Jumat, 18 Mei 2012

ASKEP FRAKTUR....ini Askep saya waktu Profesi


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan negara berkembang yang berada dalam taraf halusinasi menuju industrialisasi tentunya akan mempengaruhi peningkatan mobilisasi masyarakat/mobilitas masyarakat yang meningkat otomatisasi terjadi peningkatan penggunaan alat-alat transportasi/kendaraan bermotor khususnya bagi masyarakat yang tinggal diperkotaan. Sehingga menambah “kesemrawutan” arus lalu lintas. Arus lalu lintas yang tidak teratur dapat meningkatkan kecenderungan terjadinya kecelakaan kendaraan bermotor. Kecelakaan tersebut sering kali menyebabkan cidera tulang atau disebut fraktur.
Saat ini, penyakit muskuloskeletal telah menjadi masalah yang banyak dijumpai di pusat-pusat pelayanan kesehatan di seluruh dunia. Bahkan WHO telah menetapkan dekade ini (2000-2010) menjadi Dekade Tulang dan Persendian. Penyebab fraktur terbanyak adalah karena kecelakaan lalu lintas. Kecelakaan lalu lintas ini selain menyebabkan fraktur, menurut WHO juga menyebabkan kematian 1,25 juta orang setiap tahunnya, dimana sebagian besar korbannya adalah remaja atau dewasa muda.
Fraktur adalah salah satu gangguan musculoskeletal yang umum yang disebabkan oleh trauma. Dengan semakin pesatnya kemajuan lalu lintas di Indonesia maka mayoritas fraktur adalah akibat kecelakaan lalu-lintas. Kecelakaan lalu-lintas dengan kecepatan tinggi sering menyebabkan trauma. dan kita harus waspada terhadap kemungkinan polytrauma yang dapat mengakibatkan trauma organ-organ lain. Trauma-trauma lain adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja, kecelakaan domestik, dan kecelakaan/cidera olahraga.
Menurut Smeltzer (2001 : 2357) fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.
Berdasarkan data dari rekam medik RS Fatmawati di ruang Orthopedi periode Januari 2007 sampai dengan Juli 2008 berjumlah 323 yang mengalami gangguan muskuloskletel, termasuk yang mengalami fraktur Tibia Fibula berjumlah 31 orang (5,59%).
Sedangkan di Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso, Surakarta sepanjang periode Januari 2008 sampai dengan Januari 2009 dari keseluruhan pasien rawat inap dengan penyakit muskuloskelektal didapatkan data 793 pasien adalah pasien dengan fraktur akibat dari berbagai kecelakaan/trauma, dan 82 (10,02%) orang adalah pasien dengan fraktur tibia fibula.
Penanganan segera pada klien yang dicurigai terjadinya fraktur adalah dengan mengimobilisasi bagian fraktur, salah satu metode mobilisasi fraktur yaitu fiksasi Interna melalui operasi Orif. Penanganan tersebut dilakukan untuk mencegah terjadinya komplikasi. Komplikasi umumnya oleh akibat tiga faktor utama yaitu penekanan lokal, traksi yang berlebihan dan infeksi.
(Rasjad, 1998 : 363)
Peran perawat pada kasus fraktur meliputi sebagai pemberi asuhan keperawatan langsung kepada klien yang mengalami fraktur, sebagai pendidik memberikan pendidikan kesehatan untuk mencegah komplikasi, serta sebagai peneliti yaitu dimana perawat berupaya meneliti asuhan keperawatan kepada klien fraktur melalui metode ilmiah.
Berdasarkan penjelasan diatas, maka penulis tertarik untuk mengetahui lebih lanjut bagaimana penatalaksanaan, perawatan untuk mencegah komplikasi lebih lanjut dan bagaimana asuhan keperawatan Close fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF (Open Reduction Internal Fixation).

B.      Tujuan penulisan
1.      Tujuan Umum
Untuk mendapatkan pengalaman yang nyata tentang asuhan ke-perawatan dengan Close Fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF (Open Reduction Internal Fixation) dan sebagai pemahaman tentang penangan pasien Fraktur post ORIF serta mengetahui komplikasi yang mungkin muncul pada pasien fraktur post operasi dan pencegahan terhadap komplikasi.
2.      Tujuan Khusus
Setelah melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien Tn. K dengan Close Fraktur Tibia Fibula 1/3 Dextra post  ORIF hari ke-2, Penulis mampu:
a. Untuk mengetahui dan memahami tanda gejala dan penatalaksanaan pada pasien fraktur dan pemulihan agar dapat beraktifitas sesuai fungsinya semula.
b.Untuk memahami perawatan pasien fraktur untuk mencegah terjadinya komplikasi yang meliputi sindrom kompartemen, mal union, non union delayed union dll.
c. Mengidentifikasi data yang menunjang masalah keperawatan pada pasien Tn. K dengan diagnosa medis Close fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF hari ke-2.
d.Menentukan diagnosa keperawatan pada pasien Tn. K dengan Close fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF hari ke-2.
e.  Menyusun rencana keperawatan pada pasien Tn. K dengan Close fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF hari ke-2.
f.  Melaksanakan tindakan keperawatan pada pasien Tn. K dengan Close fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF hari ke-2.
g.Melaksanakan evaluasi keperawatan pada pasien Tn. K dengan Close fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF hari ke-2.
h.Mengidentifikasi faktor pendukung dan faktor penghambat serta penyelesaian masalah (solusi) dalam melaksanakan asuhan kepe-rawatan pada pasien Tn. K dengan Close fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post ORIF hari ke-2.


C.     Metode penulisan
Metode yang digunakan penulis dalam laporan studi kasus ini adalah metode deskriptif melalui pendekatan proses keperawatan pada Pasien Tn. K dengan diagnosa medis Close Fraktur Tibia Fibula 1/3 Distal Dextra post open reduction internal fixation (ORIF) hari ke-2 dilakukan di Rumah Sakit Orthopedi Prof. Dr. R. Soeharso, dengan cara teknik pengumpulan data seperti wawancara pada pengkajian pasien, pemeriksaan fisik, kolaborasi dengan tim kesehatan yang lain serta data dari catatan medik klien. Setelah itu data diolah dan dianalisa untuk selanjutnya dirumuskan masalah sehingga bisa menegakan diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien untuk kemudian ditetapkan intervensi, dilakukan implementasi dan di evaluasi.

D.     Sistematika penulisan
Untuk memudahkan pengertian dan pemahaman terhadap isi dan maksud dari laporan kasus ini, maka penulisannya dibuat secara sistematis dibagi menjadi 5 bab, yaitu:
BAB I : PENDAHULUAN
Meliputi Latar belakang, tujuan, metode penulisan dan sistematika penulisan.
BAB II : KONSEP DASAR
Meliputi tinjauan teoritis dari Konsep dasar penyakit dan konsep dasar asuhan keperawatan serta tujuan dan intervensi.

BAB III : RESUME KEPERAWATAN
Meliputi gambaran kasus dan diagnosa, intervensi, implementasi dan evaluasi keperawatan yang telah penulis tetapkan dan laksanakan.
BAB IV : PEMBAHASAN
Yang membahas tentang persamaan dan kesenjangan antara kasus, yang ditemukan dengan teori yang didapatkan meliputi definisi, rasional terhadap setiap diagnosa keperawatan yang ditemukan, faktor pendukung, faktor penghambat serta solusi.
BAB V : PENUTUP
Yang meliputi kesimpulan dan Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN










BAB II
KONSEP DASAR

A.    Definisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan atau tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Trauma yang menyebabkan tulang patah dapat berupa trauma langsung.
(Sjamsuhidajat, 2005 : 840)
Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya. Faktur terjadi jika tulang dikenai stress yang lebih besar dari yang dapat diabsorbsinya. Faktur dapat disebabkan oleh pukulan langsung, gaya meremuk, gerakan memuntir mendadak, dan bahkan kontraksi otot ekstrim. Meskipun tulang patah, jaringan sekitarnya juga akan terpengaruh, mengakibatkan edema jaringan lunak, perdarahan ke otot dan sendi, dislokasi sendi, ruptur tendo, kerusakan saraf, dan kerusakan pembuluh darah. Organ tubuh dapat mengalami cidera akibat gaya yang disebabkan oleh fraktur atau akibat fragment tulang.
(Smeltzer, 2002 : 2357)
Fraktur adalah patah tulang, biasanya disebabkan oleh trauma atau tenaga fisik kekuatan dan sudut dari tenaga tersebut, keadaan tulang itu sendiri, dan jaringan lunak disekitar tulang akan menentukan apakah fraktur yang terjadi itu lengkap atau tidak lengkap.
(Price and Wilson, 1995 : 1183)
Fraktur adalah terputusnya hubungan atau kontinuitas tulang karena stress pada tulang yang berlebihan.
(Luckmann and Sorensens, 1993 : 1915)
Fraktur tibia fibula adalah terputusnya kontinuitas tibia dan fibula dimana fragment fraktur menembus atau tidak menembus ke jaringan kulit dari jaringan lunak disekitar tibia atau fibula. Tulang yang mengalami fraktur biasanya diikuti kerusakan jaringan disekitarnya, seperti ligament, otot, tendon, persyarafan dan pembuluh darah, oleh sebab itu pada kasus fraktur- harus di tangani secara cepat, dan perlu dilakukan tindakan operasi. Setelah dilakukan tindakan operasi, maka akan timbul masalah baru yaitu adanya nyeri pada daerah insisi, penurunan kekuatan otot yang keterbatasan lingkup gerak sendi.










Gambar I: Gambar diatas menunjukan gambaran patologis fraktur tibia yang sering terjadi pada cedera denga posisi tumpuan pada kaki.
Sedangkan Sjamsuhidajat, (2005) mengungkapkan patah batang tibia dan fibula yang lazim disebut patah tulang cruris merupakan fraktur yang sering terjadi dibanding fraktur batang tulang panjang. Periosteo yang melapisi tibia agak tipis, terutama pada daerah depan yang hanya dilapisi kulit sehingga tulang ini mudah patah dan biasanya fragment frakturnya bergeser.

B.     Etiologi
Penyebab fraktur diantaranya:
1.      Trauma
a)      Trauma langsung                           :
Benturan pada tulang mengakibatkan ditempat tersebut.
b)      Trauma tidak langsung              :
Titik tumpu benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan.
2.      Fraktur Patologis
Fraktur disebabkan karena proses penyakit seperti osteoporosis, kanker tulang dan lain-lain.
3.      Spontan
Terjadi tarikan otot yang sangat kuat seperti olah raga.
4.      Fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi atau gerakan memuntir yang keras.
5.      Fraktur tibia dan fibula secara umum akibat dari pemutaran pergelangan kaki yang kuat dan sering dikait dengan gangguan kesejajaran.
(Apley, G.A. 1995 : 840)
C.    Anatomi Fisiologi
Sistem musculoskeletal merupakan penunjang bentuk tubuh dan mengurus pergerakan. Komponen utama dari sistem musculoskeletal adalah jaringan ikat. Sistem ini terdiri dari tulang, sendi, otot rangka, tendon, ligament, bursa, dan jaringan-jaringan khusus yang menghubungkan struktur-struktur ini.
(Price. A, 1995 : 1175)



 







Gambar II: anatomi dari bagian-bagian tulang panjang dan tampak susunan tulang mulai dari diafisis dan epifisi dan susunan dalam tulang

Tulang membentuk rangka penunjang dan pelindung bagi tubuh dan tempat untuk melekatnya otot-otot yang menggerakkan kerangka tubuh. Ruang di tengah tulang-tulang tertentu berisi jaringan hematopoietik, yang membentuk berbagai sel darah. Tulang juga merupakan tempat primer untuk menyimpan dan mengatur kalsium dan fosfat.
Komponen-komponen utama dari jaringan tulang adalah mineral-mineral dan jaringan organik (kolagen dan proteoglikan). Kalsium dan fosfat membentuk suatu kristal garam (hidroaksiapatit), yang tertimbun pada matriks kolagen dan proteoglikan. Matriks organik tulang disebut juga sebagai suatu osteoid. Sekitar 70% dari osteoid adalah kolagen tipe I yang kaku dan memberikan ketegaran tinggi pada tulang.
Hampir semua tulang berongga di bagian tengahnya. Struktur demikian memaksimalkan kekuatan struktural tulang dengan bahan yang relatif kecil atau ringan. Kekuatan tambahan diperoleh dari susunan kolagen dan mineral dalam jaringan tulang. Jaringan tulang dapat berbentuk anyaman atau lamelar. Tulang yang berbentuk anyaman terlihat saat pertumbuhan cepat, seperti sewaktu perkembangan janin atau sesudah terjadinya patah tulang, selanjutnya keadaan ini akan diganti oleh tulang yang lebih dewasa yang berbentuk lamelar.
Pada orang dewasa, tulang anyaman ditemukan pada insersi ligamentum atau tendon. Tulang lamelar terdapat di seluruh tubuh orang dewasa. Tulang lamelar tersusun dari lempengan-lempengan mineral yang sangat padat, dan bukan merupakan suatu massa kristal yang padat. Pola susunan semacam ini melengkapi tulang dengan kekuatan yang besar.
(Price. A, 1995 : 1175)
Diafisis atau batang, adalah bagian tengah tulang yang berbentuk silinder. Bagian ini tersusun dari tulang kortikal yang memiliki kekuatan yang besar. Metafisis adalah bagian tulang yang melebar di dekat ujung akhir batang. Daerah ini terutama disusun oleh tulang trabekular atau tulang spongiosa yang mengandung sumsum merah. Sumsum merah terdapat juga di bagian epifisis dan diafisis tulang. Pada anak-anak, sumsum merah mengisi sebagian besar bagian dalam dari tulang panjang, tetapi kemudian diganti oleh sumsum kuning sejalan dengan semakin dewasanya anak tersebut. Pada orang dewasa, aktivitas hematopoietik menjadi terbatas hanya pada sternum dan Krista iliaka, walaupun tulang-tulang yang lain masih berpotensi untuk aktif lagi bila diperlukan. Sumsum kuning yang terdapat pada diafisis tulang orang dewasa, terutama terdiri dari sel-sel lemak.
(Price. A, 1995 : 1175)
Metafisis juga menopang sendi dan menyediakan daerah yang cukup luas untuk perlekatan tendon dan ligament pada epifisis. Lempeng epifisis adalah daerah pertumbuhan longitudinal pada anak-anak. Bagian ini akan menghilangkan pada tulang dewasa. Bagian epifisis yang letaknya dekat sendi tulang panjang bersatu dengan metafisis sehingga pertumbuhan memanjang tulang terhenti. Seluruh tulang diliputi oleh lapisan fibrosa yang disebut periosteum, yang mengandung sel-sel yang dapat berproliferasi dan berperan dalam proses pertumbuhan transversal tulang panjang. Kebanyakan tulang panjang mempunyai arteria nutrisi. Lokasi dan keutuhan dari pembuluh pembuluh inilah yang menentukan berhasil atau tidaknya proses penyembuhan suatu tulang yang patah.
(Price. A, 1995 : 1175)
Tulang adalah suatu jaringan dinamis yang tersusun dari tiga bagian sel, yaitu:
Osteoblas membangun tulang dengan membentuk kolagen tipe I dan proteoglikan sebagai matriks tulang atau jaringan osteoid melalui suatu proses yang disebut osifikasi. Ketika sedang aktif menghasilkan jaringan osteoid, osteoblas mensekresikan sejumlah besar fosfatase alkali, yang memegang peranan penting dalam mengendapkan kalsium dan fosfat ke dalam matriks tulang. Sebagian dari fosfatase alkali akan memasuki aliran darah, dengan demikian maka kadar fosfatase alkali didalam darah dapat menjadi indikator yang baik tentang tingkat pembentukan tulang setelah mengalami patah tulang.
(Pearce, 1999 : 81)
Osteosit adalah sel-sel tulang dewasa yang bertindak sebagai suatu lintasan untuk pertukaran kimiawi melalui tulang yang padat.
Osteoklas adalah sel-sel besar berinti banyak yang memungkinkan mineral dan matriks tulang dapat diabsorbsi. Tidak seperti osteoblas dan osteosit, osteoklas mengikis tulang. Sel-sel ini menghasilkan enzim-enzim proteolitik yang memecahkan matriks dan beberapa asam yang melarutkan mineral tulang, sehingga kalsium dan fosfat terlepas ke dalam aliran darah.
Pada keadaan normal tulang mengalami pembentukan dan absorbsi pada suatu tingkat yang konstan, kecuali pada masa pertumbuhan kanak-kanak di mana lebih banyak terjadi pembentukan daripada absorbsi tulang. Proses-proses ini penting untuk fungsi normal tulang. Keadaan ini membuat tulang dapat berespons terhadap tekanan yang meningkat dan untuk mencegah terjadi patah tulang. Bentuk tulang dapat disesuaikan dalam menanggung kekuatan mekanis yang semakin meningkat. Perubahan tersebut juga membantu mempertahankan kekuatan tulang pada proses penuaan. Matriks organik yang sudah tua berdegenerasi, sehingga membuat tulang secara relatif menjadi lemah dan rapuh. Pembentukan tulang yang baru memerlukan matriks organik baru, sehingga memberi tambahan kekuatan pada tulang.
(Pearce, 1999 : 81)  
Metabolisme tulang diatur oleh beberapa hormon. Suatu peningkatan kadar hormon paratiroid mempunyai efek langsung dan segera pada mineral tulang, menyebabkan kalsium dan fosfat diabsorpsi dan bergerak memasuki serum. Di samping itu, peningkatan kadar hormon paratiroid secara perlahan-lahan menyebabkan peningkatan jumlah dan aktivitas osteoklas, sehingga terjadi demineralisasi. Peningkatan kadar kalsium serum pada hiperparatiroidisme dapat pula menimbulkan pembentukan batu ginjal.
Vitamin D mempengaruhi deposisi dan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah besar dapat menyebabkan absorpsi tulang seperti yang terlihat pada kadar hormon paratiroid yang tinggi. Bila tidak ada vitamin D, hormon paratiroid tidak akan menyebabkan absorpsi tulang. Vitamin D dalam jumlah yang sedikit membantu klasifikasi tulang, antara lain dengan meningkatkan absorpsi kalsium dan fosfat oleh usus halus.
Estrogen menstimulasi osteoblas. Penurunan estrogen setelah menopause mengurangi aktivitas osteoblastik, menyebabkan penurunan matriks organik tulang. Umumnya, klasifikasi tulang tidak terpengaruh pada osteoporosis yang terjadi pada wanita sebelum usia 65 tahun, namun berkurangnya matriks organiklah yang merupakan penyebab dari osteoporosis.
(Pearce, 1999 : 81)
Fungsi osteoblastik juga tertekan apabila penderita diberi glukokortikoid dengan dosis besar. Keadaan ini dapat menyebabkan osteoporosis akibat kegagalan osteoblas membentuk matriks tulang baru.
Tibia atau tulang kering merupakan kerangka yang utama dari tungkai bawah dan terletak medial dari fibula atau tulang betis: Fibia adalah tulang pipa dengan sebuah batang dan dua ujung.
(Pearce, 1999 : 82)
Ujung atas memperlihatkan adanya kondil medial dan kondil lateral. Kondil-kondil ini merupakan bagian yang paling atas dan paling pinggir dari tulang permukaan superiornya memperlihatkan dua dataran permukaan persendian untuk femur dalam formasi sendi lutut. Permukaan-permukaan tersebut halus dan diatas permukaannya yang datar terdapat tulang rawan semilunar (setengah bulan) yang membuat permukaan persendian lebih dalam untuk penerimaan kondil femur.
Kondil lateral memperlihatkan posterior sebuah faset untuk persendian dengan kepala fibula pada sendi tibio-fibuler superior. Kondisi-kondisi ini disebelah belakang dipisahkan oleh lekukan popliteum.
(Pearce, 1999 : 82)
Tuberkel dari tibia ada disebelah depan tepat dibawah kondil-kondil ini. Bagian depan memberi kaitan kepada tendon patella yaitu tendon dari insersi otot extensor kwadrisep. Bagian bawah dari tuberkel itu adalah subkutanes dan sewaktu berlutut menyangga berat badan.
(Pearce, 1999 : 82)
Batang dalam irisan melintang bentuknya segitiga, sisi anteriornya paling menjulang dan sepertiga sebelah tengah terletak subkutan. Bagian ini membentuk Krista tibia. Permukaan medial adalah subkutaneus pada hampir seluruh panjangnya dan merupakan daerah berguna dari mana dapat diambil serpihan tulang untuk transplantasi (bonegraft).
(Pearce, 1999 : 83)   
Ujung bawah masuk dalam formasi persendian mata kaki, tulangnya sedikit melebar dan kebawah sebelah medial menjulang menjadi maleolus medial dan maleolus tibiae. Sebelah depan tibia halus dan tendon-tendon menjular diatasnya ke arah kaki.
Permukaan lateral dari ujung bawah bersendi dengan fibula pada persendian tibia-fibuler inferior. Tibia membuat sendi dengan 3 tulang yaitu femur, fibula, talus.
(Pearce, 1999 : 83)
    
D.    Klasifikasi Fraktur
Klasifikasi fraktur menurut garis patahannya yang dikemukakan oleh Price A. Sylvia (1995) antara lain:
1.      Fraktur Transversal
Fraktur transversal adalah frak-tur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Pada fraktur semacam ini, segmen-segmen tulang yang patah direposisi atau direduksi kembali ke tempatnya semula, maka segmen-segmen itu akan stabil, dan biasanya mudah dikontrol dengan bidai gips.

Gambar 3a : Tampak fraktur transversal pada tulang tibia.
2.      Fraktur Spiral
Fraktur spiral timbul akibat torsi pada ekstermitas. Fraktur-fraktur ini khas pada cidera olahraga ski, dimana ujung ski terbenam pada tumpukan salju dan ski terputar sampai tulang patah.
Gambar 3b: fraktur Spiral
Yang menarik adalah bahwa jenis fraktur rendah energi ini hanya menimbulkan sedikit kerusakan jaring-jaring lunak, dan fraktur semacam ini cenderung cepat sembuh dengan imobilisasi luar.
3.      Fraktur multiple pada satu tulang
Fraktur segmental adalah dua fraktur berdekatan pada satu tulang yang menyebabkan terpisahnya segmen sentral  dari suplai darahnya. Fraktur semacam ini sulit ditangani. Biasanya satu ujung yang tidak memiliki pembuluh darah menjadi sulit untuk menyembuh, dan keadaan ini mungkin memerlukan pengobatan secara bedah. Comminuted fracture adalah serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan  di mana terdapat lebih dari dua fragmen tulang.
Gambar 3c: Fraktur Multiple pada tulang tibia
4.      Fraktur impaksi/kompresi
Fraktur kompresi terjadi ketika dua tulang menumbuk tulang ke tiga yang berada di antaranya, seperti satu vertebra dengan dua vertebra lainnya. Fraktur pada korpus vertebra ini dapat didiagnosis dengan radiogram.Pandangan lateral dari tulang punggung menunjukkan pengurangan tinggi vertikal dan sedikit membentuk sudut pada satu atau beberapa vertebra. Pada orang muda, fraktur kompresi dapat disertai perdarahan retroperitoneal yang cukup berat. Seperti pada fraktur pelvis, penderita dapat secara cepat menjadi syok hipovolemik dan meninggal jika tidak dilakukan pemeriksaan denyut nadi, tekanan darah dan pernapasan secara akurat dan berulang dalam 24 sampai 48 jam pertama setelah cidera. Ileus dan retensi kemih dapat juga terjadi pada cidera ini.


 
Gambar 3d: Fraktur kompresi pada tulang vertebra, tampak pengurangan tinggi vertical dan terbentuk sudut.






5.      Fraktur patologik
Fraktur patologik terjadi pada daerah-daerah tulang yang telah menjadi lemah oleh karena tumor atau proses patologik lainnya. Tulang sering kali menunjukkan penurunan densitas. Penyebab yang paling sering dari fraktur-fraktur semacam ini adalah tumor baik primer atau tumor metastasis.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)


6.      Fraktur beban lainnya
Fraktur beban terjadi pada orang-orang yang baru saja menambah tingkat aktivitas mereka baru diterima untuk dilatih dalam angkatan bersenjata atau orang-orang yang baru memulai latihan lari. Pada saat awitan gejala timbul, radiogram mungkin tidak menunjukkan adanya fraktur. Tetapi, biasanya setelah 2 minggu, timbul garis-garis radio-opak linear tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang. Fraktur semacam ini akan sembuh dengan baik jika tulang itu dimobilisasi selama beberapa minggu. Tetapi, jika tidak terdiagnosis, tulang-tulang dapat bergeser dari tempat asalnya dan tidak menyembuh dengan seharusnya. Jadi, setiap pasien yang mengalami nyeri berat setelah meningkatkan aktivitas kerja tubuh, mungkin mengalami fraktur. Penderita semacam ini harus dianjurkan untuk memakai alat proteksi seperti tongkat, atau bidai gips yang tepat. Setelah 2 minggu, harus dilakukan pemeriksaan radiografi.
7.      Fraktur greenstick
Fraktur greenstick adalah fraktur tidak sempurna sering terjadi pada anak-anak. Konteks tulangnya sebagian masih utuh, demikian juga periosteum. Fraktur-fraktur ini akan segera sembuh dan segera mengalami re-modelling ke bentuk dan fungsi normal.


8.      Fraktur Ovulsi
Fraktur Ovulsi memisahkan suatu fragmen tulang pada tempat insersi tendon ataupun ligamen. Biasanya tidak ada pengobatan yang spesifik yang diperlukan. Namun, bila diduga akan terjadi ketidakstabilan sendi atau hal-hal lain yang menyebabkan kecacatan, maka perlu dilakukan pembedahan untuk membuang atau meletakkan kembali fragmen tulang tersebut.
9.      Fraktur Kominutif/Comminuted
Adalah jenis fraktur denga patahan tulang pecah menjadi beberapa fragmentetapi dalan satu macam tulang.

Gamabar 3f: fraktur kominutif





10.  Fraktur sendi
Catatan khusus harus dibuat untuk fraktur yang melibatkan sendi, terutama apabila geometri sendi terganggu secara bermakna. Jika tidak ditangani secara tepat, cedera semacam ini akan menyebabkan esteoartritis pasca trauma yang progresif pada sendi yang cedera tersebut.
(Oeswari, 2000)
Klasifikasi berdasarkan ada tidaknya hubungan antara patahan dengan dunia luar antara lain:
1.      Fraktur tertutup
Fraktur tapi tidak menyebabkan robeknya kulit.
2.      Fraktur terbuka
Secara teknik, fraktur terbuka adalah fraktur dimana kulit dari ekstremitas yang terlibat telah ditembus, yang perlu diperhatikan adalah apakah terjadi kontaminasi oleh lingkungan pada tempat terjadinya fraktur tersebut. Fragmen fraktur dapat menembus kulit pada saat terjadinya cedera, terkontaminasi, kemudian kembali hampir pada posisinya semula.






Gambar IIIg: Tampak Open fraktur pada radius ulna dengan open fraktur komplit dan mengalami perdarahan.

Pada keadaan semacam ini maka operasi untuk irigasi, deb-ridement, dan pemberian antibiotika secara intravena mungkin diperlukan untuk mencegah terjadinya osteomielitis. Pada umumnya, operasi irigasi dan debridement pada fraktur terbuka harus dilakukan pada waktu 6 jam setelah terjadinya cedera untuk mengurangi kemungkinan infeksi.
(Sjamsuhidajat, 2005)

E.     Patofisiologi
Fraktur bawah lutut paling sering adalah fraktur tibia dan fibula yang terjadi akibat pukulan langsung, jatuh dengan kaki dalam posisi fleksi, atau gerakan memuntir yang keras. Fraktur tibia dan fibula sering terjadi dalam kaitan satu sama lain. Pasien datang dengan nyeri, deformitas, hematoma yang jelas, dan edema berat. Sering kali fraktur ini melibatkan kerusakan jaringan lunak berat karena jaringan subkutis didaerah ini sangat tipis.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Fungsi saraf peroneus dikaji untuk dipakai sebagai data dasar. Jika fungsi saraf terganggu, pasien tak akan mampu melakukan gerakan dorsofleksi ibu jari pertama dan kedua. Kerusakan arteri tibialis dikaji dengan menguji respons pengisian kapiler. Pasien dipantau mengenai adanya sindrom kompartemen anterior. Gejalanya meliputi nyeri yang tak berkurang dengan obat dan bertambah bila melakukan fleksi plantar, tegang dan nyeri tekan otot disebelah lateral Krista tibia, dan parestesia. Fraktur dekat sendi dapat mengakibatkan komplikasi berupa hemartrosis dan kerusakan ligament.
(Oeswari, 2000)
Kebanyakan fraktur tibia tertutup ditangani dengan redaksi tertutup dan imobilisasi awal dengan gips sepanjang tungkai jalan atau patellar-tendon-bearing. Redaksi harus relatif akurat dalam hal angulasi dan rotasinya. Ada saat dimana sangat sulit mempertahankan reduksi, sehingga perlu dipasang pin perkutaneus dan dipertahankan dalam posisinya dengan gips (mis. Teknik pin dalam gips) atau fiksator eksterna yang digunakan. Pembebanan berat badan parsial biasanya diperbolehkan dalam 7 sampai 10 hari. Aktivitas akan mengurangi edema dan meningkatkan peredaran darah. Gips diganti menjadi gips tungkai pendek atau brace dalam 3 sampai 4 minggu, yang memungkinkan gerakan lutut. Penyembuhan fraktur memerlukan waktu 6 sampai 10 minggu.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Fraktur terbuka atau kominutif dapat ditangani dengan traksi skelet, fiksasi interna dengan batang, plat atau nail, atau fiksasi eksternal. Latihan kaki dan lutut harus didorong dalam batas alat imobilisasi. Pembebanan berat badan dimulai sesuai resep, biasanya sekitar 4 sampai 6 minggu.
Seperti pada fraktur ekstremitas bawah, tungkai harus ditinggikan untuk mengontrol edema. Diperlukan evaluasi neurovaskuler berkesinam-
bungan. Terjadinya sindrom kompartemen perlu dideteksi segera dan ditangani untuk mencegah defisit fungsional menetap.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Penyembuhan fraktur
Jika satu tulang sudah patah, maka jaringan lunak sekitarnya juga rusak, periosteum terpisah dari tulang, dan terjadi pendarahan yang cukup berat. Bekuan darah terbentuk pada daerah tersebut, bekuan akan membentuk jaringan granulasi, dimana sel-sel pembentuk tulang primitif (osteogenik) berdeferensiasi menjadi kondroblas dan osteoblas. Kondroblas akan mensekresi fosfat, yang merangsang deposisi kalsium. Terbentuk lapisan tebal (kalus) disekitar lokasi fraktur. Lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan ini terus menebal dan meluas, bertemu dengan lapisan kalus dari fragmen satunya, dan menyatu. Fungsi dari kedua fragment (penyembuhan fraktur) terus berlanjut dengan terbentuknya trabekula oleh osteoblas, yang melekat pada tulang dan meluas menyeberangi lokasi fraktur. Penyatuan (union) tulang provisional ini akan menjalani transformasi metaplastik untuk menjadi lebih kuat dan lebih terorganisasi. Kalus tulang akan mengalami re-modelling dimana osteoblas akan membentuk tulang baru sementara osteoklas akan menyingkirkan bagian yang rusak sehingga akhirnya akan terbentuk tulang yang menyerupai keadaan tulang aslinya.
(Underwood, 2000)

F.     Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitus, pembengkakan lokal, dan perubahan warna.
1.      Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang dimobilisasi. Spasme otot yang menyertai fraktur merupakan bentuk bidai alamiah yang dirancang untuk meminimalkan gerakan antar fragmen tulang.
2.      Setelah terjadi fraktur, bagian-bagian tak dapat digunakan dan cenderung bergerak secara tidak alamiah (gerakan luar biasa) bukannya tetap rigid seperti normalnya. Pergeseran fragmen pada fraktur lengan atau tungkai menyebabkan deformitas (terlihat maupun teraba) ekstermitas yang bisa diketahui dengan membandingkan dengan ekstermitas normal. Ekstremitas tak dapat berfungsi dengan baik karena fungsi normal otot bergantung pada integritas tulang tempat melengketnya otot.
(Sjamsuhidayat, 2005 : 2358 – 2359)
3.      Pada fraktur panjang, terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan bawah tempat fraktur. Fragmen sering saling melingkupi satu sama lain sampai 2,5 sampai 5 cm (1 sampai 2 inci).
4.      Saat ekstremitas diperiksa dengan tangan, teraba adanya derik tulang dinamakan krepitus yang teraba akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya, (uji krepitus dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat).
5.      Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan yang mengikuti fraktur. Tanda ini bisa baru terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.
Tidak semua tanda dan gejala tersebut terdapat pada setiap fraktur. Kebanyakan justru tidak ada pada fraktur linear atau fisur atau fraktur impaksi (permukaan patahan saling terdesak satu sama lain). Diagnosis fraktur bergantung pada gejala, tanda fisik, dan pemeriksaan sinar-X  pasien. Biasanya pasien mengeluhkan mengalami cedera pada daerah tersebut.
(Sjamsuhidayat 2005;2358 – 2359)


G.    Pathways
 






















H.    Diagnosis Fraktur
Sering kali pasien datang sudah dengan keluhan bahwa tulangnya patah karena jelasnya keadaan patah tulang tersebut bagi pasien. Sebaliknya juga mungkin, patah tulang tidak disadari oleh penderita dan mereka datang dengan keluhan “keseleo”, terutama patah yang disertai dengan dislokasi fragment yang minimal. Diagnosis patah tulang juga dimulai dengan anamnesis: adanya trauma tertentu, seperti jatuh, terputar, tertumbuk, dan beberapa kuatnya trauma tersebut. Dalam persepsi penderita trauma tersebut bisa dirasa berat meskipun sebenarnya ringan, sebaliknya bisa dirasa ringan meskipun sebenarnya berat. Selain riwayat trauma, biasanya didapati keluhan nyeri meskipun patah tulang yang fragmen patahnya stabil, kadang tidak menimbulkan keluhan nyeri. Banyak patah tulang mempunyai cidera yang khas.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Pemeriksaan untuk menentukan ada atau tidaknya patah tulang terdiri dari atas empat langkah: tanyakan, lihat, raba, dan gerakkan (anamnesa, look, feel dan motorik).
Pada pemeriksaan fisik mula-mula dilakukan inspeksi dan terlihat pasien kesakitan, mencoba melindungi anggota badannya yang patah, terdapat pembengkakan, perubahan bentuk berupa bengkok, terputar, pemendekan, dan juga terdapat gerakan yang tidak normal. Nyeri yang secara subjektif dinyatakan dalam anamnesis, didapat juga secara objektif pada palpasi. Nyeri itu berupa nyeri tekan yang sifatnya sirkuler dan nyeri tekan sumbu pada waktu menekan atau menarik dengan hati-hati anggota badan yang patah searah dengan sumbunya. Keempat sifat nyeri ini didapatkan pada lokalisasi yang tepat sama. Gerakan antar fragmen harus dihindari pada pemeriksaan karena menimbulkan nyeri dan mengakibatkan cidera jaringan. Pemeriksaan gerak persendian secara aktif termasuk pemeriksaan rutin patah tulang.
Satu hal yang tidak boleh dilupakan adalah pemeriksaan klinis untuk mencari akibat trauma, seperti pneumothoraks atau cidera otak, serta komplikasi vaskuler dan neurologist dari patah tulang yang bersangkutan. Hal ini penting karena komplikasi tersebut perlu penanganan yang segera.
Pada pemeriksaan radiologis dengan pembuatan foto rontgen dua arah 900 didapatkan gambaran garis patah. Pada patah yang fragmentnya mengalami dislokasi, gambaran garis patah biasanya jelas. Dalam banyak hal, pemeriksaan radiologis tidak dimaksudkan untuk diagnostik karena pemeriksaan klinisnya sudah jelas, tetapi untuk menentukan pengelolaan yang tepat dan optimal.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)
Foto Ront-gen harus memenuhi beberapa syarat, yaitu letak patah tulang harus di  pertengahan foto dan sinar harus menembus tempat ini secara tegak lurus karena foto rontgen merupakan foto gambar bayangan. Bila sinar menembus secara miring, gambar menjadi samar, kurang jelas dan lain dari kenyataan. Harus selalu dibuat dua lembar foto dengan arah yang saling tegak lurus.
Pada tulang, panjang persendian proksimal maupun yang distal harus turut difoto. Bila ada kesangsian atas adanya patah tulang atau tidak, sebaliknya dibuat foto yang sama dari anggota gerak yang sehat untuk perbandingan. Bila tidak diperoleh kepastian adanya kelainan, seperti fisura, sebaiknya foto diulang setelah satu minggu, bila hasilnya retak dan menjadi nyata karena hyperemia setempat sekitar tulang yang retak itu akan tampak.
Pemeriksaan khusus seperti CT scan kadang diperlukan, misalnya dalam hal patah tulang vertebrata dengan gejala neurologis.
(Smeltzer and Bare, 2002 : 2343)

I.       Penatalaksanaan
Fraktur tertutup tibia dan fibula dengan garis fraktur transversal atau miring yang stabil, cukup dimobilisasi dengan gips dari jari kaki sampai puncak paha dengan lutut letak faal yaitu fleksi ringan, untuk mengatasi rotasi pada daerah fragment. Setelah dipasang ditunggu sampai gips kering biasanya 2 hari. Saat itu gips tidak boleh dibebani. Penyambung patah tulang diafisis biasanya terjadi 3-4 bulan. Agulasi dalam gips biasanya dapat dikoreksi dengan membentuk insisi pada gips. Segera setelah fraktur yang cenderung tidak dislokasi, diizinkan dan diinstruksi untuk menopang berat badan dan berjalan. Makin cepat patah tulang dibebani, makin cepat penyembuhan. Gips tidak boleh dibuka sebelum penderita dapat berjalan tanpa nyeri.
(Smeltzer C dan B. G Bare, 2001 : 2386)
Garis fraktur yang miring dan membentuk spiral tidak stabil karena cenderung membengkak dan memendek sesudah reposisi tertutup. Oleh karena itu, diperlukan tindakan reposisi terbuka dan penggunaan fiksasi intern atau ekstern. Fraktur dengan dislokasi fragmen dan tidak stabil membutuhkan traksi kalkancus kontinu. Setelah terbentuk kalus fibrosis, dipasang gips sepanjang tungkai dari jari hingga paha.
(Sjamsuhidajat dan wim dejong, 2004:886)
Kebanyakan fraktur tibia tertutup ditangani dengan reduksi tertutup dan imobilisasi awal dengan gips sepanjang tungkai jalan atau pattelar-tendon -bearing reduksi harus relatif akurat dalam hal angulasi dan rotasinya. Ada saat dimana sangat sulit mempertahankan reduksi. Sehingga perlu dipasang pin perkutaneus dan dipertahankan dalam posisinya dengan gips (misal teknik pin dalam gips) atau fiksator eksternal yang digunakan. Pembebanan berat badan parsial biasanya diperbolehkan dalam 7-10 hari. Aktivitas akan mengurangi edema dan meningkatkan peredaran. Gips diganti menjadi gips tungkai pendek atau brace dalam 3-4 minggu, yang memungkinkan gerakan lutut. Penyembuhan fraktur memerlukan waktu 6-10 minggu.
(Smeltzer C Suzanne dan Brenda G Bare, 2001 : 2386)
Prinsip penanganan fraktur meliputi rekognisi, reduksi  imobilisasi dan pengembalian fungsi dan kekuatan normal dengan rehabilitasi.
  1. Rekognasi
Riwayat kecelakaan, derajat keparahannya, jenis kekuatan yang berperan, dan deskripsi tentang peristiwa yang terjadi oleh penderita sendiri menentukan apakah ada kemungkinan fraktur, dan apakah perlu dilakukan pemeriksaan spesifik untuk mencari adanya fraktur. Nyeri pada fraktur tulang panjang sangat khas. Contoh, pada tempat fraktur tungkai akan terasa nyeri sekali dan bengkak, tetapi bagian lainnya, seperti lutut dan pergelangan kaki, hampir dapat dikatakan normal. Kelainan bentuk yang nyata dapat menentukan diskontinuitas integritas rangka. Perkiraan diagnosis fraktur pada tempat kejadian dapat dilakukan sehubungan dengan adanya nyeri dan bengkak lokal, kelainan bentuk, dan ketidakstabilan. Krepitus menyatakan perasaan seakan-akan seperti ada dua  kertas gosok (amplas) yang digesek-gesekkan satu dengan lainnya. Meskipun krepitus ini juga ditemukan pada kondisi ortopedik lainnya, namun krepitus merupakan petunjuk adanya fraktur dan sesungguhnya sensasi ini ditimbulkan karena gesekan fragment-fragment tulang yang patah. Fragment-fragment tulang yang patah mungkin tajam dan keras. Pergerakan relatif sesudah cidera dapat mengganggu suplai neurovascular ekstremitas yang terlibat. Karena itu begitu diketahui kemungkinan fraktur tulang panjang, maka ekstremitas yang cedera harus dipasang bidai untuk melindunginya dari kerusakan yang lebih parah.
Kerusakan jangan lunak yang nyata dapat juga dipakai sebagai petunjuk kemungkinan adanya fraktur, dan dibutuhkan pemasangan bidai segera dan pemeriksaan lebih lanjut. Hal ini khususnya harus dilakukan pada cidera tulang belakang bagian servikal, di mana contusio dan laserasio pada wajah dan kulit kepala menunjukkan perlunya evaluasi radiografik, yang dapat memperlihatkan fraktur tulang belakang bagian servikal dan/atau dislokasi, serta kemungkinan diperlukannya pembedahan untuk menstabilkannya.
(Smeltzer C dan B. G Bare, 2001)
  1. Reduksi  Tertutup/ORIF (Open Reduction Internal Fixation)
Reduksi fraktur (setting tulang) berarti mengembalikan fragment tulang pada kesejajarannya dan rotasi anatomis.
Reduksi tertutup, traksi, dapat dilakukan untuk mereduksi fraktur. Metode tertentu yang dipilih bergantung sifat fraktur, namun prinsip yang mendasarinya tetap sama. Biasanya dokter melakukan reduksi fraktur sesegera mungkin untuk mencegah jaringan lunak -
kehilangan elastisitasnya akibat infiltrasi karena edema dan perdarahan. Pada  kebanyakan kasus, reduksi fraktur menjadi semakin sulit bila cedera sudah mulai mengalami penyembuhan.
(Smeltzer, 2001: 2386).
Keterangan gambar: Fraktur tibia fibula post ORIF (open reduction internal fixation)


Sebelum reduksi dan imobilisasi fraktur, pasien harus disiapkan untuk menjalani prosedur dan harus diperoleh izin untuk melakukan prosedur, dan analgetika diberikan sesuai ketentuan. Mungkin perlu dilakukan anesthesia. Ekstremitas yang akan dimanipulasi harus ditangani dengan lembut untuk mencegah kerusakan lebih lanjut.
Reduksi tertutup pada banyak kasus, reduksi tertutup dilakukan dengan mengembalikan fragment tulang ke posisinya (ujung-ujungnya saling berhubungan) dengan manipulasi dan traksi manual.
Ekstremitas dipertahankan dalam posisi yang diinginkan sementara gips, bidai atau alat lain dipasang oleh dokter. Alat imobilisasi akan menjaga reduksi dan menstabilkan ekstremitas untuk penyembuhan tulang. Sinar-X harus dilakukan untuk mengetahui apakah fragment tulang telah dalam kesejajaran yang benar.
Traksi dapat digunakan untuk mendapatkan efek reduksi dan imobilisasi. Beratnya traksi disesuaikan dengan spasme otot yang terjadi. Sinar-X digunakan untuk memantau reduksi fraktur dan aproksimasi fragment tulang. Ketika tulang sembuh, akan terlihat pembentukan kalus pada sinar-X. Ketika kalus telah kuat, dapat dipasang gips atau bidai untuk melanjutkan imobilisasi.
Pada fraktur tertentu memerlukan reduksi tertutup dengan operasi. Dengan pendekatan bedah, fragment tulang direduksi. Alat fiksasi interna dalam bentuk pin, kawat, sekrup, plat, paku, atau batangan logam dapat digunakan untuk mempertahankan fragment tulang dalam posisinya sampai penyembuhan tulang yang sulit terjadi. Alat ini dapat diletakkan di sisi tulang atau dipasang melalui fragmen tulang atau langsung ke rongga sumsum tulang. Alat tersebut menjaga aproksimasi dan fiksasi yang kuat bagi fragmen tulang.
(Smeltzer C dan B. G Bare, 2001 : 2386)
  1. Reduksi Terbuka/OREF (Open Reduction Eksternal Fixation)
Pada Fraktur tertentu dapat dilakukan dengan reduksi eksternal atau yang biasa dikenal dengan OREF, biasanya dilakuakn pada fraktur yang terjadi pada tulang panjang dan fraktur fragmented. Eksternal dengan fiksasi, pin dimasukkan melalui kulit ke dalam tulang dan dihubungkan dengan fiksasi yang ada dibagian luar.The usual indications are open fractures such as a tibia fracture which requires dressings or attention to a wound or flap. Indikasi yang biasa dilakukan penatalaksanaan dengan eksternal fiksasi adalah fraktur terbuka pada tulang kering yang memerlukan perawatan untuk dressings. Tetapi dapat juga dilakukan pada fraktur tertutup radius ulna.It can also be used with closed fractures eg unstable radius fracture.tett External fixation is most successful in superficial bones eg tibial shaft.Eksternal fiksasi yang paling sering berhasil adalah pada tulang dangkal tulang misalnya tibial batang.
Eksternal untuk fixator buka patah tulang kering
Keterangan Gambar: eksternal Fixation pada open
 fraktuf tulang tibia.
  1. Imobilisasi Fraktur
Setelah fraktur di reduksi, fragment tulang harus diimobilisasi, atau dipertahankan dalam posisi dan kesejajaran yang benar sampai terjadi penyatuan. Imobilisasi dapat dilakukan dengan fiksasi eksterna atau interna. Metode fiksasi eksternal meliputi pembalutan, gips, bidai, traksi kontinu, pin dan teknik gips, atau fiksator eksterna. Implan logam dapat digunakan untuk fiksasi interna yang berperan sebagai bidai interna untuk mengimobilisasi fraktur.
Mempertahankan dan mengembalikan fungsi. Segala upaya diarahkan pada penyembuhan tulang dan jaringan lunak. Reduksi dan imobilisasi harus dipertahankan sesuai kebutuhan. Status neurovaskuler (misalnya pengkajian peredaran darah, nyeri, perabaan, gerakan) dipantau, dan ahli bedah ortopedi diberitahu segera bila ada tanda gangguan neurovaskuler. Kegelisahan, ansietas dan ketidaknyamanan dikontrol dengan berbagai pendekatan (misalnya menyakinkan, perubahan posisi, strategi peredaan nyeri, termasuk analgetika). Latihan isometrik dan setting otot diusahakan untuk meminimalkan atrofi diseasse dan meningkatkan peredaran darah. Partisipasi dalam aktivitas hidup sehari-hari diusahakan untuk memperbaiki kemandirian fungsi dan harga diri. Pengembalian bertahap pada aktivitas semula diusahakan sesuai batasan terapeutik. Biasanya, fiksasi interna memungkinkan mobilisasi lebih awal. Ahli bedah yang memperkirakan stabilitas fiksasi fraktur, menentukan luasnya gerakan dan stress pada ekstremitas yang diperbolehkan, dan menentukan tingkat aktivitas dan beban berat badan.
(Oeswari, 2005)
Faktor yang mempengaruhi penyembuhan fraktur. Diperlukan berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk kebanyakan fraktur untuk mengalami penyembuhan kecepatan penyembuhan tulang. Reduksi fragment tulang. Fraktur direduksi dengan hati-hati dan distabilisasi dengan fiksasi eksterna. Setiap kerusakan pada pembuluh darah, jaringan lunak, otot, saraf, dan tendo diperbaiki.
Ekstermitas ditinggikan untuk meminimalkan terjadinya edema. Status neurovaskuler dikaji sesering mungkin. Suhu tubuh pasien diperiksa dengan interval waktu teratur, dan pasien dipantau mengenai adanya tanda infeksi.
(Oeswari, 2005)
Penutupan primer mungkin tak dapat dicapai karena adanya edema dan potensial iskemia, cairan luka yang tak dapat keluar, dan infeksi anaerob. Luka yang sangat terkontaminasi sebaiknya tidak dijahit, dibalut dengan pembalut steril, dan tidak ditutup sampai ketahuan bahwa daerah tersebut tidak mengalami infeksi. Profilaksis tetanus diberikan. Biasanya diberikan antibiotika intravena untuk mencegah atau menangani infeksi serius. Luka ditutup dengan jahitan atau graft atau flap kulit autoge pada hari ke-5 sampai ke-7.

Faktor yang Mempercepat Penyembuhan Fraktur:
·         Imobilisasi fragment tulang
·         Kontak fragment tulang maksimal
·         Asupan darah yang memadai
·         Nutrisi yang baik
·         Latihan pembebanan berat badan untuk tulang panjang
·         Hormon-hormon pertumbuhan, tiroid, kalsitonin, vitamin D, steroid anabolik.
Faktor yang Menghambat Penyembuhan Tulang:
·         Trauma lokal ekstensif
·         Kehilangan tulang
·         Imobilisasi tak memadai
·         Rongga atau jaringan di antara fragmen tulang
·         Infeksi
·         Keganasan lokal
·         Penyakit tulang metabolik (mis. penyakit Paget)
·         Radiasi tulang (nekrosis radiasi)
·         Nekrosis avaskuler
·         Usia (lansia sembuh lebih lama).
(Smeltzer  dan Bare, 2001 : 2386)



J.      Komplikasi
  1. Dini
-          Compartement syndrome
-          Komplikasi ini terutama terjadi pada fraktur proksimal tibia tertutup
-          Komplikasi ini sangat berbahaya karena dapat menyebabkan gangguan vaskularisasi tungkai bawah yang dapat mengancam kelangsungan hidup tungkai bawah.
Yang paling sering terjadi yaitu anterior compartement syndrome
-          Mekanisme: dengan terjadi fraktur tibia terjadi perdarahan intra-compartement, hal ini akan menyebabkan aliran balik-balik darah vena terganggu. Hal ini akan menyebab oedema. Dengan adanya oedema tekanan intracompartment makin meninggi sampai akhirnya sedemikian tinggi sehingga menyumbat arteri di intra compartement.
-          Gejala: Rasa sakit pada tungkai bawah dan ditemukan parasthesia, rasa sakit akan bertambah bila jari digerakkan secara pasif. Kalau hal ini berlangsung cukup lama dapat terjadi paralyse pada otot-otot ekstensor hallusis longus, ekstensor digitorum longus dan tibia anterior.
-          Tekanan intracompartement dapat diukir langsung dengan cara whitesides.
-          Penanganan: dalam waktu kurang 12 jam harus dilakukan fascioterapi.
(Apley, 1995 : 216)

  1. Lanjut
-          Malunion: biasanya terjadi pada fraktur yang komminutiva sedang immobilisasinya longgar, sehingga terjadi angulasi dan rotasi. Untuk memperbaiki perlu dilakukan osteotomi.
-          Delayed union: terutama terjadi pada fraktur terbuka yang diikuti dengan infeksi atau pada frakter yang communitiva. Hal ini dapat diatasi dengan operasi bonegraft alih tulang spongiosa.
-          Non union: Disebabkan karena terjadi kehilangan segmen tulang tibia disertai dengan infeksi. Hal ini dapat diatasi dengan melakukan bone grafting menurut cara papineau.
-          Kekakuan sendi: Hal ini disebabkan karena pemakaian gips yang terlalu lama. Pada persendian kaki dan jari-jari biasanya terjadi hambatan gerak, hal ini dapat diatasi dengan fisiotherapi .
(Apley, 1995 : 216)
K.    Fokus Pengkajian
1.      Pengkajian Primer (Doengoes, 2000)
-          Airway
Adanya sumbatan/obstruksi jalan napas oleh adanya penumpukan sekret akibat kelemahan reflek batuk.
-          Breathing
Kelemahan menelan/batuk/melindungi jalan napas, timbulnya pernapasan yang sulit dan/atau tak teratur, suara nafas terdengar ronchi/aspirasi.
-          Circulation
RD dapat normal atau meningkat, hipotensi terjadi pada tahap lanjut, takikardi, bunyi jantung normal pada tahap dini. Disritmia, kulit dan membrane mukosa pucat, dingin, sianosis pada tahap lanjut.
2.      Pengkajian Sekunder
a.       Aktivitas / Istirahat
-          Kehilangan fungsi pada bagian yang terkena
-          Keterbatasan mobilitas
b.      Sirkulasi
-          Hipertensi (kadang terlihat sebagai respon nyeri/ansietas)
-          Hipotensi (respon terhadap kehilangan darah)
-          Tachikardi
-          Penurunan nadi pada bagian distal yang cidera
-          Capilary refill melambat
-          Pucat pada bagian yang terkena
-          Masa hematoma pada sisi cedera
c.       Neurosensori
-          Kesemutan
-          Deformitas, krepitasi, pemendekan
-          Kelemahan
d.      Kenyamanan
-          Nyeri tiba-tiba saat cidera
-          Spasme/kram otot
e.       Kemanan
-          Laserasi kulit
-          Perdarahan
-          Perubahan warna
-          Pembengkakan lokal
(Corwin, 2001)

L.     Diagnosa Keperawatan Dan Intervensi
a.       Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan rangka neuromuskuler  dan immobilisasi.
(Doengoes, 2000)
Tujuan                                                 :
Kerusakan mobilitas fisik dapat berkurang setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil                                    :
-          Meningkatkan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin
-          Mmepertahankan posisi fungsional
-          Meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit
-          Menunjukkan tehnik mampu melakukan aktivitas
Intervensi                                         :
a.       Pertahankan tirah baring dalam posisi yang diprogramkan
b.      Tinggikan ekstrimitas yang sakit
c.       Instruksi klien/bantu dalam latihan rentang gerak pada ekstremitas yang sakit dan tak sakit.
d.      Beri penyangga pada ekstremitas yang sakit diatas dan dibawah fraktur ketika bergerak.
e.       Jelaskan pandangan dan keterbatasan dalam aktivitas
f.       Berikan dorongan ada pasien untuk melakukan aktifitas dalam lingkup keterbatasan dan beri bantuan sesuai kebutuhan. Awasi tekanan darah, nadi dengan melakukan aktivitasi
g.      Ubah posisi secara periodic tiap 2 jam
h.      Kolaborasi fisioterapi/okupasi terapi.
b.      Nyeri berhubungan dengan spasme otot, discontinuitas (pergeseran) fragmen tulang dan adanya proses inflamasi dari luka post operasi.
(Doengoes, 2000)
Tujuan                                                 :
Nyeri berkurang setelah dilakukan tindakan perawatan
Kriteria hasil                                    :
-          Klien mengatakan nyeri berkurang
-          Tampak rileks, mampu berpartisipasi dalam aktivitas/tidur/ istirahat dengan tepat 
-          Tekanan darah normal
-          Tidak ada peningkatan nadi dan respirasi


Intervensi                                         :
a.       Observasi tanda–tanda vital pasien sesuai kondisi pasien dan jadwal
b.      Kaji nyeri meliputi lokasi, frekuensi, kwalitas dan skala nyeri pasien
c.       Pertahankan immobilisasi lokasi fraktur dan luka operasi
d.      Ajarkan tekhnik relaksasi nafas dalam untuk mengurangi nyeri
e.       Posisiskan yang nyaman dengnan sokong/tinggikan dengan ganjal ekstremitas yang sakit
f.       Kolaborasi pemberian analgetik
c.       Kerusakan integritas jaringan berhubungan dengan fraktur terbuka, efek tekanan akibat trauma dan bedah perbaikan/insisi post operasi.
(Doengoes, 2000)
Tujuan                                                 :
Kerusakan integritas jaringan dapat diatasi setelah tindakan perawatan.
Kriteria hasil                                    :
-          Penyumbuhan luka sesuai waktu
-          Tidak ada laserasi, integritas kulit baik
Intervensi                                         :
a.       Kaji ulang integritas luka dan observasi terhadap tanda infeksi atau drainage.
b.      Monitor tanda-tanda vital dan suhu tubuh pasien
c.       Lakukan perawatan kulit, dengan sering patah tulang yang menonjol
d.      Lakukan alih posisi dengan sering pertahankan kesejajaran tubuh
e.       Pertahankan sprei tempat tidut tetap kering dan bebas kerutan
f.       Masage kulit sekitar akhir gips dengan alkohol
g.      Gunakan tempat tidur busa atau kasut udara sesuai indikasi
h.      Kolaborasi pemberian antibiotik
d.      Konstipasi berhubungan dengan immobilisasi sekunder akibat post operasi dan efek anastesi (muncul pada post operasi).
(Doengoes, 2000)
Tujuan                                                 :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan pasien dapat BAB, dan tidak terjadi lagi konstipasi.
Kriteria hasil                                    :
-          Pasien bisa BAB minimal 1x sehari
-          Konsistensi feses lunak
-          Nyeri berkurang saat BAB.
Intervensi                                         :
a.       Kaji dan observasi adanya defekasi masalah dalam BAB pasien
b.      Anjurkan pasien untuk alih posisi tiap 2 jam sekali
c.       Anjurkan pada pasien untuk minum banyak 1500–3000cc tiap hari.
d.      Anjurkan pada pasien makan makanan yang lunak porsi sedikit-sedikit tapi sering
e.       Kaji peristaltik usus  setiap pagi dan
f.       Anjurkan pasien menghindari mengejaan saat BAB.
e.       Gangguan pola istirahat tidur berhubungan dengan perubahan lingkungan, dan kesulitan menjalani posisi yang biasa akibat nyeri dan luka post operasi.
 (Doengoes, 2000)
Tujuan                                                 :
Pola tidur optimal setelah dilakukan tindakan keperawatan.
Kriteria hasil                                    :
-          Jumlah jam tidur 6–9 jam/24jam
-          Klien mudah memulai tidur
-          Bangun  tidur teras segar
Intervensi                                         :
a.       Kaji ulang pola tidur pasien
b.      Identifikasi penyebab kesulitan tidur pasien dan masalah dalah pola istirahat tidur
c.       Ciptakan lingkungan yang nyaman dan tenang dengan membatasi pengunjung dan mengurangi kebisingan
d.      Ajarkan tekhnik relaksasi dengan nafas dalam sebelum tidur saat nyeri muncul
e.       Anjurkan pasien berdoa terlebih dahulu sebelum tidur
f.       Gangguan keseimbangan cairan/kurang volume cairan (syok hipovolemik) berhubungan dengan perdarahan karena fraktur terbuka.
(Doengoes, 2000)
Tujuan                                                 :
Keseimbangan cairan dan elektrolit terpenuhi setelah mendapatkan intervensi keprawatan.
Kriteria hasil                                    :
-          Vital sign dalam batas normal
-          Balance cairan seimbang
-          Turgor kulit baik
-          Tidak terjadi perdarahan pada fraktur terbuka
Intervensi                                         :
a.       Kaji ulang status perdarahan,banyaknya perdarahan dan status hidrasi
b.      Lakukan tindakan keperawtan untuk menghentikan perdarahan
c.       Berikan cairan per oral 2000 – 3000cc/hari
d.      Manajemen masukan cairan parenteral
e.       Kolaborasi dengan tin medis dalam pemberian program therapy menghentikan perdarahan.
g.      Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan trauma jaringan akibat prosedur invasif dan adanya proses inflamasi luka post operasi.


Tujuan                                                 :
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan infeksi tidak terjadi.
Kriteria hasil                                    :
-          Tidak terdapat tanda-tanda infeksi seprti pada luka operasi terdapat pus dan kemerahan, oedem.
-          Tanda–tanda vital dalam batas normal: tekanan darah 120/80mmHg, nadi 82x/menit, respirasi 16–20x/menit, suhu 360C.
-          Laboratorium leukosit, dan hemoglobin normal.
-           Luka kering dan menunjukan penyembuhan.
Intervensi                                         :
a.       Observasi tanda–tanda vital pasien sesuai kondisi pasien.
b.      Kaji adanya tanda–tanda infeksi dan peradangan meliputi adanya kemerahan sekitar luka dan pus pada luka operasi.
c.       Lakukan medikasi luka steril/bersih tiap hari.
d.      Pertahankan tekhnik aseptic antiseptik/kesterilan dalam perawatan luka dan tindakan keperawatan lainnya.
e.       Jaga personal hygiene pasien.
f.       Manajemen kebersihan lingkungan pasien.
g.      Bantu pasien untuk menjaga personal hygienenya.
h.      Kolaborasi dengan tim medis dalam pemberian therapy antibiotic

Tidak ada komentar:

Posting Komentar