BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Negara Indonesia
merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi menuju industrialisasi tentunya
akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat/mobilitas masyarakat yang
meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat
transportasi/kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal
diperkotaan. Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu
lintas yang tidak teratur dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan
kendaraan bermotor. Kecelakaan tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang
atau disebut fraktur.
Saat
ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di
pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan
dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu
lintas ini selain menyebabkan fraktur, menurut WHO juga menyebabkan kematian 1,25
juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau
dewasa muda.
Fraktur adalah salah satu gangguan musculoskeletal yang
umum yang disebabkan oleh trauma. Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas
di Indonesia
maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan
lalu-lintas dengan kecepatan tinggi sering menyebabkan trauma. dan kita harus
waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma
organ-organ lain. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan
kerja, kecelakaan domestik, dan kecelakaan/cidera olahraga.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah
terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Berdasarkan data dari rekam medik RS Fatmawati di ruang
Orthopedi periode Januari 2007 sampai dengan Juli 2008 berjumlah 323 yang
mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang mengalami fraktur Tibia Fibula
berjumlah 31 orang (5,59%).
Sedangkan di Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. R.
Soeharso, Surakarta sepanjang periode Januari 2008 sampai dengan Januari 2009
dari keseluruhan pasien rawat inap dengan penyakit muskuloskelektal didapatkan
data 793 pasien adalah pasien dengan fraktur akibat dari berbagai
kecelakaan/trauma, dan 82 (10,02%) orang adalah pasien dengan fraktur tibia fibula.
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya
fraktur adalah dengan mengimobilisasi bagian fraktur, salah satu metode
mobilisasi fraktur yaitu fiksasi Interna melalui operasi Orif. Penanganan
tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya
oleh akibat tiga faktor utama yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan
infeksi.
(Rasjad, 1998 : 363)
Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai
pemberi asuhan keperawatan langsung kepada klien yang mengalami fraktur,
sebagai pendidik memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi,
serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan
keperawatan kepada klien fraktur melalui metode ilmiah.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis tertarik
untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana penatalaksanaan, perawatan untuk
mencegah komplikasi lebih lanjut dan bagaimana asuhan keperawatan Close fraktur Tibia Fibula 1/3
Distal Dextra post ORIF (Open Reduction Internal Fixation).
B. Tujuan penulisan
1. Tujuan
Umum
Untuk mendapatkan pengalaman yang nyata tentang asuhan
ke-perawatan dengan Close Fraktur Tibia
Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF (Open Reduction Internal Fixation) dan
sebagai pemahaman tentang penangan pasien Fraktur post ORIF serta mengetahui
komplikasi yang mungkin muncul pada pasien fraktur post operasi dan
pencegahan terhadap komplikasi.
2. Tujuan
Khusus
Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien
Tn. K dengan Close Fraktur Tibia Fibula 1/3 Dextra
post ORIF hari ke-2, Penulis
mampu:
a. Untuk
mengetahui dan memahami tanda gejala dan penatalaksanaan pada pasien fraktur
dan pemulihan agar dapat beraktifitas sesuai fungsinya semula.
b.Untuk memahami perawatan pasien fraktur untuk
mencegah terjadinya komplikasi yang meliputi sindrom kompartemen, mal union, non union delayed union dll.
c. Mengidentifikasi
data yang menunjang masalah keperawatan pada pasien Tn. K dengan diagnosa medis
Close fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF
hari ke-2.
d.Menentukan
diagnosa keperawatan pada pasien Tn. K dengan Close fraktur Tibia Fibula 1/3
Distal Dextra post ORIF hari ke-2.
e. Menyusun rencana keperawatan pada
pasien Tn. K dengan Close fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal
Dextra post ORIF hari ke-2.
f. Melaksanakan
tindakan keperawatan pada pasien Tn. K dengan Close fraktur Tibia Fibula 1/3
Distal Dextra post ORIF hari ke-2.
g.Melaksanakan
evaluasi keperawatan pada pasien Tn. K dengan Close fraktur Tibia Fibula 1/3
Distal Dextra post ORIF hari ke-2.
h.Mengidentifikasi
faktor pendukung dan faktor penghambat serta penyelesaian masalah (solusi)
dalam melaksanakan asuhan kepe-rawatan pada pasien Tn. K dengan Close fraktur
Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF hari ke-2.
C. Metode penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus
ini adalah metode deskriptif melalui pendekatan proses keperawatan pada Pasien
Tn. K dengan diagnosa medis Close Fraktur
Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post open reduction internal fixation (ORIF)
hari ke-2 dilakukan di Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso, dengan cara
teknik pengumpulan data seperti wawancara pada pengkajian pasien, pemeriksaan
fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari catatan medik
klien. Setelah itu data diolah dan dianalisa untuk selanjutnya dirumuskan
masalah sehingga bisa menegakan diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien
untuk kemudian ditetapkan intervensi, dilakukan implementasi dan di evaluasi.
D. Sistematika penulisan
Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi
dan maksud dari laporan kasus ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis
dibagi menjadi 5 bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Meliputi Latar belakang, tujuan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : KONSEP DASAR
Meliputi tinjauan teoritis dari Konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan
keperawatan serta tujuan dan intervensi.
BAB III : RESUME KEPERAWATAN
Meliputi gambaran kasus dan diagnosa, intervensi, implementasi dan
evaluasi keperawatan yang telah penulis tetapkan dan laksanakan.
BAB IV : PEMBAHASAN
Yang membahas tentang persamaan dan kesenjangan antara kasus, yang
ditemukan dengan teori yang didapatkan meliputi definisi, rasional terhadap
setiap diagnosa keperawatan yang ditemukan, faktor pendukung, faktor penghambat
serta solusi.
BAB V : PENUTUP
Yang meliputi kesimpulan dan
Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB II
KONSEP DASAR
A. Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya
kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh
rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung.
(Sjamsuhidajat,
2005 : 840)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas
tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang
dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Faktur dapat
disebabkan oleh pukulan langsung, gaya
meremuk, gerakan memuntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun
tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema
jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf, dan
kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat gaya yang disebabkan oleh
fraktur atau akibat fragment tulang.
(Smeltzer,
2002 : 2357)
Fraktur adalah patah tulang, biasanya
disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga
tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan
menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
(Price
and Wilson, 1995 : 1183)
Fraktur adalah terputusnya hubungan
atau kontinuitas tulang karena stress pada tulang yang berlebihan.
(Luckmann
and Sorensens, 1993 : 1915)
Fraktur tibia fibula adalah
terputusnya kontinuitas tibia dan fibula dimana fragment fraktur menembus atau tidak menembus ke jaringan kulit
dari jaringan lunak disekitar tibia atau fibula. Tulang yang mengalami fraktur
biasanya diikuti kerusakan jaringan disekitarnya, seperti ligament, otot,
tendon, persyarafan dan pembuluh darah, oleh sebab itu pada kasus fraktur- harus
di tangani secara cepat, dan perlu dilakukan tindakan operasi. Setelah
dilakukan tindakan operasi, maka akan timbul masalah baru yaitu adanya nyeri
pada daerah insisi, penurunan kekuatan otot yang keterbatasan lingkup gerak
sendi.
Gambar I: Gambar diatas menunjukan
gambaran patologis fraktur tibia yang sering terjadi pada cedera denga posisi
tumpuan pada kaki.
Sedangkan Sjamsuhidajat, (2005) mengungkapkan patah batang tibia dan fibula yang
lazim disebut patah tulang cruris merupakan fraktur yang sering terjadi
dibanding fraktur batang tulang panjang. Periosteo
yang melapisi tibia agak tipis, terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi
kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragment frakturnya bergeser.
B. Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya:
1.
Trauma
a)
Trauma langsung :
Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat
tersebut.
b)
Trauma tidak langsung :
Titik tumpu benturan dengan terjadinya
fraktur berjauhan.
2.
Fraktur Patologis
Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti
osteoporosis, kanker tulang dan lain-lain.
3.
Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
4. Fraktur
tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki
dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras.
5. Fraktur
tibia dan fibula secara umum akibat dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat
dan sering dikait dengan gangguan kesejajaran.
(Apley,
G.A. 1995 : 840)
C. Anatomi Fisiologi
Sistem musculoskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus
pergerakan. Komponen utama dari sistem musculoskeletal
adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka,
tendon, ligament, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan
struktur-struktur ini.
(Price.
A, 1995 : 1175)
Gambar II: anatomi dari bagian-bagian
tulang panjang dan tampak susunan tulang mulai dari diafisis dan epifisi dan
susunan dalam tulang
Tulang membentuk rangka penunjang dan
pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan
kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang-tulang tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk berbagai
sel darah. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium
dan fosfat.
Komponen-komponen utama dari jaringan
tulang adalah mineral-mineral dan jaringan organik (kolagen dan proteoglikan).
Kalsium dan fosfat membentuk suatu kristal garam (hidroaksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan
proteoglikan. Matriks organik tulang
disebut juga sebagai suatu osteoid. Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen
tipe I yang kaku dan memberikan ketegaran tinggi pada tulang.
Hampir semua tulang berongga di bagian
tengahnya. Struktur demikian memaksimalkan kekuatan struktural tulang dengan
bahan yang relatif kecil atau ringan. Kekuatan tambahan diperoleh dari susunan
kolagen dan mineral dalam jaringan tulang. Jaringan tulang dapat berbentuk
anyaman atau lamelar. Tulang yang
berbentuk anyaman terlihat saat pertumbuhan cepat, seperti sewaktu perkembangan
janin atau sesudah terjadinya patah tulang, selanjutnya keadaan ini akan
diganti oleh tulang yang lebih dewasa yang berbentuk lamelar.
Pada orang dewasa, tulang anyaman
ditemukan pada insersi ligamentum atau tendon. Tulang lamelar terdapat di seluruh tubuh orang dewasa. Tulang lamelar tersusun dari
lempengan-lempengan mineral yang sangat padat, dan bukan merupakan suatu massa kristal yang padat.
Pola susunan semacam ini melengkapi tulang dengan kekuatan yang besar.
(Price.
A, 1995 : 1175)
Diafisis atau batang, adalah bagian
tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal
yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar
di dekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular
atau tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah. Sumsum merah terdapat juga
di bagian epifisis dan diafisis tulang. Pada anak-anak, sumsum merah mengisi
sebagian besar bagian dalam dari tulang panjang, tetapi kemudian diganti oleh
sumsum kuning sejalan dengan semakin dewasanya anak tersebut. Pada orang
dewasa, aktivitas hematopoietik menjadi terbatas hanya pada sternum dan Krista
iliaka, walaupun tulang-tulang yang lain masih berpotensi untuk aktif lagi bila
diperlukan. Sumsum kuning yang terdapat pada diafisis tulang orang dewasa,
terutama terdiri dari sel-sel lemak.
(Price.
A, 1995 : 1175)
Metafisis juga menopang sendi dan
menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligament pada
epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada
anak-anak. Bagian ini akan menghilangkan pada tulang dewasa. Bagian epifisis
yang letaknya dekat sendi tulang panjang bersatu dengan metafisis sehingga
pertumbuhan memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan
fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang dapat
berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang
panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan
keutuhan dari pembuluh pembuluh inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya
proses penyembuhan suatu tulang yang patah.
(Price.
A, 1995 : 1175)
Tulang adalah suatu jaringan dinamis
yang tersusun dari tiga bagian sel, yaitu:
Osteoblas
membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai
matriks tulang atau jaringan osteoid
melalui suatu proses yang disebut osifikasi.
Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid,
osteoblas mensekresikan sejumlah
besar fosfatase alkali, yang memegang
peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang.
Sebagian dari fosfatase alkali akan
memasuki aliran darah, dengan demikian maka kadar fosfatase alkali didalam darah dapat menjadi indikator yang baik
tentang tingkat pembentukan tulang setelah mengalami patah tulang.
(Pearce,
1999 : 81)
Osteosit
adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk
pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
Osteoklas adalah sel-sel besar berinti
banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorbsi. Tidak
seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel-sel ini
menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam
yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam
aliran darah.
Pada keadaan normal tulang mengalami
pembentukan dan absorbsi pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa
pertumbuhan kanak-kanak di mana lebih banyak terjadi pembentukan daripada
absorbsi tulang. Proses-proses ini penting untuk fungsi normal tulang. Keadaan
ini membuat tulang dapat berespons terhadap tekanan yang meningkat dan untuk
mencegah terjadi patah tulang. Bentuk tulang dapat disesuaikan dalam menanggung
kekuatan mekanis yang semakin meningkat. Perubahan tersebut juga membantu
mempertahankan kekuatan tulang pada proses penuaan. Matriks organik yang sudah
tua berdegenerasi, sehingga membuat tulang secara relatif menjadi lemah dan
rapuh. Pembentukan tulang yang baru memerlukan matriks organik baru, sehingga
memberi tambahan kekuatan pada tulang.
(Pearce,
1999 : 81)
Metabolisme tulang diatur oleh beberapa
hormon. Suatu peningkatan kadar hormon paratiroid mempunyai efek langsung dan
segera pada mineral tulang, menyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan
bergerak memasuki serum. Di samping itu, peningkatan kadar hormon paratiroid
secara perlahan-lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklas, sehingga terjadi demineralisasi.
Peningkatan kadar kalsium serum pada hiperparatiroidisme
dapat pula menimbulkan pembentukan batu ginjal.
Vitamin D mempengaruhi deposisi dan
absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi tulang
seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada
vitamin D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang. Vitamin D
dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang, antara lain dengan
meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.
Estrogen menstimulasi osteoblas. Penurunan estrogen setelah
menopause mengurangi aktivitas osteoblastik,
menyebabkan penurunan matriks organik tulang. Umumnya, klasifikasi tulang tidak
terpengaruh pada osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum usia 65 tahun,
namun berkurangnya matriks organiklah yang merupakan penyebab dari osteoporosis.
(Pearce,
1999 : 81)
Fungsi osteoblastik juga tertekan apabila penderita diberi glukokortikoid dengan dosis besar.
Keadaan ini dapat menyebabkan osteoporosis akibat kegagalan osteoblas membentuk matriks tulang baru.
Tibia atau tulang kering merupakan kerangka
yang utama dari tungkai bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang
betis: Fibia adalah tulang pipa dengan
sebuah batang dan dua ujung.
(Pearce,
1999 : 82)
Ujung atas memperlihatkan adanya kondil
medial dan kondil lateral. Kondil-kondil ini merupakan bagian yang paling atas
dan paling pinggir dari tulang permukaan superiornya memperlihatkan dua dataran
permukaan persendian untuk femur dalam formasi sendi lutut. Permukaan-permukaan
tersebut halus dan diatas permukaannya yang datar terdapat tulang rawan
semilunar (setengah bulan) yang membuat permukaan persendian lebih dalam untuk
penerimaan kondil femur.
Kondil lateral memperlihatkan posterior
sebuah faset untuk persendian dengan kepala fibula pada sendi tibio-fibuler superior. Kondisi-kondisi
ini disebelah belakang dipisahkan oleh lekukan popliteum.
(Pearce,
1999 : 82)
Tuberkel dari tibia ada disebelah depan
tepat dibawah kondil-kondil ini. Bagian depan memberi kaitan kepada tendon
patella yaitu tendon dari insersi otot extensor
kwadrisep. Bagian bawah dari tuberkel
itu adalah subkutanes dan sewaktu berlutut menyangga berat badan.
(Pearce,
1999 : 82)
Batang dalam irisan melintang bentuknya
segitiga, sisi anteriornya paling menjulang dan sepertiga sebelah tengah
terletak subkutan. Bagian ini membentuk Krista tibia. Permukaan medial adalah subkutaneus pada hampir seluruh
panjangnya dan merupakan daerah berguna dari mana dapat diambil serpihan tulang
untuk transplantasi (bonegraft).
(Pearce,
1999 : 83)
Ujung bawah masuk dalam formasi
persendian mata kaki, tulangnya sedikit melebar dan kebawah sebelah medial
menjulang menjadi maleolus medial dan maleolus tibiae. Sebelah depan tibia
halus dan tendon-tendon menjular diatasnya ke arah kaki.
Permukaan lateral dari ujung bawah
bersendi dengan fibula pada persendian tibia-fibuler inferior. Tibia membuat
sendi dengan 3 tulang yaitu femur, fibula, talus.
(Pearce,
1999 : 83)
D. Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur menurut garis
patahannya yang dikemukakan oleh Price A.
Sylvia (1995) antara lain:
1.
Fraktur Transversal
Fraktur transversal adalah frak-tur
yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Pada fraktur
semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi kembali
ke tempatnya semula, maka segmen-segmen itu akan stabil, dan biasanya mudah
dikontrol dengan bidai gips.
Gambar 3a : Tampak
fraktur transversal pada tulang tibia.
2.
Fraktur Spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi pada
ekstermitas. Fraktur-fraktur ini khas pada cidera olahraga ski, dimana ujung
ski terbenam pada tumpukan salju dan ski terputar sampai tulang patah.
Gambar
3b: fraktur Spiral
Yang menarik adalah bahwa jenis fraktur
rendah energi ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaring-jaring lunak, dan
fraktur semacam ini cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
3.
Fraktur multiple
pada satu tulang
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang
menyebabkan terpisahnya segmen sentral dari
suplai darahnya. Fraktur semacam ini sulit ditangani. Biasanya satu ujung yang
tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk menyembuh, dan keadaan ini
mungkin memerlukan pengobatan secara bedah. Comminuted
fracture adalah serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan di mana terdapat lebih dari dua fragmen
tulang.
Gambar 3c: Fraktur
Multiple pada tulang tibia
4.
Fraktur impaksi/kompresi
Fraktur kompresi terjadi ketika dua
tulang menumbuk tulang ke tiga yang berada di antaranya, seperti satu vertebra
dengan dua vertebra lainnya. Fraktur pada korpus vertebra ini dapat didiagnosis
dengan radiogram.Pandangan lateral dari tulang punggung menunjukkan pengurangan
tinggi vertikal dan sedikit membentuk sudut pada satu atau beberapa vertebra.
Pada orang muda, fraktur kompresi dapat disertai perdarahan retroperitoneal
yang cukup berat. Seperti pada fraktur pelvis, penderita dapat secara cepat
menjadi syok hipovolemik dan meninggal jika tidak dilakukan pemeriksaan denyut
nadi, tekanan darah dan pernapasan secara akurat dan berulang dalam 24 sampai
48 jam pertama setelah cidera. Ileus dan retensi kemih dapat juga terjadi pada
cidera ini.
Gambar
3d: Fraktur kompresi pada tulang vertebra, tampak pengurangan tinggi vertical
dan terbentuk sudut.
5.
Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah
tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor atau proses patologik
lainnya. Tulang sering kali menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang
paling sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor baik primer atau
tumor metastasis.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
6.
Fraktur beban lainnya
Fraktur beban terjadi pada orang-orang yang
baru saja menambah tingkat aktivitas mereka baru diterima untuk dilatih dalam
angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru memulai latihan lari. Pada saat
awitan gejala timbul, radiogram mungkin tidak menunjukkan adanya fraktur.
Tetapi, biasanya setelah 2 minggu, timbul garis-garis radio-opak linear tegak
lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur semacam ini akan sembuh dengan
baik jika tulang itu dimobilisasi selama beberapa minggu. Tetapi, jika tidak
terdiagnosis, tulang-tulang dapat bergeser dari tempat asalnya dan tidak
menyembuh dengan seharusnya. Jadi, setiap pasien yang mengalami nyeri berat
setelah meningkatkan aktivitas kerja tubuh, mungkin mengalami fraktur.
Penderita semacam ini harus dianjurkan untuk memakai alat proteksi seperti
tongkat, atau bidai gips yang tepat. Setelah 2 minggu, harus dilakukan
pemeriksaan radiografi.
7.
Fraktur greenstick
Fraktur greenstick adalah fraktur
tidak sempurna sering terjadi pada anak-anak. Konteks tulangnya sebagian masih
utuh, demikian juga periosteum.
Fraktur-fraktur ini akan segera sembuh dan segera mengalami re-modelling ke bentuk dan fungsi
normal.
8.
Fraktur Ovulsi
Fraktur Ovulsi memisahkan suatu fragmen
tulang pada tempat insersi tendon ataupun ligamen. Biasanya tidak ada
pengobatan yang spesifik yang diperlukan. Namun, bila diduga akan terjadi
ketidakstabilan sendi atau hal-hal lain yang menyebabkan kecacatan, maka perlu
dilakukan pembedahan untuk membuang atau meletakkan kembali fragmen tulang
tersebut.
9.
Fraktur Kominutif/Comminuted
Adalah jenis fraktur denga patahan
tulang pecah menjadi beberapa fragmentetapi dalan satu macam tulang.
Gamabar
3f: fraktur kominutif
10. Fraktur
sendi
Catatan khusus harus dibuat untuk fraktur
yang melibatkan sendi, terutama apabila geometri sendi terganggu secara
bermakna. Jika tidak ditangani secara tepat, cedera semacam ini akan
menyebabkan esteoartritis pasca trauma yang progresif pada sendi
yang cedera tersebut.
(Oeswari,
2000)
Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya
hubungan antara patahan dengan dunia luar antara lain:
1.
Fraktur tertutup
Fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit.
2.
Fraktur terbuka
Secara teknik, fraktur terbuka adalah
fraktur dimana kulit dari ekstremitas yang terlibat telah ditembus, yang perlu
diperhatikan adalah apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat
terjadinya fraktur tersebut. Fragmen fraktur dapat menembus kulit pada saat
terjadinya cedera, terkontaminasi, kemudian kembali hampir pada posisinya
semula.
Gambar IIIg: Tampak Open fraktur pada radius
ulna dengan open fraktur komplit dan mengalami perdarahan.
Pada keadaan semacam ini maka operasi untuk irigasi,
deb-ridement, dan pemberian
antibiotika secara intravena mungkin diperlukan untuk mencegah terjadinya osteomielitis. Pada umumnya, operasi
irigasi dan debridement pada fraktur
terbuka harus dilakukan pada waktu 6 jam setelah terjadinya cedera untuk
mengurangi kemungkinan infeksi.
(Sjamsuhidajat,
2005)
E. Patofisiologi
Fraktur bawah lutut paling sering
adalah fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh
dengan kaki dalam posisi fleksi, atau gerakan memuntir yang keras. Fraktur
tibia dan fibula sering terjadi dalam kaitan satu sama lain. Pasien datang
dengan nyeri, deformitas, hematoma
yang jelas, dan edema berat. Sering kali fraktur ini melibatkan kerusakan
jaringan lunak berat karena jaringan subkutis didaerah ini sangat tipis.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Fungsi saraf peroneus dikaji untuk dipakai sebagai data dasar. Jika fungsi saraf
terganggu, pasien tak akan mampu melakukan gerakan dorsofleksi ibu jari pertama
dan kedua. Kerusakan arteri tibialis
dikaji dengan menguji respons pengisian kapiler. Pasien dipantau mengenai
adanya sindrom kompartemen anterior. Gejalanya meliputi nyeri yang tak
berkurang dengan obat dan bertambah bila melakukan fleksi plantar, tegang dan
nyeri tekan otot disebelah lateral Krista tibia, dan parestesia. Fraktur dekat sendi dapat mengakibatkan komplikasi
berupa hemartrosis dan kerusakan ligament.
(Oeswari,
2000)
Kebanyakan fraktur tibia tertutup
ditangani dengan redaksi tertutup dan imobilisasi
awal dengan gips sepanjang tungkai jalan atau patellar-tendon-bearing. Redaksi harus relatif akurat dalam hal
angulasi dan rotasinya. Ada
saat dimana sangat sulit mempertahankan reduksi, sehingga perlu dipasang pin
perkutaneus dan dipertahankan dalam posisinya dengan gips (mis. Teknik pin
dalam gips) atau fiksator eksterna yang digunakan. Pembebanan berat badan
parsial biasanya diperbolehkan dalam 7 sampai 10 hari. Aktivitas akan mengurangi
edema dan meningkatkan peredaran darah. Gips diganti menjadi gips tungkai
pendek atau brace dalam 3 sampai 4 minggu, yang memungkinkan gerakan lutut.
Penyembuhan fraktur memerlukan waktu 6 sampai 10 minggu.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Fraktur terbuka atau kominutif dapat
ditangani dengan traksi skelet, fiksasi interna dengan batang, plat atau nail,
atau fiksasi eksternal. Latihan kaki dan lutut harus didorong dalam batas alat
imobilisasi. Pembebanan berat badan dimulai sesuai resep, biasanya sekitar 4
sampai 6 minggu.
Seperti pada fraktur ekstremitas bawah,
tungkai harus ditinggikan untuk mengontrol edema. Diperlukan evaluasi neurovaskuler
berkesinam-
bungan. Terjadinya sindrom kompartemen perlu dideteksi
segera dan ditangani untuk mencegah defisit fungsional menetap.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Penyembuhan
fraktur
Jika satu tulang sudah patah, maka
jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum
terpisah dari tulang, dan terjadi pendarahan yang cukup berat. Bekuan darah
terbentuk pada daerah tersebut, bekuan akan membentuk jaringan granulasi,
dimana sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdeferensiasi menjadi
kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan mensekresi fosfat, yang merangsang
deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) disekitar lokasi fraktur.
Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan ini terus menebal
dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen satunya, dan menyatu. Fungsi
dari kedua fragment (penyembuhan
fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang
melekat pada tulang dan meluas menyeberangi lokasi fraktur. Penyatuan (union)
tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi
lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami re-modelling dimana osteoblas akan membentuk tulang baru sementara osteoklas akan
menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang
menyerupai keadaan tulang aslinya.
(Underwood,
2000)
F. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah
nyeri, hilangnya fungsi, deformitas,
pemendekan ekstremitas, krepitus,
pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
1.
Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai
fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk
bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2. Setelah
terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak
secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti
normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan
deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan
membandingkan dengan ekstermitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan
baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat
melengketnya otot.
(Sjamsuhidayat,
2005 : 2358 – 2359)
3.
Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang
sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur.
Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1
sampai 2 inci).
4.
Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya
derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu
dengan lainnya, (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang
lebih berat).
5.
Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit
terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini
bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut
terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear
atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama
lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan
sinar-X pasien. Biasanya pasien
mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
(Sjamsuhidayat
2005;2358 – 2359)
G. Pathways
H. Diagnosis Fraktur
Sering kali pasien datang sudah dengan
keluhan bahwa tulangnya patah karena jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi
pasien. Sebaliknya juga mungkin, patah tulang tidak disadari oleh penderita dan
mereka datang dengan keluhan “keseleo”, terutama patah yang disertai dengan
dislokasi fragment yang minimal.
Diagnosis patah tulang juga dimulai dengan anamnesis: adanya trauma tertentu,
seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan beberapa kuatnya trauma tersebut. Dalam
persepsi penderita trauma tersebut bisa dirasa berat meskipun sebenarnya
ringan, sebaliknya bisa dirasa ringan meskipun sebenarnya berat. Selain riwayat
trauma, biasanya didapati keluhan nyeri meskipun patah tulang yang fragmen
patahnya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri. Banyak patah tulang
mempunyai cidera yang khas.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Pemeriksaan untuk menentukan ada atau
tidaknya patah tulang terdiri dari atas empat langkah: tanyakan, lihat, raba,
dan gerakkan (anamnesa, look, feel dan motorik).
Pada pemeriksaan fisik mula-mula
dilakukan inspeksi dan terlihat pasien kesakitan, mencoba melindungi anggota
badannya yang patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok,
terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakan yang tidak normal. Nyeri yang
secara subjektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara objektif pada
palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan
sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah
searah dengan sumbunya. Keempat sifat nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang
tepat sama. Gerakan antar fragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena
menimbulkan nyeri dan mengakibatkan cidera jaringan. Pemeriksaan gerak
persendian secara aktif termasuk pemeriksaan rutin patah tulang.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan
adalah pemeriksaan klinis untuk mencari akibat trauma, seperti pneumothoraks atau cidera otak, serta
komplikasi vaskuler dan neurologist dari patah tulang yang bersangkutan. Hal
ini penting karena komplikasi tersebut perlu penanganan yang segera.
Pada pemeriksaan radiologis dengan
pembuatan foto rontgen dua arah 900 didapatkan gambaran garis patah.
Pada patah yang fragmentnya mengalami dislokasi, gambaran garis patah biasanya
jelas. Dalam banyak hal, pemeriksaan radiologis tidak dimaksudkan untuk
diagnostik karena pemeriksaan klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan
pengelolaan yang tepat dan optimal.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Foto Ront-gen harus memenuhi
beberapa syarat, yaitu letak patah tulang harus di pertengahan foto dan sinar harus menembus
tempat ini secara tegak lurus karena foto rontgen merupakan foto gambar bayangan.
Bila sinar menembus secara miring, gambar menjadi samar, kurang jelas dan lain
dari kenyataan. Harus selalu dibuat dua lembar foto dengan arah yang saling
tegak lurus.
Pada tulang, panjang persendian
proksimal maupun yang distal harus turut difoto. Bila ada kesangsian atas
adanya patah tulang atau tidak, sebaliknya dibuat foto yang sama dari anggota
gerak yang sehat untuk perbandingan. Bila tidak diperoleh kepastian adanya
kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah satu minggu, bila
hasilnya retak dan menjadi nyata karena hyperemia setempat sekitar tulang yang
retak itu akan tampak.
Pemeriksaan khusus seperti CT scan
kadang diperlukan, misalnya dalam hal patah tulang vertebrata dengan gejala neurologis.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
I. Penatalaksanaan
Fraktur tertutup tibia dan fibula dengan garis fraktur transversal atau miring yang stabil,
cukup dimobilisasi dengan gips dari jari kaki sampai puncak paha dengan lutut
letak faal yaitu fleksi ringan, untuk
mengatasi rotasi pada daerah fragment.
Setelah dipasang ditunggu sampai gips kering biasanya 2 hari. Saat itu gips
tidak boleh dibebani. Penyambung patah tulang diafisis biasanya terjadi 3-4 bulan.
Agulasi dalam gips biasanya dapat dikoreksi dengan membentuk insisi pada gips. Segera
setelah fraktur yang cenderung tidak dislokasi, diizinkan dan diinstruksi untuk
menopang berat badan dan berjalan. Makin cepat patah tulang dibebani, makin
cepat penyembuhan. Gips tidak boleh dibuka sebelum penderita dapat berjalan
tanpa nyeri.
(Smeltzer
C dan B. G Bare, 2001 : 2386)
Garis fraktur yang miring dan membentuk
spiral tidak stabil karena cenderung membengkak dan memendek sesudah reposisi
tertutup. Oleh karena itu, diperlukan tindakan reposisi terbuka dan penggunaan
fiksasi intern atau ekstern. Fraktur dengan dislokasi fragmen dan tidak stabil
membutuhkan traksi kalkancus kontinu.
Setelah terbentuk kalus fibrosis,
dipasang gips sepanjang tungkai dari jari hingga paha.
(Sjamsuhidajat
dan wim dejong, 2004:886)
Kebanyakan fraktur tibia tertutup ditangani dengan reduksi tertutup dan imobilisasi
awal dengan gips sepanjang tungkai jalan atau pattelar-tendon -bearing reduksi harus relatif akurat
dalam hal angulasi dan rotasinya. Ada
saat dimana sangat sulit mempertahankan reduksi. Sehingga perlu dipasang pin perkutaneus dan dipertahankan dalam
posisinya dengan gips (misal teknik pin dalam gips) atau fiksator eksternal
yang digunakan. Pembebanan berat badan parsial biasanya diperbolehkan dalam
7-10 hari. Aktivitas akan mengurangi edema
dan meningkatkan peredaran. Gips diganti menjadi gips tungkai pendek atau brace dalam 3-4 minggu, yang memungkinkan
gerakan lutut. Penyembuhan fraktur memerlukan waktu 6-10 minggu.
(Smeltzer
C Suzanne dan Brenda G Bare, 2001 : 2386)
Prinsip penanganan fraktur meliputi
rekognisi, reduksi imobilisasi dan
pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
- Rekognasi
Riwayat kecelakaan, derajat keparahannya,
jenis kekuatan yang berperan, dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh
penderita sendiri menentukan apakah ada kemungkinan fraktur, dan apakah perlu
dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mencari adanya fraktur. Nyeri pada fraktur
tulang panjang sangat khas. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa
nyeri sekali dan bengkak, tetapi bagian lainnya, seperti lutut dan pergelangan
kaki, hampir dapat dikatakan normal. Kelainan bentuk yang nyata dapat
menentukan diskontinuitas integritas rangka. Perkiraan diagnosis fraktur pada
tempat kejadian dapat dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri dan bengkak
lokal, kelainan bentuk, dan ketidakstabilan. Krepitus menyatakan perasaan seakan-akan seperti ada dua kertas gosok (amplas) yang digesek-gesekkan
satu dengan lainnya. Meskipun krepitus
ini juga ditemukan pada kondisi ortopedik lainnya, namun krepitus merupakan petunjuk adanya fraktur dan sesungguhnya sensasi
ini ditimbulkan karena gesekan fragment-fragment
tulang yang patah. Fragment-fragment
tulang yang patah mungkin tajam dan keras. Pergerakan relatif sesudah cidera
dapat mengganggu suplai neurovascular
ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur
tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai untuk
melindunginya dari kerusakan yang lebih parah.
Kerusakan jangan lunak yang nyata dapat juga
dipakai sebagai petunjuk kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan
bidai segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan
pada cidera tulang belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio
pada wajah dan kulit kepala menunjukkan perlunya evaluasi radiografik, yang dapat memperlihatkan fraktur tulang belakang
bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan
untuk menstabilkannya.
(Smeltzer
C dan B. G Bare, 2001)
- Reduksi Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan
untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur,
namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi
fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak -
kehilangan elastisitasnya akibat
infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi
semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
(Smeltzer,
2001: 2386).
Keterangan gambar: Fraktur tibia
fibula post ORIF (open reduction internal fixation)
Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan untuk menjalani
prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika
diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani
dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi
tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment
tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan
traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang
diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter. Alat
imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan
tulang. Sinar-X harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragment tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek
reduksi dan imobilisasi. Beratnya
traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-X digunakan untuk
memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragment
tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-X.
Ketika kalus telah kuat, dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi
tertutup dengan operasi. Dengan pendekatan bedah, fragment tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin,
kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk
mempertahankan fragment tulang dalam
posisinya sampai penyembuhan tulang yang sulit terjadi. Alat ini dapat
diletakkan di sisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau langsung ke
rongga sumsum tulang. Alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat
bagi fragmen tulang.
(Smeltzer
C dan B. G Bare, 2001 : 2386)
- Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada
Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa
dikenal dengan OREF, biasanya dilakuakn pada fraktur yang terjadi pada tulang
panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan
melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian
luar.The usual indications are open fractures such
as a tibia fracture which requires dressings or attention to a wound or flap.
Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah
fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings.
Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna.It can also be used with closed fractures eg unstable
radius fracture.tett External fixation is
most successful in superficial bones eg tibial shaft.Eksternal fiksasi
yang paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial
batang.
Keterangan Gambar:
eksternal Fixation pada open
fraktuf tulang
tibia.
- Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi,
atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi
penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna.
Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin
dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk
fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi
fraktur.
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi.
Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan
imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler
(misalnya pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan
ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler.
Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan
(misalnya menyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk
analgetika). Latihan isometrik dan setting
otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi
diseasse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas
hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri.
Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan
terapeutik. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli
bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan
dan stress pada ekstremitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat
aktivitas dan beban berat badan.
(Oeswari,
2005)
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan
fraktur. Diperlukan berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk kebanyakan
fraktur untuk mengalami penyembuhan kecepatan penyembuhan tulang. Reduksi fragment tulang. Fraktur direduksi
dengan hati-hati dan distabilisasi dengan fiksasi eksterna. Setiap kerusakan
pada pembuluh darah, jaringan lunak, otot, saraf, dan tendo diperbaiki.
Ekstermitas ditinggikan untuk meminimalkan
terjadinya edema. Status neurovaskuler
dikaji sesering mungkin. Suhu tubuh pasien diperiksa dengan interval waktu teratur,
dan pasien dipantau mengenai adanya tanda infeksi.
(Oeswari,
2005)
Penutupan primer mungkin tak dapat dicapai
karena adanya edema dan potensial iskemia, cairan luka yang tak dapat keluar,
dan infeksi anaerob. Luka yang sangat terkontaminasi sebaiknya tidak dijahit,
dibalut dengan pembalut steril, dan tidak ditutup sampai ketahuan bahwa daerah
tersebut tidak mengalami infeksi. Profilaksis tetanus diberikan. Biasanya
diberikan antibiotika intravena untuk mencegah atau menangani infeksi serius.
Luka ditutup dengan jahitan atau graft
atau flap kulit autoge pada hari ke-5
sampai ke-7.
Faktor yang Mempercepat Penyembuhan Fraktur:
·
Imobilisasi fragment
tulang
·
Kontak fragment
tulang maksimal
·
Asupan darah yang memadai
·
Nutrisi yang baik
·
Latihan pembebanan berat badan untuk tulang
panjang
·
Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin,
vitamin D, steroid anabolik.
Faktor yang Menghambat Penyembuhan Tulang:
·
Trauma lokal ekstensif
·
Kehilangan tulang
·
Imobilisasi tak memadai
·
Rongga atau jaringan di antara fragmen tulang
·
Infeksi
·
Keganasan lokal
·
Penyakit tulang metabolik (mis. penyakit Paget)
·
Radiasi tulang (nekrosis radiasi)
·
Nekrosis avaskuler
·
Usia (lansia sembuh lebih lama).
(Smeltzer dan Bare, 2001 : 2386)
J. Komplikasi
- Dini
-
Compartement
syndrome
-
Komplikasi ini terutama terjadi pada fraktur proksimal
tibia tertutup
-
Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan gangguan vaskularisasi tungkai bawah yang dapat mengancam
kelangsungan hidup tungkai bawah.
Yang paling sering terjadi yaitu anterior compartement syndrome
-
Mekanisme: dengan terjadi fraktur tibia terjadi
perdarahan intra-compartement, hal ini akan menyebabkan aliran balik-balik
darah vena terganggu. Hal ini akan menyebab oedema.
Dengan adanya oedema tekanan intracompartment makin meninggi sampai
akhirnya sedemikian tinggi sehingga menyumbat arteri di intra compartement.
-
Gejala: Rasa sakit pada tungkai bawah dan ditemukan parasthesia, rasa sakit akan bertambah
bila jari digerakkan secara pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat
terjadi paralyse pada otot-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum longus dan tibia anterior.
-
Tekanan intracompartement
dapat diukir langsung dengan cara whitesides.
-
Penanganan: dalam waktu kurang 12 jam harus dilakukan fascioterapi.
(Apley,
1995 : 216)
- Lanjut
-
Malunion:
biasanya terjadi pada fraktur yang komminutiva sedang immobilisasinya longgar,
sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan
osteotomi.
-
Delayed union:
terutama terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi atau pada
frakter yang communitiva. Hal ini dapat
diatasi dengan operasi bonegraft alih
tulang spongiosa.
-
Non union:
Disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan
infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut cara papineau.
-
Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan karena pemakaian
gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi
hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan fisiotherapi .
(Apley,
1995 : 216)
K. Fokus Pengkajian
1.
Pengkajian Primer (Doengoes,
2000)
-
Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya
penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.
-
Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya
pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi/aspirasi.
-
Circulation
RD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada
tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini. Disritmia, kulit
dan membrane mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
2.
Pengkajian Sekunder
a.
Aktivitas / Istirahat
-
Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
-
Keterbatasan mobilitas
b.
Sirkulasi
-
Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
-
Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah)
-
Tachikardi
-
Penurunan nadi pada bagian distal yang cidera
-
Capilary refill
melambat
-
Pucat pada bagian yang terkena
-
Masa hematoma pada sisi cedera
c.
Neurosensori
-
Kesemutan
-
Deformitas, krepitasi, pemendekan
-
Kelemahan
d.
Kenyamanan
-
Nyeri tiba-tiba saat cidera
-
Spasme/kram
otot
e.
Kemanan
-
Laserasi kulit
-
Perdarahan
-
Perubahan warna
-
Pembengkakan lokal
(Corwin,
2001)
L. Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi
a.
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan
rangka neuromuskuler dan immobilisasi.
(Doengoes,
2000)
Tujuan :
Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang setelah
dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
-
Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang
mungkin
-
Mmepertahankan posisi fungsional
-
Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit
-
Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi :
a.
Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b.
Tinggikan ekstrimitas yang sakit
c.
Instruksi klien/bantu dalam latihan rentang gerak pada
ekstremitas yang sakit dan tak sakit.
d.
Beri penyangga pada ekstremitas yang sakit diatas dan
dibawah fraktur ketika bergerak.
e.
Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f.
Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan aktifitas
dalam lingkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan. Awasi tekanan
darah, nadi dengan melakukan aktivitasi
g.
Ubah posisi secara periodic
tiap 2 jam
h.
Kolaborasi fisioterapi/okupasi
terapi.
b.
Nyeri berhubungan dengan spasme otot, discontinuitas (pergeseran) fragmen
tulang dan adanya proses inflamasi dari luka post operasi.
(Doengoes,
2000)
Tujuan :
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan
perawatan
Kriteria hasil :
-
Klien mengatakan nyeri berkurang
-
Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam
aktivitas/tidur/ istirahat dengan tepat
-
Tekanan darah normal
-
Tidak ada peningkatan nadi dan respirasi
Intervensi :
a.
Observasi tanda–tanda vital pasien sesuai kondisi
pasien dan jadwal
b.
Kaji nyeri meliputi lokasi, frekuensi, kwalitas dan
skala nyeri pasien
c.
Pertahankan immobilisasi lokasi fraktur dan luka
operasi
d.
Ajarkan tekhnik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi
nyeri
e.
Posisiskan yang nyaman dengnan sokong/tinggikan dengan
ganjal ekstremitas yang sakit
f.
Kolaborasi pemberian analgetik
c.
Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan
fraktur terbuka, efek tekanan akibat trauma dan bedah perbaikan/insisi post
operasi.
(Doengoes,
2000)
Tujuan :
Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah
tindakan perawatan.
Kriteria hasil :
-
Penyumbuhan luka sesuai waktu
-
Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
Intervensi :
a.
Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda
infeksi atau drainage.
b.
Monitor tanda-tanda vital dan suhu tubuh pasien
c.
Lakukan perawatan kulit, dengan sering patah tulang
yang menonjol
d.
Lakukan alih posisi dengan sering pertahankan
kesejajaran tubuh
e.
Pertahankan sprei tempat tidut tetap kering dan bebas
kerutan
f.
Masage kulit sekitar akhir gips dengan alkohol
g.
Gunakan tempat tidur busa atau kasut udara sesuai
indikasi
h.
Kolaborasi pemberian antibiotik
d.
Konstipasi berhubungan dengan immobilisasi sekunder
akibat post operasi dan efek anastesi (muncul pada post operasi).
(Doengoes,
2000)
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien
dapat BAB, dan tidak terjadi lagi konstipasi.
Kriteria hasil :
-
Pasien bisa BAB minimal 1x sehari
-
Konsistensi feses lunak
-
Nyeri berkurang saat BAB.
Intervensi :
a.
Kaji dan observasi adanya defekasi masalah dalam BAB
pasien
b.
Anjurkan pasien untuk alih posisi tiap 2 jam sekali
c.
Anjurkan pada pasien untuk minum banyak 1500–3000cc
tiap hari.
d.
Anjurkan pada pasien makan makanan yang lunak porsi
sedikit-sedikit tapi sering
e.
Kaji peristaltik usus setiap pagi dan
f.
Anjurkan pasien menghindari mengejaan saat BAB.
e.
Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan perubahan
lingkungan, dan kesulitan menjalani posisi yang biasa akibat nyeri dan luka
post operasi.
(Doengoes,
2000)
Tujuan :
Pola tidur optimal setelah dilakukan
tindakan keperawatan.
Kriteria hasil :
-
Jumlah jam tidur 6–9 jam/24jam
-
Klien mudah memulai tidur
-
Bangun tidur
teras segar
Intervensi :
a.
Kaji ulang pola tidur pasien
b.
Identifikasi penyebab kesulitan tidur pasien dan
masalah dalah pola istirahat tidur
c.
Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang dengan
membatasi pengunjung dan mengurangi kebisingan
d.
Ajarkan tekhnik relaksasi dengan nafas dalam sebelum
tidur saat nyeri muncul
e.
Anjurkan pasien berdoa terlebih dahulu sebelum tidur
f.
Gangguan keseimbangan cairan/kurang volume cairan (syok
hipovolemik) berhubungan dengan perdarahan karena fraktur terbuka.
(Doengoes,
2000)
Tujuan :
Keseimbangan cairan dan elektrolit terpenuhi setelah
mendapatkan intervensi keprawatan.
Kriteria hasil :
-
Vital sign dalam batas normal
-
Balance cairan seimbang
-
Turgor kulit baik
-
Tidak terjadi perdarahan pada fraktur terbuka
Intervensi :
a.
Kaji ulang status perdarahan,banyaknya perdarahan dan
status hidrasi
b.
Lakukan tindakan keperawtan untuk menghentikan
perdarahan
c.
Berikan cairan per oral 2000 – 3000cc/hari
d.
Manajemen masukan cairan parenteral
e.
Kolaborasi dengan tin medis dalam pemberian program therapy menghentikan perdarahan.
g.
Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma
jaringan akibat prosedur invasif dan adanya proses inflamasi luka post operasi.
Tujuan :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam
diharapkan infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil :
-
Tidak terdapat tanda-tanda infeksi seprti pada luka operasi
terdapat pus dan kemerahan, oedem.
-
Tanda–tanda vital dalam batas normal: tekanan darah
120/80mmHg, nadi 82x/menit, respirasi 16–20x/menit, suhu 360C.
-
Laboratorium leukosit, dan hemoglobin normal.
-
Luka kering dan
menunjukan penyembuhan.
Intervensi :
a.
Observasi tanda–tanda vital pasien sesuai kondisi
pasien.
b.
Kaji adanya tanda–tanda infeksi dan peradangan meliputi
adanya kemerahan sekitar luka dan pus pada luka operasi.
c.
Lakukan medikasi luka steril/bersih tiap hari.
d.
Pertahankan tekhnik aseptic
antiseptik/kesterilan dalam perawatan luka dan tindakan keperawatan lainnya.
e.
Jaga personal hygiene pasien.
f.
Manajemen kebersihan lingkungan pasien.
g.
Bantu pasien untuk menjaga personal hygienenya.
h.
Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian therapy
antibiotic
Tidak ada komentar:
Posting Komentar