi.
Daniel Golemen, dalam bukunya Emotional Intelligence (1994) menyatakan bahwa “kontribusi IQ bagi keberhasilan seseorang hanya sekitar 20 % dan sisanya yang 80 % ditentukan oleh serumpun faktor-faktor yang disebut Kecerdasan Emosional. Dari nama teknis itu ada yang berpendapat bahwa kalau IQ mengangkat fungsi pikiran, EQ mengangkat fungsi perasaan. Orang yang ber-EQ tinggi akan berupaya menciptakan keseimbangan dalam dirinya; bisa mengusahakan kebahagian dari dalam dirinya sendiri dan bisa mengubah sesuatu yang buruk menjadi sesuatu yang positif dan bermanfaat.
Kecerdasan emosional dapat diartikan dengan kemampuan untuk “menjinakkan” emosi dan mengarahkannya ke pada hal-hal yang lebih positif. Seorang yang mampu mensinergikan potensi intelektual dan potensi emosionalnya berpeluang menjadi manusia-manusia utama dilihat dari berbagai segi.
Hubungan antara otak dan emosi mempunyai kaitan yang sangat erat secara fungsional. Antara satu dengan lainnya saling menentukan. Otak berfikir harus tumbuh dari wilayah otak emosional. Beberapa hasil penelitian membuktikan bahwa kecerdasan emosional hanya bisa aktif di dalam diri yang memiliki kecerdasan intelektual.
Beberapa pengertian EQ yang lain, yaitu:
Kecerdasan emosional merupakan kemampuan individu untuk mengenal emosi diri sendiri, emosi orang lain, memotivasi diri sendiri, dan mengelola dengan baik emosi pada diri sendiri dalam berhubungan dengan orang lain (Golleman, 1999). Emosi adalah perasaan yang dialami individu sebagai reaksi terhadap rangsang yang berasal dari dirinya sendiri maupun dari orang lain. Emosi tersebut beragam, namun dapat dikelompokkan kedalam kategori emosi seperti; marah, takut, sedih, gembira, kasih sayang dan takjub (Santrock, 1994).
Ø  Kemampuan mengenal emosi diri adalah kemampuan menyadari perasaan sendiri pada saat perasaan itu muncul dari saat-kesaat sehingga mampu memahami dirinya, dan mengendalikan dirinya, dan mampu membuat keputusan yang bijaksana sehingga tidak ‘diperbudak’ oleh emosinya.
Ø  Kemampuan mengelola emosi adalah kemampuan menyelaraskan perasaan (emosi) dengan lingkungannnya sehingga dapat memelihara harmoni kehidupan individunya dengan lingkungannya/orang lain.
Ø  Kemampuan mengenal emosi orang lain yaitu kemampuan memahami emosi orang lain (empaty) serta mampu mengkomunikasikan pemahaman tersebut kepada orang lain yang dimaksud.
Ø  Kemampuan memotivasi diri merupakan kemampuan mendorong dan mengarahkan segala daya upaya dirinya bagi pencapaian tujuan, keinginan dan cita-citanya. Peran memotivasi diri yang terdiri atas antusiasme dan keyakinan pada diri seseorang akan sangat produktif dan efektif dalam segala aktifitasnya
Ø  Kemampuan mengembangkan hubungan adalah kemampuan mengelola emosi orang lain atau emosi diri yang timbul akibat rangsang dari luar dirinya. Kemampuan ini akan membantu individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain secara memuaskan dan mampu berfikir secara rasional (IQ) serta mampu keluar dari tekanan (stress).
Manusia dengan EQ yang baik, mampu menyelesaikan dan bertanggung jawab penuh pada pekerjaan, mudah bersosialisasi, mampu membuat keputusan yang manusiawi, dan berpegang pada komitmen. Makanya, orang yang EQ-nya bagus mampu mengerjakan segala sesuatunya dengan lebih baik.
Kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan, memahami dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi koneksi dan pengaruh yang manusiawi. Dapat dikatakan bahwa EQ adalah kemampuan mendengar suara hati sebagai sumber informasi. Untuk pemilik EQ yang baik, baginya infomasi tidak hanya didapat lewat panca indra semata, tetapi ada sumber yang lain, dari dalam dirinya sendiri yakni suara hati. Malahan sumber infomasi yang disebut terakhir akan menyaring dan memilah informasi yang didapat dari panca indra.
Substansi dari kecerdasan emosional adalah kemampuan merasakan dan memahami untuk kemudian disikapi secara manusiawi. Orang yang EQ-nya baik, dapat memahami perasaan orang lain, dapat membaca yang tersurat dan yang tersirat, dapat menangkap bahasa verbal dan non verbal. Semua pemahaman tersebut akan menuntunnya agar bersikap sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan lingkungannya Dapat dimengerti kenapa orang yang EQ-nya baik, sekaligus kehidupan sosialnya juga baik. Tidak lain karena orang tersebut dapat merespon tuntutan lingkungannya dengan tepat.
Di samping itu, kecerdasan emosional mengajarkan tentang integritas kejujuran komitmen, visi, kreatifitas, ketahanan mental kebijaksanaan dan penguasaan diri. Oleh karena itu EQ mengajarkan bagaimana manusia bersikap terhadap dirinya (intra personal) seperti self awamess (percaya diri), self motivation (memotivasi diri), self regulation (mengatur diri), dan terhadap orang lain (interpersonal) seperti empathy, kemampuan memahami orang lain dan social skill yang memungkinkan setiap orang dapat mengelola konflik dengan orang lain secara baik.  Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan emosinya saat menghadapi situasi yang menyenangkan maupun menyakitkan. Mantan Presiden Soeharto dan Akbar Tandjung adalah contoh orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi, mampu mengendalikan emosinya dalam berkomunikasi.
Dalam bahasa agama , EQ adalah kepiawaian menjalin "hablun min al-naas". Pusat dari EQ adalah "qalbu" . Hati mengaktifkan nilai-nilai yang paling dalam, mengubah sesuatu yang dipikirkan menjadi sesuatu yang dijalani. Hati dapat mengetahui hal-hal yang tidak dapat diketahui oleh otak. Hati adalah sumber keberanian dan semangat , integritas dan komitmen. Hati merupakan sumber energi dan perasaan terdalam yang memberi dorongan untuk belajar, menciptakan kerja sama, memimpin dan melayani.
3.      Kecerdasan Spiritual (SQ)
Selain IQ, dan EQ, di beberapa tahun terakhir juga berkembang kecerdasan spiritual (SQ = Spritual Quotiens). Tepatnya di tahun 2000, dalam bukunya berjudul ”Spiritual Intelligence : the Ultimate Intellegence, Danah Zohar dan Ian Marshall mengklaim bahwa SQ adalah inti dari segala intelejensia. Kecerdasan ini digunakan untuk menyelesaikan masalah kaidah dan nilai-nilai spiritual. Dengan adanya kecerdasan ini, akan membawa seseorang untuk mencapai kebahagiaan hakikinya. Karena adanya kepercayaan di dalam dirinya, dan juga bisa melihat apa potensi dalam dirinya. Karena setiap manusia pasti mempunyai kelebihan dan juga ada kekurangannya. Intinya, bagaimana kita bisa melihat hal itu. Intelejensia spiritual membawa seseorang untuk dapat menyeimbangkan pekerjaan dan keluarga, dan tentu saja dengan Sang Maha Pencipta.
Denah Zohar dan Ian Marshall juga mendefinisikan kecerdasan spiritual sebagai kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan untuk menempatkan perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain.
Spiritual Quotient (SQ) adalah kecerdasan yang berperan sebagai landasan yang diperlukan untuk memfungsikan IQ dan EQ secara efektif. Bahkan SQ merupakan kecerdasan tertinggi dalam diri kita. Dari pernyataan tersebut, jelas SQ saja tidak dapat menyelesaikan permasalahan, karena diperlukan keseimbangan pula dari kecerdasan emosi dan intelektualnya. Jadi seharusnya IQ, EQ dan SQ pada diri setiap orang mampu secara proporsional bersinergi, menghasilkan kekuatan jiwa-raga yang penuh keseimbangan. Dari pernyataan tersebut, dapat dilihat sebuah model ESQ yang merupakan sebuah keseimbangan Body (Fisik), Mind (Psikis) and Soul (Spiritual).
Selain itu menurut Danah Zohar & Ian Marshall: SQ the ultimate intelligence: 2001, IQ bekerja untuk melihat ke luar (mata pikiran), dan EQ bekerja mengolah yang di dalam (telinga perasaan), maka SQ (spiritual quotient) menunjuk pada kondisi ‘pusat-diri’
Kecerdasan spiritual ini adalah kecerdasan yang mengangkat fungsi jiwa sebagai perangkat internal diri yang memiliki kemampuan dan kepekaan dalam melihat makna yang ada di balik kenyataan apa adanya ini. Kecerdasan ini bukan kecerdasan agama dalam versi yang dibatasi oleh kepentingan-pengertian manusia dan sudah menjadi terkapling-kapling sedemikian rupa. Kecerdasan spiritual lebih berurusan dengan pencerahan jiwa. Orang yang ber-SQ tinggi mampu memaknai penderitaan hidup dengan memberi makna positif pada setiap peristiwa, masalah, bahkan penderitaan yang dialaminya. Dengan memberi makna yang positif itu, ia mampu membangkitkan jiwanya dan melakukan perbuatan dan tindakan yang positif.
Mengenalkan SQ sebagai pengetahuan dasar yang perlu dipahami adalah SQ tidak mesti berhubungan dengan agama. Kecerdasan spiritual (SQ) adalah kecerdasan jiwa yang dapat membantu seseorang membangun dirinya secara utuh. SQ tidak bergantung pada budaya atau nilai. Tidak mengikuti nilai-nilai yang ada, tetapi menciptakan kemungkinan untuk memiliki nilai-nilai itu sendiri.
C.    Penerapan Intelligence Quotient, Emotional Quontient dan Spiritual Quontient Dalam Kehidupan
Intelligence Quotient (IQ), Emotional Quontient (EQ) dan Spiritual Quontient (SQ) bisa digunakan dalam mengambil keputusan tentang hidup kita. Seperti yang kita alami setiap hari, keputusan yang kita buat, berasal dari proses:
1.      Merumuskan keputusan
2.      Menjalankan keputusan atau eksekusi
3.      Menyikapi hasil pelaksanaan keputusan
Rumusan keputusan itu seyogyanya didasarkan pada fakta yang kita temukan di lapangan realita (apa yang terjadi), bukan berdasarkan pada kebiasaan atau preferensi pribadi suka, tidak suka. Kita bisa menggunakan IQ yang menonjolkan kemampuan logika berpikir untuk menemukan fakta obyektif, akurat, dan untuk memprediksi resiko, melihat konsekuensi dari setiap pilihan keputusan yang ada.
Rencana keputusan yang hendak kita ambil, hasil dari penyaringan logika, juga tidak bisa begitu saja diterapkan, semata-mata demi kepentingan dan keuntungan diri kita sendiri. Bagaimana pun, kita hidup bersama dan dalam proses interaksi yang konstan dengan orang lain. Oleh sebab itu, salah satu kemampuan EQ, yaitu kemampuan memahami (empati) kebutuhan dan perasaan orang lain menjadi faktor penting dalam menimbang dan memutuskan. Banyak fakta dan dinamika dalam hidup ini, yang harus dipertimbangkan, sehingga kita tidak bisa menggunakan rumusan logika, matematis untung rugi.
Kita pun sering menjumpai kenyataan, bahwa faktor human touch, turut mempengaruhi penerimaan atau penolakan seseorang terhadap kita (perlakuan kita, ide-ide atau bahkan bantuan yang kita tawarkan pada mereka). Salah satu contoh kongkrit, di Indonesia, budaya “kekeluargaan” sangat kental mendominasi dan mempengaruhi perjanjian bisnis, atau bahkan penyelesaian konflik.
Perlu diakui bahwa IQ, EQ dan SQ adalah perangkat yang bekerja dalam satu kesatuan sistem yang saling terkait (interconnected) di dalam diri kita, sehingga tak mungkin juga kita pisah-pisahkan fungsinya. Berhubungan dengan orang lain tetap membutuhkan otak dan keyakinan sama halnya dengan keyakinan yang tetap membutuhkan otak dan perasaan. Seperti kata Thomas Jefferson atau Anthony Robbins, meskipun keputusan yang dibuat harus berdasarkan pengetahuan dan keyakinan sekuat batu karang, tetapi dalam pelaksanaannya, perlu dijalankan se-fleksibel orang berenang.
Aplikasi keputusan dengan IQ, EQ, dan SQ ini hanyalah satu dari sekian tak terhitung cara hidup, dan seperti kata Bruce Lee, strategi yang paling baik adalah strategi yang kita temukan sendiri di dalam diri kita. “Kalau kamu berkelahi hanya berpaku pada penggunaan strategi yang diajarkan buku di kelas, namanya bukan berkelahi (tetapi belajar berkelahi)”
D.    Faktor yang Mempengaruhi Intelegensi
Hingga sekarang sudah banyak beberapa kajian dalam hal intelegensi atau tingkat IQ seseorang. Menurut Kohstan, intelegensi dapat dikembangkan, namun hanya sebatas segi kualitasnya, yaitu pengembangan akan terjadi sampai pola pada batas kemampuan saja, terbatas pada segi peningkatan mutu intelegensi, dan cara cara berpikir secara metodis.
Intelegensi orang satu dengan yang lain cenderng berbeda-beda. Hal ini karena beberapa faktor yang mempengaruhinya. Adapun faktor yang mempengaruhi intelegensi antara lain sebagai berikut:
1.      Faktor bawaan
Dimana faktor ini ditentukan oleh sifat yang dibawa sejak lahir. Batas kesanggupan atau kecakapan seseorang dalam memecahkan masalah, antara lain ditentukan oleh faktor bawaan. Oleh karena itu, di dalam satu kelas dapat dijumpai anak yang bodoh, agak pintar. Dan pintar sekali, meskipun mereka menerima pelajaran dan pelatihan yang sama.
2.      Faktor minat dan pembawaan yang khas
Dimana minat mengarahkan perbuatan kepada suatu tujuan dan merupakan dorongan bagi perbuatan itu. Dalam diri manusia terdapat dorongan atau motif yang mendorong manusia untuk berinteraksi dengan dunia luar,sehingga apa yang diminati oleh manusia dapat memberikan dorongan untuk berbuat lebih giat dan lebih baik.
3.      Faktor pembentukan
Dimana pembentukan adalah segala keadaan di luar diri seseorang yang mempengaruhi perkembangan intelegensi. Di sini dapat dibedakan antara pembentukan yang direncanakan, seperti dilakukan di sekolah atau pembentukan yang tidak direncanakan, misalnya pengaruh alam sekitarnya.
4.      Faktor kematangan
Dimana tiap organ dalam tubuh manusia mengalami pertumbuhan dan perkembangan. Setiap organ manusia baik fisik mauapun psikis, dapat dikatakan telah matang, jika ia telah tumbuh atau berkembang hingga mencapai kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing.
Oleh karena itu, tidak diherankan bila anak anak belum mampu mengerjakan atau memecahkan soal soal matematika di kelas empat sekolah dasar, karena soal soal itu masih terlampau sukar bagi anak. Organ tubuhnya dan fungsi jiwanya masih belum matang untuk menyelesaikan soal tersebut dan kematangan berhubungan erat dengan faktor umur.
5.      Faktor kebebasan
Hal ini berarti manusia dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah yang dihadapi. Di samping kebebasan memilih metode, juga bebas dalam memilih masalah yang sesuai dengan kebutuhannya.
Kelima faktor diatas saling mempengaruhi dan saling terkait satu dengan yang lainnya. Jadi, untuk menentukan kecerdasan seseorang, tidak dapat hanya berpedoman atau berpatokan kepada salah satu faktor saja.
E.     Hubungan Antara Intelegensi Dengan Bakat.
Inteligensi merupakan suatu konsep mengenai kemampuan umum individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kemampuan yang umum ini, terdapat kemampuan-kemampuan yang amat spesifik. Kemampuan-kemampuan yang spesifik ini memberikan pada individu suatu kondisi yang memungkinkan tercapainya pengetahuan, kecakapan, atau ketrampilan tertentu setelah melalui suatu latihan. Inilah yang disebut Bakat atau Aptitude.
Karena suatu tes inteligensi tidak dirancang untuk menyingkap kemampuan-kemampuan khusus ini, maka bakat tidak dapat segera diketahui lewat tes inteligensi.
Alat yang digunakan untuk menyingkap kemampuan khusus ini disebut tes bakat atau aptitude test. Tes bakat yang dirancang untuk mengungkap prestasi belajar pada bidang tertentu dinamakan Scholastic Aptitude Test dan yang dipakai di bidang pekerjaan adalah Vocational Aptitude Test dan Interest Inventory. Contoh dari Scholastic Aptitude Test adalah Tes Potensi Akademik (TPA) dan Graduate Record Examination (GRE). Sedangkan contoh dari Vocational Aptitude Test atau Interest Inventory adalah Differential Aptitude Test (DAT) dan Kuder Occupational Interest Survey.
F.     Hubungan Antara Intelegensi Dengan Prestasi Belajar
Kecerdasan adalah kemampuan belajar disertai kecakapan untuk menyesuaikan diri dengan keadaan yang dihadapinya. Kemampuan ini sangat ditentukan oleh tinggi rendahnya intelegensi yang normal selalu menunjukkan kecakapan sesuai dengan tingkat perkembangan sebaya.
Adakalanya perkembangan ini ditandai oleh kemajuan-kemajuan yang berbeda antara satu anak dengan anak yang lainnya, sehingga seseorang anak pada usia tertentu sudah memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kawan sebayanya. Oleh karena itu jelas bahwa faktor intelegensi merupakan suatu hal yang tidak diabaikan dalam kegiatan belajar mengajar.
Menurut Kartono (1995:1) kecerdasan merupakan “salah satu aspek yang penting, dan sangat menentukan berhasil tidaknya studi seseorang. Kalau seorang murid mempunyai tingkat kecerdasan normal atau di atas normal maka secara potensi ia dapat mencapai prestasi yang tinggi.”
Slameto (1995:56) mengatakan bahwa “tingkat intelegensi yang tinggi akan lebih berhasil daripada yang mempunyai tingkat intelegensi yang rendah.”
Muhibbin (1999:135) berpendapat bahwa intelegensi adalah “semakin tinggi kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah kemampuan intelegensi seseorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk meraih sukses.”
Dari pendapat di atas jelaslah bahwa intelegensi yang baik atau kecerdasan yang tinggi merupakan faktor yang sangat penting bagi seorang anak dalam usaha belajar.
G.    Hubungan Antara Intelegensi Dengan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu.
Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan. Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.























KONSEP KREATIVITAS

A.    Pengertian Kreativitas

Kreativitas adalah kemampuan individu untuk mempergunakan imaginasi dan berbagai kemungkinan yang diperoleh dari interaksi dengan ide atau gagasan, orang lain dan lingkungan untuk membuat koneksi dan hasil yang baru serta bermakna. Suatu saat seseorang dihadapkan pada sebuah permainan atau masalah yang menuntut kreativitas berpikir dalam menyelesaikan. Orang tersebut tidak mampu menyelsaikan karena hanya berkutat pada satu jalan keluar kemudian ada seseorang yang dapat membantunya melalui cara yang tidak terpikir olehnya. Ia mungkin berkomentar  ”Kenapa tidak terpikir sampai kesana ya ?”
Komentar seperti tadi dan mungkin disertai kekaguman juga pernah terlontar pada saat anda melihat sebuah hasil karya seseorang, tanggapan atau ide yang disampaikan seseorang pada suatu forum tertentu. Mengapa orang dapat berpikir atau dapat menghasilkan suatu karya yang tidak terpikir oleh kita? atau mengapa orang mampu menyelesaikan persoalan dengan lebih cepat dengan cara yang unik dan mencapai hasil yang baik?. Hal tersebut dapat terjadi karena seseorang memiliki keterampilan berpikir memecahkan masalah secara kreatif.
Apakah seseorang dapat belajar mengembangkan
Jadi apa itu kreativitas?, bagaimana mengembangkan keterampilan berpikir kreatif, bagaimana memecahkan masalah secara kreatif dan bagaimana kita mampu memfasilitasi orang lain untuk berpikir kreatif dan bertindak kreatif ?
Manusia adalah mahkluk berkarakteristik kerja atau sebagai homo faber. Untuk mengaktualisasikan segala kebutuhannya individu perlu sarana atau media, dan pilihan yang tidak dapat dibantah lagi ialah hanya melalui bekerja, sebagai media pemenuhan kebutuhan-kebutuhan (Noerhadi, 1980). Kerja memiliki nilai yang penting dalam kehidupan manusia.
Dengan bekerja, seseorang akan dapat memperoleh segala yang ia butuhkan, sekaligus mencetuskan karya-karya kreatif dan inovasi sebagai akibat dari kecenderungan seseorang untuk mencoba menggapai efektivitas dan efisiensi dalam pekerjaannya. Dua faktor utama yang mempengaruhi proses kerja dalam usahanya mencapai prestasi kerja terbaik adalah keyakinan terhadap kemampuan diri yang disebut sebagai kepercayaan diri (Kumara, 1988) dan kemampuan individu dalam menghasilkan ide atau gagasan untuk diolah kembali menjadi gagasan yang baru yang diistilahkan dengan kreativitas (Rawlinson, 1981). Pada dunia industri persoalan kreativitas pekerja dipandang sangat penting. Ini  dimaksudkan agar timbul suatu solusi mengenai penggunaan cara atau pun metode kerja yang lebih efektif dan efisien serta dengan penemuan-penemuan produk baru. Namun demikian, kreativitas pekeja tidak akan pernah lepas dari persoalan kontrol
diri pekerja.
Dalam era globalisasi saat ini, kreativitas merupakan pendukung kerja yang penting, karena kemajuan suatu negara sangat tergantung pada sumbangan kreatif yang berupa ide-ide baru dan teknologi baru dari masyarakat (Jersild, Sawrey dan Telford dalam Mulyani, 1987). Setiap individu memiliki potensi kreatif dalam bertingkah laku, yang secara luas
dapat diartikan bahwa setiap orang mempunyai potensi kreatif dalam hal berpikir, bertindak serta berasa. Potensi kreatif ini berbeda dengan aktualisasi, kualitas, maupun kuantitasnya pada masing-masing orang, tergantung pada faktor-faktor tertentu, seperti halnya kontrol diri (Semiawan, 1983).
Rogers (dalam Robert, 1975) berpendapat bahwa kreativitas merupakan gerakan humanistis, kecenderungan-kecenderungan manusia untuk
mengaktualisasikan dirinya sesuai kemampuan yang dimilikinya. Rogers (1975) mendefinisikan kreativitas sebagai munculnya suatu hasil yang baru,
berkembangnya satu sisi individual secara unik serta materi, kejadian, orang-orang atau lingkungan hidup menjadi lain.
Pengertian kreativitas dikemukan oleh Drevdahl (dalam Medinnus dan Johnson, (1976), menyatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan untuk mencipta karangan, hasil atau ide-ide baru yang sebelumnya tidak dikenal oleh pencipta, kemampuan ini merupakan aktivitas imajinatif atau berpikir sintesis, yang hasilnya bukan merupakan pembentukan kombinasi dari informasi yang diperoleh dari pengalaman-pengalaman sebelumnya menjadi hal yang baru, harus berarti dan bermanfaat.
Campbell (dalam Manguhardjana, 1986) mengemukakan pendapat-nya mengenai kreativitas. Kreativitas merupakan suatu kegiatan yang mendatangkan hasil yang sifatnya :
Ø  Baru atau novel, yang diartikan sebagai inovatif, belum ada sebelumnya, segar, menarik, aneh dan mengejutkan.
Ø  Berguna atau useful, yang diartikan sebagai lebih enak, lebih praktis, mempermudah, mendorong, mengembangkan, mendidik, memecahkan masalah, mengurangi hambatan, mengatasi kesulitan, mendatangkan hasil yang baik.
Ø  Dapat dimengerti atau understandable, yang diartikan hasil yang sama dapat dimengerti dan dapat dibuat di lain waktu, atau sebaliknya peristiwa-peristiwa yang terjadi begitu saja, tak dapat dimengerti, tak dapat diramalkan dan tak dapat diulangi.
Guilford (dalam Munandar, 1977) mengatakan bahwa kreativitas merupakan kemampuan berpikir divergen atau pemikiran menjajaki bermacam-macam alternative jawaban terhadap suatu persoalan, yang sama benarnya. Selanjutnya dilakukan penelitian mengenai kreativitas dengan menggunakan analisis faktor, ditemukan faktor penting yang merupakan sifat dari kemampuan berpikir kreatif yaitu:
Ø  Fluency of thinking atau kelancaran berpikir, yaitu banyaknya ide yang keluar dari pemikiran seseorang.
Ø  Flexibility atau keluwesan, yaitu kemampuan untuk menggunakan bermacam-macam pendekatan dalam mengatasi persoalan; orang yang kreatif adalah orang yang luwes dalam berpikir, mereka dengan mudah dapat meninggalkan cara
berpikir lama dan menggantikan dengan cara berpikir yang baru.
Ø  Elaboration, yaitu kemampuan dalam mengembangkan gagasan dan mengurai secara terinci.
Ø  Originality atau keaslian, yaitu kemampuan untuk mencetuskan gagasan asli.
Kreativitas merupakan kemampuan untuk menampilkan alternatif dari apa yang sudah ada atau dari prosedur yang biasa dilakukan (Renzulli dalam Monks, Knoers dan Haditono, 1992).
Para ahli beranggapan bahwa kreativitas adalah potensi
yang pada dasarnya dimiliki oleh setiap orang, dalam derajat yang berbeda-beda (Semiawan, 1983). Meskipun telah disetujui bahwa kreativitas adalah konsep yang luas dan majemuk meliputi aspek kognitif dan non kognitif, tetapi penelitian yang membahas konsep ini lebih banyak menekankan pada keterkaitan antara kreativitas dengan aspek kognitif seperti inteligensi dan prestasi belajar (Kuwato, 1993).
Munandar (1990) beranggapan bahwa untuk mengembangkan potensi kreatif, dibutuhkan usaha-usaha mengembangkan aspek non kognitif. Salah satu aspek non kognitif tersebut adalah sifat-sifat dalam kepribadian seseorang. Banyak penelitian yang berkesimpulan bahwa aspek-aspek non-kognitif seperti sifat, minat dan tempramen, akan turut menentukan produktivitas kreatif (Munandar, 1990). Latihan-latihan pengembangan aspek non-kognitif seperti berani mencoba sesuatu, berani mengambil resiko, usaha peningkatan minat dan motivasi berkreasi, pandai memanfaatkan waktu, serta kepercayaan diri dan harga diri akan sangat menetukan kreativitas (Munandar, 1985).
Berdasarkan uraian di atas, definisi kreativitas dengan demikian diperoleh. Kreativitas dalam kerja merupakan kemampuan untuk menampilkan alternatif dari cara kerja yang sudah ada atau dari prosedur kerja yang biasa dilakukan. Mengarah pada penggunaan cara-cara kerja yang lain dari biasanya dan mendukung pencapaian efektivitas, efisiensi, serta produktivitas kerja. Individu yang kreativitasnya tinggi berusaha secara terus-menerus untuk menemukan dan mencoba cara-cara kerja yang lain yang lebih efektif dan efisien, serta dimaksudkan untuk mencapai produktivitas kerja yang tinggi.
1.      Kreativitas sebagai Proses
                  Kreativitas adalah suatu proses yang menghasilkan sesuatu yang baru,    apakah suatu gagasan atau suatu objek dalam suatu bentuk atau susunan yang baru (Hurlock 1978)
                  Proses kreatif sebagai “munculnya dalam tindakan suatu produk baru yang tumbuh dari keunikan individu di satu pihak, dan dari kejadian, orang-orang, dan keadaan hidupnya dilain pihak” (Rogers, 1982)
      Penekanan pada:
-          Aspek baru dari produk kreatif yang dihasilkan
-          Aspek interaksi antara individu dan lingkungannya/kebudayaannya
                  Kreativitas adalah suatu proses upaya manusia atau bangsa untuk membangun dirinya dalam berbagai aspek kehidupannya. Tujuan pembangunan diri itu ialah untuk menikmati kualitas kehidupan yang semakin baik (Alvian, 1983)
                  Kretaivitas adalah suatu proses yang tercermin dalam kelancaran, kelenturan (fleksibilitas) dan originalitas dalam berfiir (Utami Munandar, 1977).
2.      Kreativitas sebagai Produk
Kretaivitas sebagai kemampuan untuk menghasilkan sesuatu yang baru (1965).
Kecuali unsur baru, juga terkandung peran faktor lingkungan dan waktu (masa). Produk baru dapat disebut karya kreatif jika mendapatkan pengakuan (penghargaan) oleh masyarakat pada waktu tertentu (Stein, 1963). Namun menurut ahli lain pertama-tama bukan suatu karya kreatif bermakna bagi umum, tetapi terutama bagi si pencipta sendiri.
Kreativitas atau daya kreasi itu dalam masyarakat yang progresif dihargai sedemikian tingginya dan dianggap begitu penting sehinnga untuk memupuk dan mengembangkannya dibentuk laboratorium atau bengkel-bengkel  khusus tang tersedia tempat, waktu dan fasilitas yang diperlukan (Selo Sumardjan 1983).
Beliau mengingatkan pentingnya bagian Desain dan Penelitian dan Pengembangan sebagai bagian yang vital dari suatu industri
3.      Kreativitas ditinjau dari segi Pribadi
Kreatifitas merupakan ungkapan unik dari seluruh pribadi sebagai hasil interaksi individu, perasaan, sikap dan perilakunya.
Kreatifitas mulai dengan kemampuan individu untuk menciptakan sesuatu yang baru. Biasanya seorang individu yang kreatif memiliki sifat yang mandiri. Ia tidak merasa terikat pada nilai-nilai dan norma-norma umum yang berlaku dalam bidang keahliannya. Ia memiliki system nilai dan system apresiasi hidup sendiri yang mungkin tidak sama yang dianut oleh masyarakat ramai. Dengan perkataan lain:
“Kreativitas merupakan sifat pribadi seorang individu (dan bukan merupakan sifat  social yang dihayati oleh masyarakat) yang tercermin dari kemampuannya untuk menciptakan sesuatu yang baru” (Selo Soemardjan 1983)
B.     Teori Kreativitas
Teori yang melandasi pengembangan kreativitas dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1.      Teori Psikoanalisis
Pribadi kreatif dipandang sebagai seorang yang pernah mengalami traumatis, yang dihadapi dengan memunculkan gagasan-gagasan yang disadari dan tidak disadari bercampur menjadi pemecahan inovatif dari trauma. Teori ini terdiri dari:
a.       Teori Freud
Freud menjelaskan proses kretif dari mekanisme pertahanan (defence mechanism). Freud percaya bahwa meskipun kebanyakan mekanisme pertahanan menghambat tindakan kreatif, mekanisme sublimasi justru merupakan penyebab utama kreativitas karena kebutuhan seksual tidak dapat dipenuhi, maka terjadi sublimasi dan merupakan awal imajinasi. Macam mekanisme pertahanan:
Represi
Regresi
Kompensasi
Proyeksi
Sublimasi
Pembentukan reaksi
Rasionalisasi
Pemindahan
Identifikasi
Kompartementalisasi
Introjeksi

b.      Teori Ernst Kris
Erns Kris (1900-1957) menekankan bahwa mekanisme pertahanan regresi seiring memunculkan tindakan kreatif.
Orang yang kreatif menurut teori ini adalah mereka yang paling mampu “memanggil” bahan dari alam pikiran tidak sadar. Seorang yang kreatif tidak mengalami hambatan untuk bias “seperti anak” dalam pemikirannya. Mereka dapat  mempertahankan  “sikap bermain” mengenai masala-masalah serius dalam kehidupannya. Dengan demikian mereka m ampu malihat masalah-masalah dengan cara yang segar dan inovatif, mereka melakukan regresi demi bertahannya ego (Regression in The Survive of The Ego)
c.       Teori Carl Jung
Carl Jung (1875-1967) percaya bahwa alam ketidaksadaran (ketidaksadaran kolektif) memainkan peranan yang amat penting dalam pemunculan kreativitas tingkat tinggi. Dari ketidaksadaran kolektif ini timbil penemuan, teori, seni dan karya-karya baru lainnya.
2.      Teori Humanistik
Teori Humanistik melikat kreativitas sebagai hasil dari kesehatan psikologis tingkat tinggi. Teori Humanistik meliputi:
a.       Teori Maslow
Abraham Maslow (1908-1970) berpendapat manusia mempunyai naluri-naluri dasar yang menjadi nyata sebagai kebutuhan. Kebutuhan tersebut adalah:
Ø  Kebutuhan fisik/biologis
Ø  Kebutuhan akan rasa aman
Ø  Kebutuhan akan rasa dimiliki (sense of belonging) dan cinta
Ø  Kebutuhan akan penghagaan dan harga diri
Ø  Kebutuhan aktualisasi / perwujudan diri
Ø  Kebutuhan estetik
Kebutuhan-kebutuhan tersebut mempunyai urutan hierarki. Keempat Kebutuhan pertama disebut kebutuhan “deficiency”. Kedua Kebutuhan berikutnya (aktualisasi diri dan estetik atau transendentasi) disebut kebutuhan “being”. Proses perwujudan diri erat kaitannya dengan kreativitas. Bila  bebas dari neurosis, orang yang mewujudkan dirinya mampu memusatkan dirinya pada yang hakiki. Mereka mencapai “peak experience” saat mendapat kilasan ilham (flash of insight)
b.      Teori Rogers
Carl Rogers (1902-1987) tiga kondisi internal dari pribadi yang kreatif, yaitu:
-          Keterbukaan terhadap pengalaman
-          Kemampuan untuk menilai situasi patokan pribadi seseorang (internal locus of evaluation)
-          Kemampuan untuk bereksperimen, untuk “bermain” dengan konsep-konsep.
Apabila seseorang memiliki ketiga cirri ini maka kesehatan psikologis sangat baik. Orang tersebut diatas akan berfungsi sepenuhnya menghasilkan karya-karya kreatif, dan hidup secara kreatif. Ketiga cirri atau kondisi tersebut uga merupakan dorongan dari dalam (internal press) untuk kreasi.
3.      Teori Cziksentmihalyi
Ciri pertama yang memudahkan tumbuhnya kreativitas adalah Predisposisi genetis (genetic predispotition). Contoh seorang yang system sensorisnya peka terhadap warna lebih mudah menjadi pelukis, peka terhadap nada lebih mudah menjadi pemusik.
Minat pada usia dini pada ranah tertentu. Minat menyebabkan seseorang terlibat secara mendalam terhadap ranah tertentu, sehingga mencapai kemahiran dan keunggulan kreativitas.
Akses terhadap suatu bidang. Adanya sarana dan prasarana serta adanya pembina/mentor dalam bidang yang diminati   sangat membantu pengembangan bakat.
Access to a field, Kemampuan berkomunikasi dan berinteraksi dengan teman sejawat, dan  tokoh-tokoh penting dalam bidang yang digeluti, memperoleh informasi yang terakhir, mendapatkan kesempatan bekerja sama dengan pakar-pakar dalam bidang yang diminati sangat penting untuk mendapatkan pengakuan dan penghargaan dari orang-orang penting.       
Orang-orang kreatif ditandai adanya kemampuan mereka yang luar biasa untuk menyesuaikan diri terhadap hampir setiap situasi dan untuk melakukan apa yang perlu untuk mencapau tujuannya. Ciri-ciri Kepribadian Kreatif menurut Csikszentmihalyi, Csikszentmihalyi mengemukakan 10 pasang cirri-ciri kepribadian kreatif yang seakan-akan paradoksal tetapi saling terpadu secara dialektis.
§  Pribadi kreatif mempunyai kekuatan energi fisik yang memungkinkan mereka dapat bekerja berjam-jam dengan konsentrasi penuh, tetapi mereka juga bias tenang dan rileks, tergantung situasinya.
§  Pribadi kretaif cerdas dan cerdik tetapi pada saat yang sama mereka juga naïf. Mereka nampak memilliki kebijaksanaan (wisdom) tetapi kelihatan seperti anak-anak (child like). Insight mendalam nampak bersamaan dalam ketidakmatangan emosional dan mental. Mampu berfikir konvergen sekaligus divergen.
§  Ciri paradoksal ketiga berkaitan dengan kombinasi sikap bermain dan disiplin.
§  Pribadi kreatif dapat berselang-seling antara imajinasi dan fantasi, namun tetap bertumpu pada realitas.
§  Keduanya diperlukan untuk dapat melepaskan diri dari kekinian tanpa kehilangan sentuhan masa lalu.
§  Pribadi kreatif menunjukkan kecenderungan baik introversi maupun ekstroversi.
§  Orang kreatif dapat bersikap rendah diri dan bangga akan karyanya pada saat yang sama
§  Pribadi kreatif  menunjukkan lecenderungan androgini psikoogis, yaitu mereka dapat melepaskan diri dari stereotip gender (maskulin-feminin)
§  Orang kreatif cenderung mandiri bahkan suka menentang (passionate) bila menyangkut karya mereka, tetapi juga sangat obyektif dalam penilaian  karya mereka.
§  Sikap keterbukaan dan sensitivitas orang kreatif sering menderita, jika mendapat banyak kritik dan serangan, tetapi pada saat yang sama ia merasa gembira yang luar biasa.
C.    Strategi 4P Dalam Pengembangan Kreativitas
Setiap orang pada dasarnya memiliki potensi kreatif dan kemampuan mengungkapkan dirinya secara kreatif dalam bidang dan kadar yang berbeda – beda. Yang penting dalam pendidikan adalah bahwa bakat kreatif dapat dan perlu ditingkatkan dan dikembangkan. Pengembangan kreatifitas dengan pendekatan 4P:
1.      Person (Pribadi)
Kreatifitas adalah ungkapan keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungan. Dari pribadi yang unik inilah diharapkan timbul ide – ide baru dan produk – produk yang inovatif.
2.      Press (Pendorong)
Untuk mewujudkan bakat kreatif diperlukan dorongan dan dukungan dari lingkungan (motivasi eksternal) yang berupa apresiasi, dukungan, pemberian penghargaan, pujian, insentif, dan dorongan dari dalam diri sendiri (motivasi internal) untuk menghasilkan sesuatu. Bakat kreatif dapat berkembang dalam lingkungan yang mendukung, tetapi dapat pula dihambat dalam lingkungan yang tidak mendukung. Banyak orang tua yang kurang menghargai kegiatan kreatif anak mereka dan lebih memprioritaskan pencapaian prestasi akademik yang tinggi dan memperoleh rangking tinggi dalam kelasnya. Demikian pula guru meskipun menyadari pentingnya perkembangan kreatifitas tetapi dengan kurikulum yang ketat dan kelas dengan jumlah murid yang banyak maka tidak ada waktu bagi pengembangan kreativitas.
3.      Process (Proses)
Untuk mengembangkan kreativitas, individu perlu diberi kesempatan untuk bersibuk secara aktif. Pendidik hendaknya dapat merangsang siswa untuk melibatkan dirinya dalam berbagai kegiatan kreatif. Untuk itu yang penting adalah memberi kebebasan kepada siswa untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif. Pertama – tama yang perlu adalah proses bersibuk diri secara kreatif tanpa perlu selalu atau terlalu cepat menuntut dihasilkan produk kreatif yang bermakna.
4.      Product (Produk)
Kondisi yang memungkinkan seseorang menciptakan produk kreatif yang bermakna adalah kondisi pribadi dan lingkungan yaitu sejauh mana keduanya mendorong seseorang untuk melibatkan dirinya dalam proses (Kesibukan, kegiatan) kreatif. Yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa pendidik menghargai produk kreatifitas anak dan mengkomunikasi-kannya kepada yang lain, misalnya dengan mempertunjukkan atau memamerkan hasil karya anak. Ini akan lebih menggugah minat anak untuk berkreasi.
D.    Ciri-ciri Kreativitas
Seseorang dikatakan kreatif tentu ada indikator-indikator yang menyebabkan seseorang itu disebut kreatif. Indikator yang sebagai ciri dari kreativitas dapat diamati dalam dua aspek yakni aspek aptitute dan nonaptitute. Ciri-ciri aptitute adalah ciri-ciri yang berhubungan dengan kognisi atau proses berpikir, sedangkan ciri-ciri nonaptitute adalah ciri-ciri yang lebih berkaitan dengan sikap atau perasaan. Berdasarkan hasil penelitian yang menunjukan indikator kreativitas dikemukan oleh (Munandar, S. C. U, 1992) sebagai berikut:
·         Dorongan ingin tahu besar
·         Sering mengajukan pertanyaan yang baik
·         Memberikan banyak gagasan atau usul terhadap suatu masalah
·         Bebas dalam menyatakan pendapat
·         Mempunyai rasa keindahan
·         Menonjol dalam salah satu bidang seni
·         Mempunyai pendapat sendiri dan dapat mengungkapkannya, tidak mudah terpengaruh oleh orang lain.
·         Rasa humor tinggi
·         Daya imajinasi kuat
·         Keaslian (orisinalitas) tinggi (tampak dalam ungkapan gagasan, karangan, dan sebagainya; dalam pemecahan masalah menggunakan cara-cara orisinal, yang jarang diperlihatkan anak-anak lain)
·         Dapat bekerja sendiri/mandiri
·         Senang mencoba hal-hal baru
·         Kemampuan mengembangkan atau memerinci suatu gagasan (kemampuan elaborasi)
Dari uraian mengenai ciri-ciri kreativitas diatas maka dapat dipahami bahwa seseorang dikatakan kreatif apabila dalam interaksinya dengan lingkungan ciri-ciri dari kreativitas mendominasi dalam aktivitas kehidupannya, dan melakukan segalanya dengan cara-cara yang unik. Semua ciri-ciri tersebut secara konstruktif dapat dimunculkan dalam diri setiap individu, sebab setiap individu memiliki potensi kreatif. Treffinger (1980) dalam Reni Akbar-Hawadi dkk, 2001 mengatakan bahwa tidak ada seorang pun yang tidak memiliki kreatifitas, hal ini memberikan makna bahwa setiap orang memiliki potensi kreatif dalam dirinya.
E.     Ciri-ciri non-bakat berkaitan dengan kreativitas.
Banyak orang ingin mengetahui rahasia utama penampilan kreatif di luar modalitas bakat. Tidak dapat disangkal bahwa sifat motivasi dan tempramen diharapkan memiliki efek penentu yang signifikan terhadap ada tidaknya seseorang menunjukkan penampilan kreatif. Moidalitas kepribadian ini dapat diteliti dalam hubungan ini.
Anne Roe (2001), memperoleh informasi berkenaan dengan peran sifat-sifat seperti itu dalam penampilan kreatif. Dalam studinya memimpin artis dan memimpin ilmuwan dalam beberapa bidang, Anne Roe menemukan hanya satu sifat yang secara umum ada di antara individu, yaitu kemauan untuk bekerja keras dan bekerja dalam waktu lama (Roe, 1946, 1953). Itulah sifat yang mendukung keberhasilan dan keunggulan dalam bidang apapun. Tidak ada indikasi adanya hubungan unik dengan kreativitas. Sifat itu juga berarti motivasi umum tingkat tinggi, sumbernya kita belum dapat pastikan. Kepada kita tetap masih bermasalah dan memerlukan lebih banyak studi analisis.
Dalam Proyek Bakat (Apptitudes Project) perhatian kami ditujukan pada pertanyaan tentang sifat-sifat non-bakat yang dapat berkontribusi terhadap berpikir kreatif. Sudah dikemukakan kesimpulan bahwa fleksibilitas spontan dalam berpikir muncul menjadi kebebasan dari perseverasi, sebagai satu bentuk kekakuan, dan bahwa flaksibilitas adaptif muncul menjadi kebebasan dari kegigihan menggunakan apa yang dipelajari sebelumnya, metode-metode pemecahan yang sia-sia, adalah bentuk lain kekakuan. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah factor-faktor kekakuan fleksibilitas dalam berpikir harus diklasifikasikan dalam sifat-sifat modalitas bakat atau modalitas tempramen atau apakah dengan contoh-contoh ini kita memperoleh sifat-sifat dengan kedua aspeknya yaitu temperamen dan bakat, tergantung pada bagaimana seseorang melihatnya.
Kita telah berspekulasi tentang apakah orisinalitas adalah sikap unkonvensional yang meramalkan bahwa seseorang tidak akan tampil seperti biasanya atau dalam sikap popular, lebih menyukai cara berperilaku istimewa. Penelitian kami hanya menyinggung pertanyaan ini. Seperti pada factor-faktor kefasihan (fluency factors), tercaqpat sejumlah hipotesis dikemukakan dalam literature berkenaan dengan kemungkinan adanya hubungan antara kelancaqran berpikir dengan sejumlah sifat motivasi dan temperamen (Guilford et al., 1957).
Penyebab lain adanya perhatian terhadap masalah-masalah ini kenyataan bahwa analisis factor sebelumnya telah mengindikasikan sekurang-kurangnya tiga ciri utama minat dalam jen,is-jenis berpikir yang berbeda, termasuk pehatian dalam berpikir reflektif, berpikir teliti (rigorous), dan berpikir autistic. Apakah perhatian yang ditemukan ini berkaitan dengan berbagai jenis penampilan berpikir? Ditemukan juga sepasang perhatian utama dalam kegiatan estetis, salah satunya disbut aspirasi estetis (esthetic aspiration) dan yang lainnya disebut ekspresi estetis (esthetic expression). Variabel minat ini akan sangat mungkin berkaitan dengan penampilan kreatif dalam bidang seni dan mungkin lebih umum dalam penampilan kreatif. Satu penelitian terbaru tentang analisis faktor tentang minat berpikir mempelajari beberapa hipotesis kemungkinan variable lain (Guilford et al., 1957).
Dengan menggunakan skor self-inventory, ditemukan indikasi beberapa variable yang diharapkan. Salah satu factor terindikasi sebagai toleransi ambiguity. Ini adalah keinginan untuk menerima sejumlah kertidakpastian dalam kesimpulan dan keputusan dan kesenderungan untuk menolak berpikir dalam arti kategori yang kaku, faktor lain diidentifikasi sebagai suatu perhatian dalam berpikir konvergen.
Berpikir konvergen meliputi berpikir kearah satu jawaban benar, atau kearah satu jawaban yang relative telah ditetapkan secara unik. Sebuah factor pendamping didefinisikan sebagai minat atau keinginan untuk berpikir divergen, suatu tipe berpikir dimana pencarian secukupnya dilaksanakan dan sejumlah jawaban ditemukan. Masih ada lagi factor lain yang ditemukan tetapi tidak dapat didefinisikan secara pasti. Bisa saja minat dalam originatitas atau dalam kreativitas secara umum, atau mungkin diidentifikasikan apakah ekspresi estetis atau apresiasi estetis.
Untuk menguji kemungkinan bahwa beberapa atau semua factor ini mempunyai landasan bagi output kreativitas, kita mengkorelasikan skor variable-variabel ini dengan skor penampilan pada tes kefasihan, fleksibilitas, dan originalitas. Juga ada kemungkinan mengorelasikan skor sejumlah variable lainnya, termasuk sifat-sifat lainnya, dengan skor tes bakat yang sama. Kesimpulan didasarkan pada korelasi signifikan secara statistic, tetapi koefiisiennya semua berada di bawah 0,30.
Dari hasilnya kita dapat simpulkan bahwa individu yang menjawab tes kefasihan asosiasi secara baik cenderung memiliki kebutuhan lebih kuat untuk petualangan dan mereka lebih toleran terhadap ambiguity. Individu dengan skor tinggi untuk kefasihan ideasional cenderung akan lebih impulsive, lebih berkuasa, dan lebih percaya dan memiliki apresiasi yang kuat terhadap kreaivitas. Indiviidu yanbg menunjukka gejala nerves dan depresi yang berlebihan akan sedikit lebih rendah pada tugas-tugas yang mempersyaratkan kefasihan ideasional, tetapi menunjukkan tidak adanya hambatan dalam tipe-tipe tes kefasihan lainnya. Mereka yang memperoleh skor lebih tinggi dalam tes kefasihan ekspresional cenderung lebih impulsive, untuk mengapresiasi ekspresi estetik dan untuk berpikir reflektif.
Pengukuran originalitas menunjukkan hubungan dengan sejumlah sifat non-bakat, tetapi tidak begitu kuat. Orang yang original cenderung lebih percaya diri dan toleran terhadap ambiguity, berpikir reflektif dan divergen serta ekspresi estetis. Orang yang tidak original cenderung lebih jelimet dan merasakan adanya kebutuhan untuk disiplin. Tidak ada indikasi bahwa orang yang original selalu kurang cenderung terhadap kesesuaian budaya, termasuk aspek-aspek moral. Hipotesis bahwa originalitas menaungi satu sikap tidak secara konvensional tidak didukung.
Hubungan antara dua factor fleksibilitas terhadap sifat kekakuan telah dikemukakan. Tidak ditemukan hubungan lain untuk factor-faktor fleksibilitas kecuali beberapa indikasi bahwa seseorang dengan fleksibilitas spontan yang tinggi mungkin akan memiliki kebutuhan yang kuat akan keragaman. Orang yang fleksibel pada tipe ini jelas menunjukkan variasi arah dalam mengejakan tes.
Fakta bahwa semua hubungan ini diteliti dengan tes psikologi harus diberi penekanan. Dengan motivasi secara umum dengan nada tinggi menempuh tes, peserta kurang memiliki ruangan untuk menunjukkan kuatnya hubungan antara penampilan dalam tes itu dan beberapa sifat non-aptitude. Penampilan dalam kehidupan sehari-hari dapat saja lebih kuat berhubungan dengan banyak sifat motivasi dan tempramen.
F.     Pendekatan Psikologis terhadap Kreativitas
Kebutuhan-kebutuhan ini menemukan kekurang siapan psikologi. Beberapa tahun lampau, seorang professor jurnalis datang kepada penulis menanyakan apa yang diketahui para psikolog tentang berpikir kreatif. Beliau berkeinginnan keras untuk mengembangkan bakat menulis kreatif diantara mahasiswanya. Dengan sedikit memohon maaf, dirasa perlu dikatakan kepadanya bahwa hampir tidak ada psikolog yang mengetahui subyek itu.
Sebagian besar kelemahan dari segi psikologi ini dapat ditujukan kepada penerimaan secara umum model stimulus-responsnya
Pendekatan alternative lainnya adalah melalui penekanan pada konsep trait (sifat). Sifat adalah milik (propêrty) individual dan itu merupakan hasil penelitian dengan pendekatan yang menekankan ada perbedaan individual. Suatu sifat adalah sesuatu yang membedakan antara individu yang satu dengan individu lainnya. Karena itu minat para psikolog menekankan pada arah sifat perilaku.
Cara yang paling dapat dipertahankan untuk menemuikan konsep sifat yang dependen pada saat ini adalah dengan analisis factor. Analisis faktor dimulai dengan informasi berkaitan dengan variasi kinerja. Untuk mengatakan bahwa minat berkaitan dengan penampilan akan keliru, karena penampilan yang berinterkorelasi diteliti dan diperoleh dengan control eksperimen terhadap situasi-situasi yang mendukungnya. Dengan berbagai jenis tes baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif kita akan tiba pada interpretasi faktor yang lebih akurat.
Informasi berkenaan dengan factor sering digunakan sebagai informasi berkenaan dengan fungsi-fungsi dasar psikologi. Tujuan bab ini, pertama, memberi survey yang sangat singkat tentang sifat-sifat utama yang diketahui yang dipercaya berkaitan dengan kreativitas. Sifat-sifat utama diperoleh dengan analisis factor. Survei itu akan meliputi sifat-sifat bakat (aptitude) maupun yang non-bakat (non-aptitude), di antaranya sifat-sifat tempramen dan motivasi. Kedua, paper itu akan menunjukkan apa yang nampaknya menjadi tempat bakat untuk kreativitas dalam kerangka umum intelektual. Dengan bertindak seperti itu, sejumlah prediksi akan dibuat berkenaan dengan bakat-bakat yang tidak dapat diemukan untuk berpikir kreatif. Ketiga, beberapa hubungan factor-faktor kreativitas dengan evaluasi kinerja kreatif selain yang dikategorikan pada tes bakat (aptitude-test) akan disebutkan, untuk menunjukkan bahwa faktor-faktor kreativitas memperoleh dukungan dari sumber-sumber lain, termasuk evaluasi terhadap kinerja dalam kehidupan sehari-hari.

G.    Faktor yang Mempengaruhi Kreativitas
Kreativitas peserta didik agar dapat terwujud membutuhkan adanya dorongan dalam diri individu (motivasi intrinsik) dan dorongan dari lingkungan (motivasi ekstrinsik).
 Motivasi untuk Kreativitas:
Pada setiap orang ada kecenderungan atau dorongan untuk mewujudkan potensinya, untuk mewujudkan dirinya; dorongan untuk berkembang dan menjadi matang, dorongan untuk mengungkapkan dan mengaktifkan semua kapasitas seseorang. Dorongan ini merupakan motivasi primer untuk kreativitas ketika individu membentuk hubungan-hubungan baru dengan lingkungannya dalam upaya menjadi dirinya sepenuhnya (Rogers, 1982 dalam Munandar, 1999). Motivasi intrinsik ini yang hendakanya dibangun dalam diri individu sejak dini. Hal ini dapat dilakukan dengan memperkenalkan individu dengan kegiatan-kegiatan kreatif, dengan tujuan untuk memunculkan rasa ingin tahu, dan untuk melakukan hal-hal baru.
Kondisi Eksternal yang mendorong perilaku kreatif
Kondisi eksternal (dari lingkungan) secara konstruktif ikut mendorong munculnya kreativitas. Kreativitas memang tidak dapat dipaksakan, tetapi harus dimungkinkan untuk tumbuh. Individu memerlukan kondisi yang mempk dan memungkinkan individu tersebut mengembangkan sendiri potensinya. Maka penting mengupayakan lingkungan (kondisi eksternal) yang dapat memupuk dorongan dalam diri individu untuk mengembangkan kreativitasnya. Menurut pengalaman Rogers dalam psikoterapi, penciptaan kondisi keamanan dan kebebasan psikologis memungkinkan timbulnya kreativitas yang konstruktif.
Keamanan PsikologiS.
Hal ini dapat terbentuk melalui tiga proses yang saling berhubungan yakni: Menerima individu sebagaimana adanya dengan segala kelebihan dan keterbatasannya. Mengusahakan suasanan yang didalamnya evaluasi eksternal tidak ada, sekurang-kurangnya tidak bersifat atau mempunyai efek mengancam. Memberikan pengertian secara empatis (dapat ikut menghayati)
Dalam suasana ini ”real self” dimungkinkan untuk timbul, untuk diekspresikan dalam bentuk-bentuk baru dalam hubungannya dengan lingkungannya. Inilah pada dasarnya yang disebut memupuk kreativitas.
Kebebasan Psikologis
Memberikan kesempatan pada individu untuk bebas mengekspresikan secara simbolis pikiran-pikiran atau perasaan-perasaannya, permissiveness akan memberikan individu kebebasan dalam berpikir atau merasa sesuai dengan apa yang ada dalam dirinya. Ekspresi dalam bentuk tindakan agresif tidak selalu dimungkinkan, namun tindakan-tindakan konstruktif kearah kreatif hendaknya dimungkinkan.
H.    Hubungan Antara Intelegensi Dengan Kreativitas
Kreativitas merupakan salah satu ciri dari perilaku yang inteligen karena kreativitas juga merupakan manifestasi dari suatu proses kognitif. Meskipun demikian, hubungan antara kreativitas dan inteligensi tidak selalu menunjukkan bukti-bukti yang memuaskan. Walau ada anggapan bahwa kreativitas mempunyai hubungan yang bersifat kurva linear dengan inteligensi, tapi bukti-bukti yang diperoleh dari berbagai penelitian tidak mendukung hal itu.
Skor IQ yang rendah memang diikuti oleh tingkat kreativitas yang rendah pula. Namun semakin tinggi skor IQ, tidak selalu diikuti tingkat kreativitas yang tinggi pula. Sampai pada skor IQ tertentu, masih terdapat korelasi yang cukup berarti. Tetapi lebih tinggi lagi, ternyata tidak ditemukan adanya hubungan antara IQ dengan tingkat kreativitas.
Para ahli telah berusaha mencari tahu mengapa ini terjadi. J. P. Guilford menjelaskan bahwa kreativitas adalah suatu proses berpikir yang bersifat divergen, yaitu kemampuan untuk memberikan berbagai alternatif jawaban berdasarkan informasi yang diberikan. Sebaliknya, tes inteligensi hanya dirancang untuk mengukur proses berpikir yang bersifat konvergen, yaitu kemampuan untuk memberikan satu jawaban atau kesimpulan yang logis berdasarkan informasi yang diberikan.
Ini merupakan akibat dari pola pendidikan tradisional yang memang kurang memperhatikan pengembangan proses berpikir divergen walau kemampuan ini terbukti sangat berperan dalam berbagai kemajuan yang dicapai oleh ilmu pengetahuan.




1 komentar:

  1. Kalo mau refrensi nya coment aja dulu ya...bukannya pelit tapi kalo coment...pasti asyiiiik.................................................................

    BalasHapus