PSIKOLOGI KESEHATAN
By Dhen Bagoes Housain
BERPIKIR KREATIF DAN
PEMECAHAN MASALAH SECARA KREATIF
A. Pengertian Berpikir
Sebelum
meninjau tentang berpikir kreatif dan pemecahan masalah, terlebih dahulu kita
pahami tentang apa itu berpikir. Kata berpikir merupakan kata yang familiar,
baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia pendidikan. Menurut
Presseisen (2001), berpikir secara umum diasumsikan sebagai proses kognitif,
aksi mental ketika pengetahuan diperoleh. Sementara, menurut Fisher (dalam
Ratnaningsih, 2007), berpikir berkaitan erat dengan apa yang terjadi dalam otak
manusia dan fakta-fakta yang ada di dunia, berpikir mungkin bisa
divisualisasikan, dan berpikir (apabila diekspresikan) bisa diobservasi dan
dikomunikasikan.
Berpikir
bisa terjadi di dalam alam sadar dan bisa juga terjadi di bawah alam sadar.
Jika berpikir terjadi di bawah alam sadar, maka otak tidak mengetahui bahwa ia
sedang berpikir, atau jika ia mengetahui itu, maka ia tidak mengetahui
apa yang sedang dipikirkan. Jika berpikir terjadi didalam alam sadar, maka otak
mengetahui bahwa itu adalah berpikir dan apa yang sedang dipikirkan.
Beyer,
(1984, dalam Presseisen, 2001), mengemukakan bahwa berpikir merupakan
manipulasi mental terhadap input dari panca indera untuk merumuskan pikiran,
memberi alasan, atau penilaian. Maskanian, (1992), mengemukakan definisi
berpikir secara umum, yaitu; menyusun pemikiran dan gagasan dengan penalaran,
membentuk sebuah pendapat, menilai, mempertimbangkan, mempekerjakan dan membawa
panca indera intelektual seseorang untuk bekerja, memusatkan pikiran seseorang
pada suatu subjek yang diberikan.
Lebih
rinci, Sagala (2003) mengemukakan bahwa berpikir merupakan proses dinamis yang
menempuh tiga langkah berpikir yaitu: (1) pembentukan pengertian, yaitu melalui
proses mendeskripsikan ciri-ciri objek yang sejenis, meklasifikasi ciri-ciri
yang sama, mengabstraksi dan menyisihkan, membuang, dan menganggap ciri-ciri
yang hakiki; (2) pembentukan pendapat, yang dirumuskan secara verbal berupa
pendapat menolak, menerima atau mengiakan, dan pendapat asumtif, yaitu
mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan suatu sifat pada suatu hal; dan (3)
Pembentukan keputusan atau kesimpulan sebagai hasil pekerjaan akal. Sementara,
Ibrahim dan Nur (2000), mendefinisikan berpikir sebagai kemampuan untuk
menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau
pertimbangan yang saksama.
Guilford
(dalam Evan, 1991), mengelompokkan kemampuan berpikir ke dalam dua kelompok
utama, yaitu; kemampuan memory dan kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir
dibedakan pula ke dalam tiga kategori, yaitu; kognitif, produktif, dan
evaluatif. Kemampuan produktif terdiri dari dua jenis yaitu; konvergen dan
divergen. Berpikir konvergen mengarah kepada suatu jawaban konvensional atau
yang ditentukan. Sebaliknya, berpikir divergen bergerak ke berbagai arah, tidak
terhadap jawaban yang diberikan. Berpikir konvergen fokus pada satu solusi yang
benar, sedangkan berpikir divergen menghasilkan solusi yang bervariasi.
Berpikir kreatif termasuk jenis berpikir divergen.
B. Kegiatan Berpikir Kreatif
Berbicara
tentang berpikir kreatif tentu tidak terlepas dari apa yang disebut dengan
kreativitas. Menurut Murdock dan Puccio (2001), istilah berpikir kreatif dan
kreativitas merupakan dua hal yang tidak indentik, namun kedua istilah itu
berelasi secara konseptual. Kreativitas merupakan konstruk payung sebagai
produk kreatif dari individu yang kreatif, memuat tahapan proses berpikir
kreatif, dan lingkungan kondusif untuk berlangsungnya berpikir kreatif.
Menurut
Munandar (1999), berpikir kreatif adalah kemampuan -berdasarkan data atau
informasi yang tersedia- menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu
masalah, dimana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan
keragaman jawaban. Makin banyak kemungkinan jawaban yang dapat diberikan terhadap
suatu masalah makin kreatiflah seseorang, tentunya dengan memperhatikan mutu
atau kualitas dari jawaban tersebut. Secara operasional, Munandar mengemukakan;
berpikir kreatif merupakan kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan
(fleksibilitas), orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk
mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan dan
kemampuan memberikan penilaian atau evaluasi terhadap suatu obyek atau situasi.
Pendapat
yang serupa dikemukakan Cotton, K (1991, dalam Pelita
Pascasarjana, 2008),
bahwa berpikir kreatif memiliki karakteristik sebagai berikut: fluency
(membangun banyak ide), flexibility (dapat merubah-ubah pandangan dengan
mudah), originality (menghasilkan sesuatu yang baru), dan elaboration
(membangun ide-ide berdasarkan ide-ide yang lain).
Pendapat
lain, dikemukakan oleh Johnson, (2002); berpikir kreatif merupakan sebuah
kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan
imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang
yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide yang tidak terduga. Intuisi bisa
membisikan kepada kita untuk memecahkan sebuah soal matematika dengan cara yang
berbeda, atau menyelidiki sebuah proyek dari sudut pandang yang tidak biasa.
Einstein (dalam Johnson, E.B., 2002), mengatakan bahwa intuisi adalah penggerak
utama yang menjadikannya menemukan teori relativitas.
Berpikir
kreatif berkaitan dengan berfikir divergen dan berfikir orisinal. Berfikir
kreatif dapat digambarkan sebagai bentuk kombinasi baru dari ide-ide untuk
memenuhi suatu kebutuhan atau sebagai berfikir dengan cara memproduksi hasil
yang orisinal dan tepat. Sesuatu dapat menjadi orisinal bagi seseorang, dan tidak
harus original untuk semua orang (Lang dan Evans, D. N. 2006). Kata “orisinal”
dalam kaitan dengan kreativitas tidak perlu diartikan sesuatu yang benar-benar
baru (sebelumnya belum pernah ada), tetapi dapat saja hasil ciptaannya itu
merupakan kombinasi dari apa-apa yang telah ada sebelumnya. Atau mungkin pula
sesuatu yang baru itu hanya baru bagi orang tersebut, jadi mungkin saja bagi
orang lain bukan hal yang baru (Anderson, 1970, dalam Wahidin, 2009).
Berpikir
kreatif memuat aspek kognitif (aptitude), afektif (nonaptitude)
dan metakognitif. Williams, (1980, dalam Killen, R, 1998), mengemukakan delapan
prilaku siswa berkaitan dengan berpikir kreatif. Empat diantaranya berhubungan
dengan aspek kognitif yaitu; keterampilan berpikir lancar (fluency),
keterampilan berpikir luwes (flexibility), keterampilan berpikir
orisinil (originality), dan keterampilan mengelaborasi (elaboration).
Empat lagi berhubungan dengan aspek afektif, yaitu; mau mengambila resiko (Risk
taking), senang dengan kompleksitas (complexity), memiliki rasa
ingin tahu (curiosity), dan suka berimajinasi (imajination).
Keterampilan
berpikir lancar (fluency), yaitu kemampuan untuk mencetuskan banyak
ide, hasil, dan respon. Keterampilan berpikir luwes (flexibility)
yaitu kemampuan untuk menggunakan pendekatan yang berbeda, membangun berbagai
gagasan, mampu merubah-ubah arah pemikiran atau pendekatan, dan menyesuaikan
dengan situasi yang baru. Keterampilan berpikir orisinil (originality)
yaitu kemampuan untuk membangun sesuatu yang baru, yang tidak biasa, ide-ide
cerdas yang berbeda dengan cara-cara yang sudah lumrah. Mampu membuat
kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.
Keterampilan mengelaborasi (elaboration) yaitu kemampuan untuk
merinci, memperluas, atau menambah ide-ide atau hasil.
Mau
mengambil resiko (Risk taking), maksudnya siap menerima kegagalan dan
kritikan, berani melakukan tebakan, dan berani mempertahankan ide-ide sendiri.
Senang dengan kompleksitas (complexity), maksudnya mencoba berbagai
alternative, membawa persoalan ke luar dari kerumitan, dan menyelidiki ke dalam
permasalahan atau gagasan-gagasan yang kompleks. Rasa ingin tahu
(curiosity), maksudnya kemauan untuk memiliki rasa ingin tahu dan yang
mengherankan (aneh), suka mengotak-atik ide, suka terhadap situasi yang
menimbulkan teka-teki. Suka berimajinasi (imajination), maksudnya
mempunyai daya untuk memvisualisasikan dan membangun mental images
(bayangan-bayangan mental) dan menjangkau di luar batasan-batasan riil
atau sensual.
Kemudian
Munandar (1999) menambahkan point kelima dari aspek kognitif (aptitude)
dengan keterampilan menilai (evaluation), yaitu kemampuan memberikan
penilaian atau evaluasi terhadap suatu obyek atau situasi. Menentukan patokan
penilaian sendiri dan menentukan apakah suatu pertanyaan benar, suatu rencana
sehat, atau suatu tindakan bijaksana. Untuk aspek afektif (nonaptitude),
Munandar menambahkan dengan sifat menghargai, seperti: menghargai
kesempatan-kesempatan yang diberikan; menghargai makna orang lain; menghargai
hak-hak sendiri dan hak-hak orang lain; dll.
Kreatif
dalam matematika mempunyai perbedaan dengan kreatif pada pada seni. Sesuatu
yang “aneh”, misalkan angka 3 disimbolkan dengan tanda “***” dapat dipandang
kreatif dalam seni tetapi tidak dalam matematika. Jika seseorang dapat
menemukan teorema baru atau menciptakan suatu struktur baru dalam matematika,
maka seseorang itu dapat dikatakan kreatif dalam matematika. Selain itu, dalam
pendidikan matematika jika seseorang dapat menyelesaikan suatu masalah dengan
beberapa cara atau jawaban, maka seseorang itu dapat juga disebut kreatif.
Belajar matematika memungkinkan menjadikan seseorang kreatif jika ia dihadapkan
pada suatu situasi yang menantang dan ia dapat memberikan berbagai alternatif
jawaban maupun penyelesaian.
Memperhatikan
karakteristik yang termuat dalam berpikir kreatif, dapat dipahami bahwa
berpikir kreatif merupakan bagian keterampilan hidup yang perlu dikembangkan
dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing semakin ketat. Pemikiran
kreatif perlu dilatih karena membuat anak lancar dan luwes dalam berpikir,
mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan mampu melahirkan banyak
gagasan. Manusia yang kreatif sangat memungkinkan dapat meningkatkan kualitas
hidupnya. Dalam era globalisasi ini tak dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan
dan kejayaan masyarakat dan negara kita bergantung pada sumbangan kreatif,
berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru dan teknologi baru dalam anggota
masyarakatnya.
C. Pengertian Masalah dan Pemecahan Masalah
Secara Kreatif
Pemecahan
masalah adalah formulasi jawaban baru, keluar dari aplikasi peraturan yang
dipelajari sebelumnya untuk menciptakan solusi. Pemecahan masalah adalah apa
yang terjadi ketika respon rutin dan otomatis tidak sesuai dengan kondisi yang
ada (Woolfolk & Nicholich, 2004:320).
Santrock
(2005:356) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan upaya untuk menemukan
cara yang tepat dalam mencapai tujuan ketika tujuan dimaksud belum tercapai
(belum tersedia). Sementara itu, Davidoff (1988:379) mengemukakan bahwa
pemecahan masalah adalah suatu usaha yang cukup keras yang melibatkan suatu
tujuan dan hambatan-hambatannya. Seseorang yang menghadapi satu tujuan akan
menghadapi persoalan dan dengan demikian dia akan terpacu untuk mencapai tujuan
itu dengan menggunakan berbagai cara.
Hunsacker
(Lasmahadi, 2005) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses
penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang
diperoleh dan hasil yang diinginkan. Salah satu bagian dari proses pemecahan
masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan
sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia.
Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari
pemecahan masalah yang dilakukan. Munandar (Rosalina, 2008) mengatakan bahwa
kreatifitas merupakan kemampuan membuat kombinasi baru berdasarkan data
informasi atau unsur-unsur yang ada.
Pemecahan
masalah secara kreatif merupakan upaya pemecahan suatu masalah dengan menggunakan
cara-cara yang kreatif dan revolusioner (mengkombinasikan berbagai teknik dan
metode), sehingga hasilnya lebih signifikan. Cara-cara kreatif dimaksud
merupakan cara atau metode yang baru dan komprehensif dan cenderung eksentrik.
Metode demikian merupakan suatu penjabaran dari metode-metode yang telah ada
sekaligus sebagai upgrading dari metode-metode yang telah ada.
Aplikasi
metode pemecahan masalah secara kreatif lahir dari satu bentuk pemikiran
(mindset) yang menerobos kleaziman paradigma tertentu. Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa pemecahan masalah kreatif merupakan upaya pemecahan masalah
dengan metode (cara) yang efektif dan komprehensif.
Berbicara
tentang pemecahan masalah secara kraetif tentu tidak terlepas dari masalah itu sendiri.
Suatu masalah biasanya memuat suatu kondisi yang mendorong seseorang untuk
cepat menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung bagaimana
menyelesaikannya. Jika suatu persoalan diberikan kepada seorang anak dan anak
tersebut dapat menyelesaikan dengan prosedur strategi tertentu, maka persoalan
itu belum bisa dikatakan sebagai masalah. Suatu masalah dapat diartikan sebagai
suatu situasi dimana seseorang diminta menyelesaikan persoalan yang baru
bagi orang itu, dan belum memahami cara penyelesaiannya.
Pemecahan
masalah secara kraetif mempunyai berbagai interpretasi. Menurut Baroody (1993),
ada tiga interpretasi pemecahan masalah yaitu: pemecahan masalah sebagai
pendekatan (approach), tujuan (goal), dan proses (process)
pembelajaran. Pemecahan masalah sebagai pendekatan maksudnya pembelajaran
diawali dengan masalah, selanjutnya individu diberi kesempatan untuk menemukan
dan merekonstruksi konsep-konsep dirinya sendiri. Pemecahan masalah sebagai
tujuan berkaitan dengan pertanyaan mengapa harus ada masalah dan apa tujuan harus
diselesaikan. Pemecahan masalah sebagai proses adalah suatu kegiatan yang lebih
mengutamakan pentingnya prosedur langkah-langkah, strategi/cara yang dilakukan individu
untuk menyelesaikan masalah sehingga menemukan jawaban. Walaupun terdapat
beberapa interpretasi pemecahan masalah, namun dalam prakteknya semua itu
saling melengkapi.
D. Teknik dan
Pemecahan Masalah Secara Kreatif
Dalam proses berpikir kreatif untuk
memecahkan suatu masalah, ada beberapa tahapan yang dilalui, yaitu (Admin,
2007):
·
Tahap
Persiapan.
Dalam masa persiapan, seorang pemikir atau kreator
memformulasikan masalahnya dan mengumpulkan semua fakta dan data yang
dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Kadang-kadang meski telah lama
berkonsentrasi lama, pemecahan masalah belum muncul juga ke dalam benaknya.
·
Tahap
Inkubasi.
Jika pemikir kemudian mengalihkan perhatian dari
persoalan yang sedang dihadapinya tersebut berarti ia telah memasuki tahap
inkubasi. Pada tahap ini, ide-ide yang mencampuri dan mengganggu cenderung
menghilang. Sementara itu, pemikir mendapat pengalaman baru. Pengalaman
tersebut dapat menambah kunci bagi pemecahan masalah.
·
Tahap
Iluminasi.
Pada periode ini, pemikir mengalami insight atau
"Aha!". Seketika cara pemecahan masalah muncul dengan sendirinya
·
Tahap
Evaluasi.
Evaluasi terjadi setelah muncul pemecahan masalah,
tujuannya adalah untuk menilai apakah pemecahan masalah tersebut sudah tepat.
Seringkali pemecahan masalah yang muncul tidak tepat, sehingga pemikir harus
memulai lagi dari awal pentahapan.
·
Tahap
Revisi.
Tahap ini ditempuh bila cara pemecahan masalah
tersebut belum tepat atau mungkin masih memerlukan penyesuaian dan
perbaikan-perbaikan pada beberapa aspek agar pemecahan masalah menjadi lebih
tepat dan efektif.
Wessels (Woolfolk & Nicolich,
2004:321) mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah, ada empat langkah yang
ditempuh, yaitu:
Ø Memahami masalah
Langkah pertama yang dilakukan adalah
dengan memahami secara tepat masalah yang sedang dihadapi. Untuk memahami
masalah, diperlukan representasi situasi akurat tentang masalah yang sedang
dihadapi. Pada tahap ini, individu perlu melakukan diagnosis terhadap sebuah
situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian pada masalah
sebenarnya, bukan pada gejala-gejala yang muncul (Lasmahadi, 2005). Pada
beberapa masalah, perlu digunakan diagram atau notasi tertentu (misalnya x, y,
dan z) untuk mempermudah identifikasi dan pemahaman masalahnya (Kangguru,
2007).
Ø Menyeleksi solusi
Setelah menentukan akar masalah yang
sedang dihadapi, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan strategi
pemecahan yang akan dan mungkin dapat ditempuh. Copi (Woolfolk & Nicolich,
2004: 324) mengemukakan bahwa salah satu metode yang cukup tepat untuk
diaplikasikan adalah pemikiran analitik (membuat alasan dengan analogi). Metode
ini memberi batas pencarian solusi pada situasi yang memiliki beberapa kesamaan
dengan dengan situasi yang sedang dihadapi.
Ø Memutuskan rencana
Tahap ini ditandai dengan pemilihan dan
pengaplikasian suatu rencana yang telah diseleksi dan dianalisis secara matang
untuk memecahkan suatu masalah. Memutuskan rencana berarti individu telah
mempertimbangkan semua kemungkinan dari masing-masing solusi yang ada dan
memilih solusi yang dianggap terbaik dari sekian solusi yang ada.
Ø Mengevaluasi hasil
Tahapan selanjutnya adalah mengevaluasi
hasil yang telah dicapai. Tahap ini meliputi verifikasi fakta, baik yang
menguatkan maupun yang melemahkan pilihan-pilihan yang ada.
Treffinger (Munandar, 1995:213)
mengemukakan bahwa teknik kreatif dalam pemecahan masalah dikelompokkan dalam
tiga tingkatan model belajar kreatif. Teknik pertama dimulai dengan memberikan
pemanasan (warming up), kemudian dilanjutkan dengan teknik sumbang saran
(brainstorming). Teknik kedua yaitu teknik synecitics dan futuristics.
Sedangkan teknik ketiga adalah teknik pemecahan masalah (solve the problem)
secara kreatif dengan metode Parnes dan metode Shallcross.
1. Teknik kreatif
tingkat pertama
a. Pemanasan
(warming up session)
Upaya pemecahan masalah secara kreatif
membutuhkan langkah pendahuluan (pre-session) sebagai persiapan pada
penetrasi lanjutan. Untuk menumbuhkan iklim atau suasana kreatif dalam kelas
yang memungkinkan siswa untuk lebih tenang, merasakan kebebasan, serta adanya
perasaan aman dalam mengungkap pikiran dan perasaannya, guru atau pendidik
dianjurkan melakukan “pemanasan”, misalnya siswa yang sebelumnya dituntut untuk
mengerjakan berbagai tugas yang terstruktur, maka siswa memerlukan switch (pengalihan)
mental dari proses pemikiran reproduktif dan konvergen ke proses pemikiran
divergen dan imajinatif (Munandar, 1995).
Gagasan untuk mengajak siswa untuk sejenak
beralih ke masalah yang lebih imajinatif dan eksploratif merupakan suatu bentuk
upaya eksklusif untuk menstimulasi kreatifitas siswa dalam menjawab suatu pertanyaan
yang memberi kemungkinan banyak jawaban. Sasaran akhirnya adalah mencoba
membuka cakrawala siswa dalam melihat suatu masalah; mengajak siswa melihat
suatu hal atau masalah dari berbagai perspektif.
Pemanasan dapat dilakukan dengan
mengajukan beberapa pertanyaan terbuka (opened questions) yang dapat
membangkitkan minat dan rasa ingin tahu (curiosity) siswa. Cara lain yang dapat
ditempuh adalah mengajukan pertanyaan terhadap suatu masalah, misalnya
pertanyaan mengenai penyebab seringnya terjadi perkelahian antar siswa di
sekolah (Munandar, 1995).
b. Sumbang saran (brainstorming)
Teknik sumbang saran merupakan teknik yang
dikembangkan oleh Alex F. Osborn, yaitu suatu teknik yang untuk meningkatkan
gagasan jika diajarkan dan diterapkan dengan tepat (Shallcross, dalam Munandar,
1995:214; Admin, 2007). Brainstorming merupakan teknik pemecahan masalah
yang menghasilkan gagasan yang mencoba mengatasi segala hambatan dan kritik.
Kegiatan tersebut mendorong timbulnya banyak gagasan, termasuk gagasan yang
menyimpang, liar, dan berani, dengan harapan bahwa gagasan tersebut dapat
menghasilkan gagasan yang baik dan kreatif. Teknik ini cenderung menghasilkan
gagasan baru yang orisinal untuk menambah jumlah gagasan konvensional yang ada
(Sulistiati, 2007).
Osborn (Munandar, 1995:214) menentukan
empat aturan dasar dalam teknik sumbang sarang, yaitu:
Ø Kritik tidak dibenarkan atau ditangguhkan
Asas pertama dari konsep berpikir divergen adalah
meniadakan sensor untuk kurun waktu tertentu, karena hal tersebut dampak
menghambat kelancaran proses asosiasi (Admin, 2007). Hal ini dimaksudkan pula
untuk mencegah terhambatnya sintesis gagasan atau pemikiran yang muncul dari
benak setiap individu yang melakukan sumbang saran. Selain itu, kritik yang
diberikan terlalu cepat kepada setiap gagasan yang muncul dapat menghambat
kreatifitas karena kesempatan bagi munculnya gagasan lain menjadi berkurang.
Individu pun akan lebih selektif dalam mensintesis suatu gagasan, sehingga
jumlah gagasan yang muncul menjadi berkurang.
Ø Kebebasan dalam memberikan gagasan
Diperlukan iklim tertentu agar seseorang merasa
bebas dan nyaman dalam mensintesis suatu gagasan. Apresiasi terhadap individu
lain merupakan hal yang sangat penting, terutama ketika individu yang
bersangkutan mengungkapkan suatu gagasan.
Ø Gagasan sebanyak mungkin
Dalam konteks ini, dikenal asas (quantity
breeds quality), yaitu semakin banyak gagasan yang dimunculkan, maka
semakin besar kemungkinan adanya gagasan yang berkualitas dan efektif dalam
menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Munandar (Admin, 2007) mengemukakan
bahwa gagasan yang baik biasanya muncul bukan pada saat-saat awal dalam tahap
pemberian gagasan. Dengan demikian, ada kesempatan bagi pikiran kita untuk
mengembara, mencari kemungkinan gagasan lebih jauh untuk memunculkan gagasan
orisinal dan kreatif.
Ø Kombinasi dan peningkatan gagasan
Dalam teknik sumbang saran gagasan yang muncul
dari satu individu tidak jarang merupakan penjabaran atau pengembangan dari
gagasan individu lainnya. Dengan demikian, teknik sumbang saran memberikan
peluang yang lebih besar bagi munculnya gagasan-gagasan terbaik.
c. Pertanyaan yang
memacu gagasan
Teknik ini dikenal dengan istilah daftar
periksa (checklist) yang dikembangkan oleh Alex Osborn untuk
meningkatkan kuantitas dan kualitas gagasan. Pertanyaan-pertanyaan yang berupa
kata kerja “manipulatif” akan membantu individu dalam mengembangkan gagasan
kreatif melalui proses asosiasi dan memanipulasi informasi dan gagasan untuk
menghasilkan ide yang orisinil (Munandar, 1995:217).
Daftar pertanyaan Osborn diarahkan kepada
sembilan aspek yang ingin diketahui, yaitu (Shallcross, dalam Munandar, 1995:217):
·
Digunakan
untuk hal-hal lain (put to other uses). Misalnya: Apa yang dapat Anda lakukan dengan 100
roda dari sepatu roda?
·
Menyesuaikan
(adapt). Misalnya: Apa
saja yang dapat digunakan sebagai tempat duduk?
·
Mengubah
(modify). Misalnya:
Apa saja yang dapat Anda pikirkan agar pergi ke dokter gigi lebih menyenangkan?
·
Memperbesar (magnify). Misalnya: Bagaimana bila ulang tahun
dirayakan tiga kali dan tidak hanya sekali dalam setahun?
·
Memperkecil
(minify). Misalnya:
Bagaimana jika seseorang hanya memiliki tinggi badan 30 cm?
·
Mengganti
(substitute). Misalnya:
Apa yang terjadi jika sepeda dapat terbang di udara?
·
Menyusun
kembali (rearrange). Misalnya:
Bagaimana jika Anda belajar di sekolah pada malam hari dan tidur di siang hari?
·
Membalik
(reverse). Misalnya:
Bagaimana rasanya jika menulis kata-kata dalam bahasa Indonesia dari kanan ke
kiri?
·
Menggabung (combine).
Misalnya: Penemuan apa yang dapat
Anda hasilkan dengan menggabung mobil, kulkas, dan sepeda motor?
2. Teknik kreatif
tingkat kedua
a. Synectics (sinektik)
Teknik sinektik dikembangkan oleh Willian
J. J. Gordon dan merupakan teknik yang menggunakan analogi dan metafora
(kiasan) untuk membantu individu menganalisis masalah dan melihat suatu masalah
dari berbagai perspektif (Feldhusen & Treffinger, dalam Munandar, 1995:219;
Sulistiyati, 2007). Sinektik dimaksudkan untuk menghentikan kebiasaan lama
serta gagasan usang dan untuk memperkenalkan suasana rileks ke dalam proses
penggalian ide. Proses sinektik mencoba membuat sesuatu yang “asing” menjadi
“akrab”, begitupun sebaliknya (Sulistiyati, 2007).
Ada tiga jenis analogi yang diaplikasikan
dalam sinektik, yaitu analogi fantasi, analogi langsung, dan analogi pribadi.
Analogi yang lazim digunakan adalah analogi fantasi, yaitu analogi yang
memungkinkan individu mencari pemecahan (solusi) yang ideal terhadap suatu
masalah meskipun sepintas solusi tersebut terlihat aneh dan melanggar
kelaziman. Analogi langsung merupakan bentuk analogi antara satu masalah dengan
masalah lain yang linier dalam kehidupan nyata. Analogi pribadi merupakan
bentuk analogi yang menuntut individu untuk menempatkan dirinya (memainkan
peran) dalam masalah yang sedang dihadapi (Munandar, 1995).
Teknik sinektik merupakan cara yang
menyenangkan dan efektif untuk melibatkan siswa dalam diskusi yang elaboratif
dan imajinatif yang menghasilkan pemecahan masalah yang tidak lazim namun
aplikatif. Setiap topik dari permasalahan dapat dibahas dalam diskusi kelompok
kecil maupun kelompok besar. Melalui sinektik, siswa dapat belajar strategi
yang bermakna untuk memecahkan masalah (Munandar, 1995).
b. Futuristics
Futuristics (futuristik) merupakan teknik kreatif yang
membantu individu (siswa) meningkatkan dan mengaplikasikan segenap potensi dan
kemampuannya untuk mencipta masa depan (Munandar, 1995:221). Toffler (Munandar,
1995:221) mengemukakan bahwa siswa perlu dibantu dalam mengasosiasikan
perubahan yang akan terjadi di dunia dengan perubahan dalam kehidupan mereka
sendiri. Toffler menemukan bahwa siswa sekolah menengah dengan segera dapat
menemukenali berbagai perubahan yang akan terjadi di masa depan (forecast).
Akan tetapi, bila siswa-siswa tersebut diminta mendaftar tujuh peristiwa yang
mungkin terjadi pada mereka di masa depan, jawaban yang diberikan tidak
menunjukkan indikasi kehidupan yang berubah. Lebih lanjut, Toffler melaporkan
adanya kesenjangan antara pengamatan siswa tentang perubahan cepat di dalam
lingkungan dan pemahaman bahwa perubahan tersebut berdampak secara signifikan
terhadap kehidupan pribadi mereka.
Pendekatan dalam menggunakan futuristik
dengan siswa berbakat agak berbeda dari yang digunakan kebanyakan guru di dalam
kelas biasa. Dalam mengajar futuristik, dipandang suatu falsafah mengajar yang
futuristik, yaitu pengajaran yang tidak hanya berorientasi kekinian, tetapi
juga beorientasi masa depan. Falsafah demikian dimaksudkan untuk meningkatkan
pembelajaran pada semua mata pelajaran maupun segala bidang dalam kehidupan
sehari-hari (Munandar, 1995:221). Sisk (Munandar, 1995:221) mengemukakan bahwa
salah satu cara untuk menggambarkan proses penyerapan unsur pembelajaran
futuristik secara menyeluruh adalah dengan membayangkan “garis waktu”. Garis
waktu berfungsi untuk menemukenali asosiasi antara informasi masa lalu, masa
kini, dan masa akan datang.
Munandar (2000:222) mengemukakan bahwa
tujuan khusus pengajaran dengan filosofi futuristik adalah:
Ø Memberikan siswa paradigma (cara pikir dan
cara pandang) tentang masa depan yang lebih komprehensif.
Ø Membekali siswa dengan keterampilan dan konsep
yang perlu untuk memahami kompleksitas berbagai sistem.
Ø Membantu siswa dalam menemukenali dan
memahami secara massif masalah-masalah utama yang muncul di masa yang akan
datang.
Ø Membantu siswa memahami perubahan dan
bagaimana menghadapinya.
3. Teknik kreatif
tingkat ketiga
Pemecahan masalah secara kreatif (Creative
Problem Solving Processes) dikembangkan oleh Parnes, Presiden dari Creative
Problem Solving Foundation (CPS). Proses ini mencakup lima tahapan, yaitu
menemukan fakta, menemukan masalah, menemukan gagasan, menemukan solusi, dan
menemukan penerimaan (Munandar, 1995:225).
a. Tahap menemukan fakta
Tahap menemukan fakta merupakan tahap
mendaftar semua fakta yang diketahui mengenai masalah yang ingin dipecahkan dan
menemukan data baru yang diperlukan.
b. Tahap menemukan masalah
Tahapan ini merupakan tahap dimana
individu merumuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan simplistik tertentu,
misalnya “Dengan cara apa saya harus mengatasinya?”. Dengan demikian, individu
dapat mengembangkan masalahnya dengan mengidentifikasi sub-sub masalah,
sehingga masalah dapat dirumuskan kembali.
c. Tahap menemukan gagasan
Tahap dimana individu berupaya
mengembangkan gagasan pemecah masalah sebanyak mungkin.
d. Tahap menemukan solusi
Gagasan yang dihasilkan pada tahap
sebelumnya diseleksi berdasar kriteria evaluasi yang berpautan dengan masalah
yang dihadapi. Masing-masing gagasan dinilai berdasar kriteria yang telah
ditentunkan.
e. Tahap menemukan penerimaan
Menyusun rencana tindakan agar pihak yang
mengambil keputusan dapat menerima gagasan tersebut dan melaksanakannya
(Munandar, 1995:225). Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap suatu
masalah, seseorang perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan terjadinya
resistensi dari orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan
tersebut. Hampir pada semua perubahan, terjadi resistensi, karena itulah
seorang yang piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati
memilih strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi
pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan kemungkinan
penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten & Cameron,
dalam Lasmahadi, 2005)
E.
Proses Pemecahan Masalah
Dalam
memecahkan masalah ada beberapa tahap yang dilalui. Polya menyarankan
tahap-tahap tersebut sebagai berikut; (1) Memahami soal atau masalah; (2)
Membuat suatu rencana atau cara untuk menyelesaikannya; (3) Melaksanakan
rencana; (4) Menelaah kembali terhadap semua langkah yang telah dilakukan
(Ruseffendi, 2006).
Memahami
masalah artinya membuat representasi internal terhadap masalah, yaitu
memberikan perhatian pada informasi yang relevan, mengabaikan hal-hal yang
tidak relevan, dan memutuskan bagaimana merepresentasikan masalah. Untuk
mempermudah memahami masalah dan mempermudah mendapatkan gambaran umum
penyelesaian, sebaiknya hal-hal yang penting hendaknya dicatat, dan kalau perlu
dibuatkan tabelnya atau pun dibuat sket atau grafiknya.
Membuat
suatu rencana atau cara untuk menyelesaikannya, maksudnya adalah merumuskan
model dari masalah secara kreatif. Untuk itu, perlu adanya aturan-aturan
tertentu yang dibuat oleh individu selama proses pemecahan masalah berlangsung
sehingga dapat dipastikan tidak akan ada satupun alternatif yang terabaikan.
Kemampuan ini sangat tergantung dari pengalaman individu dalam mengahadapi
suatu masalah. Semakin banyak variasi pengalaman seseorang, ada kecenderungan individu
lebih kreatif dalam menyusun rencana. Melaksanakan rencana, yaitu menyelesaikan
model masalah yang telah dirumuskan.
Dengan kata lain individu meyelesaikan masalah itu dengan cara yang telah dirumuskan pada
tahap dua. Menelaah kembali terhadap semua langkah yang telah dilakukan, yaitu
berkaitan dengan hasil akhirdan semua keuntungan dan kerugiannya, memeriksa
setiap langkah kerja, termasuk juga melihat alternatif penyelesaian yang lebih
baik.
F.
Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kreatif
Berpikir
kreatif dapat menolong seseorang untuk meningkatkan kualitas dan keefektifan
kemampuan pemecahan masalahnya (Evan, J. R., 1991), sebaliknya pemecahan
masalah dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif (Briggs, M. dan
Davis, S., 2008). Kretivitas merupakan bentuk yang paling tinggi dari fungsi
mental (Lang dan Evans, D. N. 2006). Hambatan untuk berpikir kreatif yang
sering menghantui pemikiran individu (contoh, Perawat) adalah
ketakutan-ketakutan sosial, takut berbuat salah, kurang percaya diri, atau
meyakini bahwa mereka tidak kreatif (Lang dan Evans, D. N. 2006).
Munandar
(1999), menjelaskan mengapa berpikir kreatif atau kreatifitas penting dalam
hidup. Antara lain, karena dengan berkreasi orang dapat
mewujudkan dirinya, dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok
dalam hidup manusia. Hal ini diperkuat oleh Maslow 1968 (dalam Munandar S
1999), bahwa kreatifitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi
sepenuhnya dalam perwujudan dirinya. Orang yang sehat mental, yang bebas dari
hambatan-hambatan, dapat mewujudkan diri sepenuhnya. Hal ini berarti ia
berhasil mengembangkan dan menggunakan semua bakat dan kemampuannya dan dengan
demikian memperkaya hidupnya.
Selain
itu, kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk melihat
bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Karena itu,
pemikiran kreatif perlu dilatih agar anak mampu berpikir lancar (fluency)
dan luwes (flexibility), mampu melihat masalah dari berbagai sudut
pandang dan mampu melahirkan bebagai ide. Memiliki pikiran yang kreatif dapat
memberikan kepuasan kepada individu. Kita dapat mengamati anak-anak yang sedang
bermain bongkar-pasang, pada saat mereka menghasilkan suatu kombinasi baru,
dengan bangganya mereka mempertunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya.
Kreativitas
memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam era globalisasi ini
tak dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara
kita bergantung pada sumbangan kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan
baru dan teknologi baru dalam anggota masyarakatnya. Untuk mencapai itu
perlulah sikap dan prilaku kreatif dipupuk sejak dini, agar perawat kelak tidak
hanya menjadi konsumen pengetahuan, tetapi mampu menghasilkan pengetahuan
baru, tidak hanya pencari kerja tetapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan
baru.
Bentley
(dalam McGregor 2007) menambahkan bahwa pemecahan masalah dapat membantu anak
untuk berfikir fleksibel dan dapat mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan
dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, Gagne
(1970) mengemukakan bahwa pembelajaran pemecahan masalah dapat meningkatkan dan
mengembangkan intelektual tingkat tinggi (dalam Jica, 2001).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar