Minggu, 20 Mei 2012


PSIKOLOGI KESEHATAN

By Dhen Bagoes Housain
BERPIKIR KREATIF DAN
PEMECAHAN MASALAH SECARA KREATIF

A.    Pengertian Berpikir
Sebelum meninjau tentang berpikir kreatif dan pemecahan masalah, terlebih dahulu kita pahami tentang apa itu berpikir. Kata berpikir merupakan kata yang familiar, baik dalam kehidupan sehari-hari maupun dalam dunia pendidikan. Menurut Presseisen (2001), berpikir secara umum diasumsikan sebagai proses kognitif, aksi mental ketika pengetahuan diperoleh. Sementara, menurut Fisher (dalam Ratnaningsih, 2007), berpikir berkaitan erat dengan apa yang terjadi dalam otak manusia dan fakta-fakta yang ada di dunia, berpikir mungkin bisa divisualisasikan, dan berpikir (apabila diekspresikan) bisa diobservasi dan dikomunikasikan.
Berpikir bisa terjadi di dalam alam sadar dan bisa juga terjadi di bawah alam sadar. Jika berpikir terjadi di bawah alam sadar, maka otak tidak mengetahui bahwa ia sedang berpikir, atau jika  ia mengetahui itu, maka ia tidak mengetahui apa yang sedang dipikirkan. Jika berpikir terjadi didalam alam sadar, maka otak mengetahui bahwa itu adalah berpikir dan apa yang sedang dipikirkan.
Beyer, (1984, dalam Presseisen, 2001), mengemukakan bahwa berpikir merupakan manipulasi mental terhadap input dari panca indera untuk merumuskan pikiran, memberi alasan, atau penilaian. Maskanian, (1992), mengemukakan definisi berpikir secara umum, yaitu; menyusun pemikiran dan gagasan dengan penalaran, membentuk sebuah pendapat, menilai, mempertimbangkan, mempekerjakan dan membawa panca indera intelektual seseorang untuk bekerja, memusatkan pikiran seseorang pada suatu subjek yang diberikan.
Lebih rinci, Sagala (2003) mengemukakan bahwa berpikir merupakan proses dinamis yang menempuh tiga langkah berpikir yaitu: (1) pembentukan pengertian, yaitu melalui proses mendeskripsikan ciri-ciri objek yang sejenis, meklasifikasi ciri-ciri yang sama, mengabstraksi dan menyisihkan, membuang, dan menganggap ciri-ciri yang hakiki; (2) pembentukan pendapat, yang dirumuskan secara verbal berupa pendapat menolak, menerima atau mengiakan, dan pendapat asumtif, yaitu mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan suatu sifat pada suatu hal; dan (3) Pembentukan keputusan atau kesimpulan sebagai hasil pekerjaan akal. Sementara, Ibrahim dan Nur (2000), mendefinisikan berpikir sebagai kemampuan untuk menganalisis, mengkritik, dan mencapai kesimpulan berdasar pada inferensi atau pertimbangan yang saksama.
Guilford (dalam Evan, 1991), mengelompokkan kemampuan berpikir ke dalam dua kelompok utama, yaitu; kemampuan memory dan kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir dibedakan pula ke dalam tiga kategori, yaitu; kognitif, produktif, dan evaluatif. Kemampuan produktif terdiri dari dua jenis yaitu; konvergen dan divergen. Berpikir konvergen mengarah kepada suatu jawaban konvensional atau yang ditentukan. Sebaliknya, berpikir divergen bergerak ke berbagai arah, tidak terhadap jawaban yang diberikan. Berpikir konvergen fokus pada satu solusi yang benar, sedangkan berpikir divergen menghasilkan solusi yang bervariasi. Berpikir kreatif termasuk jenis berpikir divergen.
B.     Kegiatan Berpikir Kreatif
Berbicara tentang berpikir kreatif tentu tidak terlepas dari apa yang disebut dengan kreativitas. Menurut Murdock dan Puccio (2001), istilah berpikir kreatif dan kreativitas merupakan dua hal yang tidak indentik, namun kedua istilah itu berelasi secara konseptual. Kreativitas merupakan konstruk payung sebagai produk kreatif dari individu yang kreatif, memuat tahapan proses berpikir kreatif, dan lingkungan kondusif untuk berlangsungnya berpikir kreatif.
Menurut Munandar (1999), berpikir kreatif adalah kemampuan -berdasarkan data atau informasi yang tersedia- menemukan banyak kemungkinan jawaban terhadap suatu masalah, dimana penekanannya adalah pada kuantitas, ketepatgunaan, dan keragaman jawaban. Makin banyak kemungkinan jawaban yang dapat diberikan terhadap suatu masalah makin kreatiflah seseorang, tentunya dengan memperhatikan mutu atau kualitas dari jawaban tersebut. Secara operasional, Munandar mengemukakan; berpikir kreatif merupakan kemampuan yang mencerminkan kelancaran, keluwesan (fleksibilitas), orisinalitas dalam berpikir, serta kemampuan untuk mengelaborasi (mengembangkan, memperkaya, memperinci) suatu gagasan dan kemampuan memberikan penilaian atau evaluasi terhadap suatu obyek atau situasi.
Pendapat yang serupa dikemukakan Cotton, K (1991, dalam Pelita Pascasarjana, 2008), bahwa berpikir kreatif memiliki karakteristik sebagai berikut: fluency (membangun banyak ide), flexibility (dapat merubah-ubah pandangan dengan mudah), originality (menghasilkan sesuatu yang baru), dan elaboration (membangun ide-ide berdasarkan ide-ide yang lain).
Pendapat lain, dikemukakan oleh Johnson, (2002); berpikir kreatif  merupakan sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan-kemungkinan baru, membuka sudut pandang yang menakjubkan, dan membangkitkan ide-ide yang tidak terduga. Intuisi bisa membisikan kepada kita untuk memecahkan sebuah soal matematika dengan cara yang berbeda, atau menyelidiki sebuah proyek dari sudut pandang yang tidak biasa. Einstein (dalam Johnson, E.B., 2002), mengatakan bahwa intuisi adalah penggerak utama yang menjadikannya menemukan teori relativitas.
Berpikir kreatif berkaitan dengan berfikir divergen dan berfikir orisinal. Berfikir kreatif dapat digambarkan sebagai bentuk kombinasi baru dari ide-ide untuk memenuhi suatu kebutuhan atau sebagai berfikir dengan cara memproduksi hasil yang orisinal dan tepat. Sesuatu dapat menjadi orisinal bagi seseorang, dan tidak harus original untuk semua orang (Lang dan Evans, D. N. 2006). Kata “orisinal” dalam kaitan dengan kreativitas tidak perlu diartikan sesuatu yang benar-benar baru (sebelumnya belum pernah ada), tetapi dapat saja hasil ciptaannya itu merupakan kombinasi dari apa-apa yang telah ada sebelumnya. Atau mungkin pula sesuatu yang baru itu hanya baru bagi orang tersebut, jadi mungkin saja bagi orang lain bukan hal yang baru (Anderson, 1970, dalam Wahidin, 2009).
Berpikir kreatif memuat aspek kognitif  (aptitude), afektif (nonaptitude) dan metakognitif. Williams, (1980, dalam Killen, R, 1998), mengemukakan delapan prilaku siswa berkaitan dengan berpikir kreatif. Empat diantaranya berhubungan dengan aspek kognitif yaitu; keterampilan berpikir lancar (fluency), keterampilan berpikir luwes (flexibility), keterampilan berpikir orisinil (originality), dan keterampilan mengelaborasi (elaboration). Empat lagi berhubungan dengan aspek afektif, yaitu; mau mengambila resiko (Risk taking), senang dengan kompleksitas (complexity), memiliki rasa ingin tahu (curiosity), dan suka berimajinasi (imajination).
Keterampilan berpikir lancar (fluency), yaitu kemampuan untuk mencetuskan banyak ide, hasil, dan respon. Keterampilan berpikir luwes (flexibility) yaitu kemampuan untuk menggunakan pendekatan yang berbeda, membangun berbagai gagasan, mampu merubah-ubah arah pemikiran atau pendekatan, dan menyesuaikan dengan situasi yang baru. Keterampilan berpikir orisinil (originality) yaitu kemampuan untuk membangun sesuatu yang baru, yang tidak biasa, ide-ide cerdas yang berbeda dengan cara-cara yang sudah lumrah. Mampu membuat kombinasi-kombinasi yang tidak lazim dari bagian-bagian atau unsur-unsur.  Keterampilan mengelaborasi (elaboration) yaitu kemampuan untuk merinci, memperluas, atau menambah ide-ide atau hasil.
Mau mengambil resiko (Risk taking), maksudnya siap menerima kegagalan dan kritikan, berani melakukan tebakan, dan berani mempertahankan ide-ide sendiri. Senang dengan kompleksitas (complexity), maksudnya mencoba berbagai alternative, membawa persoalan ke luar dari kerumitan, dan menyelidiki ke dalam permasalahan atau gagasan-gagasan yang kompleks. Rasa ingin tahu (curiosity), maksudnya kemauan untuk memiliki rasa ingin tahu dan yang mengherankan (aneh), suka mengotak-atik ide, suka terhadap situasi yang menimbulkan teka-teki. Suka berimajinasi (imajination), maksudnya mempunyai daya untuk memvisualisasikan dan membangun mental images (bayangan-bayangan mental) dan  menjangkau di luar batasan-batasan riil atau sensual.
Kemudian Munandar (1999) menambahkan point kelima dari aspek kognitif (aptitude) dengan keterampilan menilai (evaluation), yaitu kemampuan memberikan penilaian atau evaluasi terhadap suatu obyek atau situasi. Menentukan patokan penilaian sendiri dan menentukan apakah suatu pertanyaan benar, suatu rencana sehat, atau suatu tindakan bijaksana. Untuk aspek afektif (nonaptitude), Munandar menambahkan dengan sifat menghargai, seperti: menghargai kesempatan-kesempatan yang diberikan; menghargai makna orang lain; menghargai hak-hak sendiri dan hak-hak orang lain; dll.
Kreatif dalam matematika mempunyai perbedaan dengan kreatif pada pada seni. Sesuatu yang “aneh”, misalkan angka 3 disimbolkan dengan tanda “***” dapat dipandang kreatif dalam seni tetapi tidak dalam matematika. Jika seseorang  dapat menemukan teorema baru atau menciptakan suatu struktur baru dalam matematika, maka seseorang itu dapat dikatakan kreatif dalam matematika. Selain itu, dalam pendidikan matematika jika seseorang dapat menyelesaikan suatu masalah dengan beberapa cara atau jawaban, maka seseorang itu dapat juga disebut kreatif. Belajar matematika memungkinkan menjadikan seseorang kreatif jika ia dihadapkan pada suatu situasi yang menantang dan ia dapat memberikan berbagai alternatif jawaban maupun penyelesaian.
Memperhatikan karakteristik yang termuat dalam berpikir kreatif, dapat dipahami bahwa berpikir kreatif merupakan bagian keterampilan hidup yang perlu dikembangkan dalam menghadapi era informasi dan suasana bersaing semakin ketat. Pemikiran kreatif perlu dilatih karena membuat anak lancar dan luwes dalam berpikir, mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan mampu melahirkan banyak gagasan. Manusia yang kreatif sangat memungkinkan dapat meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam era globalisasi ini tak dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara kita bergantung pada sumbangan kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru dan teknologi baru dalam anggota masyarakatnya.
C.     Pengertian Masalah dan Pemecahan Masalah Secara Kreatif
Pemecahan masalah adalah formulasi jawaban baru, keluar dari aplikasi peraturan yang dipelajari sebelumnya untuk menciptakan solusi. Pemecahan masalah adalah apa yang terjadi ketika respon rutin dan otomatis tidak sesuai dengan kondisi yang ada (Woolfolk & Nicholich, 2004:320).
Santrock (2005:356) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan upaya untuk menemukan cara yang tepat dalam mencapai tujuan ketika tujuan dimaksud belum tercapai (belum tersedia). Sementara itu, Davidoff (1988:379) mengemukakan bahwa pemecahan masalah adalah suatu usaha yang cukup keras yang melibatkan suatu tujuan dan hambatan-hambatannya. Seseorang yang menghadapi satu tujuan akan menghadapi persoalan dan dengan demikian dia akan terpacu untuk mencapai tujuan itu dengan menggunakan berbagai cara.
Hunsacker (Lasmahadi, 2005) mengemukakan bahwa pemecahan masalah merupakan suatu proses penghilangan perbedaan atau ketidak-sesuaian yang terjadi antara hasil yang diperoleh dan hasil yang diinginkan. Salah satu bagian dari proses pemecahan masalah adalah pengambilan keputusan (decision making), yang didefinisikan sebagai memilih solusi terbaik dari sejumlah alternatif yang tersedia. Pengambilan keputusan yang tidak tepat, akan mempengaruhi kualitas hasil dari pemecahan masalah yang dilakukan. Munandar (Rosalina, 2008) mengatakan bahwa kreatifitas merupakan kemampuan membuat kombinasi baru berdasarkan data informasi atau unsur-unsur yang ada.
Pemecahan masalah secara kreatif merupakan upaya pemecahan suatu masalah dengan menggunakan cara-cara yang kreatif dan revolusioner (mengkombinasikan berbagai teknik dan metode), sehingga hasilnya lebih signifikan. Cara-cara kreatif dimaksud merupakan cara atau metode yang baru dan komprehensif dan cenderung eksentrik. Metode demikian merupakan suatu penjabaran dari metode-metode yang telah ada sekaligus sebagai upgrading dari metode-metode yang telah ada.
Aplikasi metode pemecahan masalah secara kreatif lahir dari satu bentuk pemikiran (mindset) yang menerobos kleaziman paradigma tertentu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah kreatif merupakan upaya pemecahan masalah dengan metode (cara) yang efektif dan komprehensif.
Berbicara tentang pemecahan masalah secara kraetif  tentu tidak terlepas dari masalah itu sendiri. Suatu masalah biasanya memuat suatu kondisi yang mendorong seseorang untuk cepat menyelesaikannya akan tetapi tidak tahu secara langsung bagaimana menyelesaikannya. Jika suatu persoalan diberikan kepada seorang anak dan anak tersebut dapat menyelesaikan dengan prosedur strategi tertentu, maka persoalan itu belum bisa dikatakan sebagai masalah. Suatu masalah dapat diartikan sebagai suatu situasi  dimana seseorang diminta menyelesaikan persoalan yang baru bagi orang itu, dan belum memahami cara penyelesaiannya.
Pemecahan masalah secara kraetif mempunyai berbagai interpretasi. Menurut Baroody (1993), ada tiga interpretasi pemecahan masalah yaitu: pemecahan masalah sebagai pendekatan (approach),  tujuan (goal), dan proses (process) pembelajaran. Pemecahan masalah sebagai pendekatan maksudnya pembelajaran diawali dengan masalah, selanjutnya individu diberi kesempatan untuk menemukan dan merekonstruksi konsep-konsep dirinya sendiri. Pemecahan masalah sebagai tujuan berkaitan dengan pertanyaan mengapa harus ada masalah dan apa tujuan harus diselesaikan. Pemecahan masalah sebagai proses adalah suatu kegiatan yang lebih mengutamakan pentingnya prosedur langkah-langkah, strategi/cara yang dilakukan individu untuk menyelesaikan masalah sehingga menemukan jawaban. Walaupun terdapat beberapa interpretasi pemecahan masalah, namun dalam prakteknya semua itu saling melengkapi.
D.    Teknik dan Pemecahan Masalah Secara Kreatif
Dalam proses berpikir kreatif untuk memecahkan suatu masalah, ada beberapa tahapan yang dilalui, yaitu (Admin, 2007):

·         Tahap Persiapan.
Dalam masa persiapan, seorang pemikir atau kreator memformulasikan masalahnya dan mengumpulkan semua fakta dan data yang dibutuhkan untuk memecahkan masalah. Kadang-kadang meski telah lama berkonsentrasi lama, pemecahan masalah belum muncul juga ke dalam benaknya.
·         Tahap Inkubasi.
Jika pemikir kemudian mengalihkan perhatian dari persoalan yang sedang dihadapinya tersebut berarti ia telah memasuki tahap inkubasi. Pada tahap ini, ide-ide yang mencampuri dan mengganggu cenderung menghilang. Sementara itu, pemikir mendapat pengalaman baru. Pengalaman tersebut dapat menambah kunci bagi pemecahan masalah.
·         Tahap Iluminasi.
Pada periode ini, pemikir mengalami insight atau "Aha!". Seketika cara pemecahan masalah muncul dengan sendirinya
·         Tahap Evaluasi.
Evaluasi terjadi setelah muncul pemecahan masalah, tujuannya adalah untuk menilai apakah pemecahan masalah tersebut sudah tepat. Seringkali pemecahan masalah yang muncul tidak tepat, sehingga pemikir harus memulai lagi dari awal pentahapan.
·         Tahap Revisi.
Tahap ini ditempuh bila cara pemecahan masalah tersebut belum tepat atau mungkin masih memerlukan penyesuaian dan perbaikan-perbaikan pada beberapa aspek agar pemecahan masalah menjadi lebih tepat dan efektif.
Wessels (Woolfolk & Nicolich, 2004:321) mengemukakan bahwa dalam memecahkan masalah, ada empat langkah yang ditempuh, yaitu:
Ø  Memahami masalah
Langkah pertama yang dilakukan adalah dengan memahami secara tepat masalah yang sedang dihadapi. Untuk memahami masalah, diperlukan representasi situasi akurat tentang masalah yang sedang dihadapi. Pada tahap ini, individu perlu melakukan diagnosis terhadap sebuah situasi, peristiwa atau kejadian, untuk memfokuskan perhatian pada masalah sebenarnya, bukan pada gejala-gejala yang muncul (Lasmahadi, 2005). Pada beberapa masalah, perlu digunakan diagram atau notasi tertentu (misalnya x, y, dan z) untuk mempermudah identifikasi dan pemahaman masalahnya (Kangguru, 2007).
Ø  Menyeleksi solusi
Setelah menentukan akar masalah yang sedang dihadapi, maka langkah selanjutnya adalah merencanakan strategi pemecahan yang akan dan mungkin dapat ditempuh. Copi (Woolfolk & Nicolich, 2004: 324) mengemukakan bahwa salah satu metode yang cukup tepat untuk diaplikasikan adalah pemikiran analitik (membuat alasan dengan analogi). Metode ini memberi batas pencarian solusi pada situasi yang memiliki beberapa kesamaan dengan dengan situasi yang sedang dihadapi.
Ø  Memutuskan rencana
Tahap ini ditandai dengan pemilihan dan pengaplikasian suatu rencana yang telah diseleksi dan dianalisis secara matang untuk memecahkan suatu masalah. Memutuskan rencana berarti individu telah mempertimbangkan semua kemungkinan dari masing-masing solusi yang ada dan memilih solusi yang dianggap terbaik dari sekian solusi yang ada.
Ø  Mengevaluasi hasil
Tahapan selanjutnya adalah mengevaluasi hasil yang telah dicapai. Tahap ini meliputi verifikasi fakta, baik yang menguatkan maupun yang melemahkan pilihan-pilihan yang ada.
Treffinger (Munandar, 1995:213) mengemukakan bahwa teknik kreatif dalam pemecahan masalah dikelompokkan dalam tiga tingkatan model belajar kreatif. Teknik pertama dimulai dengan memberikan pemanasan (warming up), kemudian dilanjutkan dengan teknik sumbang saran (brainstorming). Teknik kedua yaitu teknik synecitics dan futuristics. Sedangkan teknik ketiga adalah teknik pemecahan masalah (solve the problem) secara kreatif dengan metode Parnes dan metode Shallcross.
1.      Teknik kreatif tingkat pertama
a.       Pemanasan (warming up session)
Upaya pemecahan masalah secara kreatif membutuhkan langkah pendahuluan (pre-session) sebagai persiapan pada penetrasi lanjutan. Untuk menumbuhkan iklim atau suasana kreatif dalam kelas yang memungkinkan siswa untuk lebih tenang, merasakan kebebasan, serta adanya perasaan aman dalam mengungkap pikiran dan perasaannya, guru atau pendidik dianjurkan melakukan “pemanasan”, misalnya siswa yang sebelumnya dituntut untuk mengerjakan berbagai tugas yang terstruktur, maka siswa memerlukan switch (pengalihan) mental dari proses pemikiran reproduktif dan konvergen ke proses pemikiran divergen dan imajinatif (Munandar, 1995).
Gagasan untuk mengajak siswa untuk sejenak beralih ke masalah yang lebih imajinatif dan eksploratif merupakan suatu bentuk upaya eksklusif untuk menstimulasi kreatifitas siswa dalam menjawab suatu pertanyaan yang memberi kemungkinan banyak jawaban. Sasaran akhirnya adalah mencoba membuka cakrawala siswa dalam melihat suatu masalah; mengajak siswa melihat suatu hal atau masalah dari berbagai perspektif.
Pemanasan dapat dilakukan dengan mengajukan beberapa pertanyaan terbuka (opened questions) yang dapat membangkitkan minat dan rasa ingin tahu (curiosity) siswa. Cara lain yang dapat ditempuh adalah mengajukan pertanyaan terhadap suatu masalah, misalnya pertanyaan mengenai penyebab seringnya terjadi perkelahian antar siswa di sekolah (Munandar, 1995).
b.      Sumbang saran (brainstorming)
Teknik sumbang saran merupakan teknik yang dikembangkan oleh Alex F. Osborn, yaitu suatu teknik yang untuk meningkatkan gagasan jika diajarkan dan diterapkan dengan tepat (Shallcross, dalam Munandar, 1995:214; Admin, 2007). Brainstorming merupakan teknik pemecahan masalah yang menghasilkan gagasan yang mencoba mengatasi segala hambatan dan kritik. Kegiatan tersebut mendorong timbulnya banyak gagasan, termasuk gagasan yang menyimpang, liar, dan berani, dengan harapan bahwa gagasan tersebut dapat menghasilkan gagasan yang baik dan kreatif. Teknik ini cenderung menghasilkan gagasan baru yang orisinal untuk menambah jumlah gagasan konvensional yang ada (Sulistiati, 2007).
Osborn (Munandar, 1995:214) menentukan empat aturan dasar dalam teknik sumbang sarang, yaitu:
Ø  Kritik tidak dibenarkan atau ditangguhkan
Asas pertama dari konsep berpikir divergen adalah meniadakan sensor untuk kurun waktu tertentu, karena hal tersebut dampak menghambat kelancaran proses asosiasi (Admin, 2007). Hal ini dimaksudkan pula untuk mencegah terhambatnya sintesis gagasan atau pemikiran yang muncul dari benak setiap individu yang melakukan sumbang saran. Selain itu, kritik yang diberikan terlalu cepat kepada setiap gagasan yang muncul dapat menghambat kreatifitas karena kesempatan bagi munculnya gagasan lain menjadi berkurang. Individu pun akan lebih selektif dalam mensintesis suatu gagasan, sehingga jumlah gagasan yang muncul menjadi berkurang.
Ø  Kebebasan dalam memberikan gagasan
Diperlukan iklim tertentu agar seseorang merasa bebas dan nyaman dalam mensintesis suatu gagasan. Apresiasi terhadap individu lain merupakan hal yang sangat penting, terutama ketika individu yang bersangkutan mengungkapkan suatu gagasan.
Ø  Gagasan sebanyak mungkin
Dalam konteks ini, dikenal asas (quantity breeds quality), yaitu semakin banyak gagasan yang dimunculkan, maka semakin besar kemungkinan adanya gagasan yang berkualitas dan efektif dalam menyelesaikan masalah yang sedang dihadapi. Munandar (Admin, 2007) mengemukakan bahwa gagasan yang baik biasanya muncul bukan pada saat-saat awal dalam tahap pemberian gagasan. Dengan demikian, ada kesempatan bagi pikiran kita untuk mengembara, mencari kemungkinan gagasan lebih jauh untuk memunculkan gagasan orisinal dan kreatif.
Ø  Kombinasi dan peningkatan gagasan
Dalam teknik sumbang saran gagasan yang muncul dari satu individu tidak jarang merupakan penjabaran atau pengembangan dari gagasan individu lainnya. Dengan demikian, teknik sumbang saran memberikan peluang yang lebih besar bagi munculnya gagasan-gagasan terbaik.
c.       Pertanyaan yang memacu gagasan
Teknik ini dikenal dengan istilah daftar periksa (checklist) yang dikembangkan oleh Alex Osborn untuk meningkatkan kuantitas dan kualitas gagasan. Pertanyaan-pertanyaan yang berupa kata kerja “manipulatif” akan membantu individu dalam mengembangkan gagasan kreatif melalui proses asosiasi dan memanipulasi informasi dan gagasan untuk menghasilkan ide yang orisinil (Munandar, 1995:217).
Daftar pertanyaan Osborn diarahkan kepada sembilan aspek yang ingin diketahui, yaitu (Shallcross, dalam Munandar, 1995:217):
·         Digunakan untuk hal-hal lain (put to other uses). Misalnya: Apa yang dapat Anda lakukan dengan 100 roda dari sepatu roda?
·         Menyesuaikan (adapt). Misalnya: Apa saja yang dapat digunakan sebagai tempat duduk?
·         Mengubah (modify). Misalnya: Apa saja yang dapat Anda pikirkan agar pergi ke dokter gigi lebih menyenangkan?
·          Memperbesar (magnify). Misalnya: Bagaimana bila ulang tahun dirayakan tiga kali dan tidak hanya sekali dalam setahun?
·         Memperkecil (minify). Misalnya: Bagaimana jika seseorang hanya memiliki tinggi badan 30 cm?
·         Mengganti (substitute). Misalnya: Apa yang terjadi jika sepeda dapat terbang di udara?
·         Menyusun kembali (rearrange). Misalnya: Bagaimana jika Anda belajar di sekolah pada malam hari dan tidur di siang hari?
·         Membalik (reverse). Misalnya: Bagaimana rasanya jika menulis kata-kata dalam bahasa Indonesia dari kanan ke kiri?
·          Menggabung (combine). Misalnya: Penemuan apa yang dapat Anda hasilkan dengan menggabung mobil, kulkas, dan sepeda motor?
2.      Teknik kreatif tingkat kedua
a.       Synectics (sinektik)
Teknik sinektik dikembangkan oleh Willian J. J. Gordon dan merupakan teknik yang menggunakan analogi dan metafora (kiasan) untuk membantu individu menganalisis masalah dan melihat suatu masalah dari berbagai perspektif (Feldhusen & Treffinger, dalam Munandar, 1995:219; Sulistiyati, 2007). Sinektik dimaksudkan untuk menghentikan kebiasaan lama serta gagasan usang dan untuk memperkenalkan suasana rileks ke dalam proses penggalian ide. Proses sinektik mencoba membuat sesuatu yang “asing” menjadi “akrab”, begitupun sebaliknya (Sulistiyati, 2007).
Ada tiga jenis analogi yang diaplikasikan dalam sinektik, yaitu analogi fantasi, analogi langsung, dan analogi pribadi. Analogi yang lazim digunakan adalah analogi fantasi, yaitu analogi yang memungkinkan individu mencari pemecahan (solusi) yang ideal terhadap suatu masalah meskipun sepintas solusi tersebut terlihat aneh dan melanggar kelaziman. Analogi langsung merupakan bentuk analogi antara satu masalah dengan masalah lain yang linier dalam kehidupan nyata. Analogi pribadi merupakan bentuk analogi yang menuntut individu untuk menempatkan dirinya (memainkan peran) dalam masalah yang sedang dihadapi (Munandar, 1995).
Teknik sinektik merupakan cara yang menyenangkan dan efektif untuk melibatkan siswa dalam diskusi yang elaboratif dan imajinatif yang menghasilkan pemecahan masalah yang tidak lazim namun aplikatif. Setiap topik dari permasalahan dapat dibahas dalam diskusi kelompok kecil maupun kelompok besar. Melalui sinektik, siswa dapat belajar strategi yang bermakna untuk memecahkan masalah (Munandar, 1995).
b.      Futuristics
Futuristics (futuristik) merupakan teknik kreatif yang membantu individu (siswa) meningkatkan dan mengaplikasikan segenap potensi dan kemampuannya untuk mencipta masa depan (Munandar, 1995:221). Toffler (Munandar, 1995:221) mengemukakan bahwa siswa perlu dibantu dalam mengasosiasikan perubahan yang akan terjadi di dunia dengan perubahan dalam kehidupan mereka sendiri. Toffler menemukan bahwa siswa sekolah menengah dengan segera dapat menemukenali berbagai perubahan yang akan terjadi di masa depan (forecast). Akan tetapi, bila siswa-siswa tersebut diminta mendaftar tujuh peristiwa yang mungkin terjadi pada mereka di masa depan, jawaban yang diberikan tidak menunjukkan indikasi kehidupan yang berubah. Lebih lanjut, Toffler melaporkan adanya kesenjangan antara pengamatan siswa tentang perubahan cepat di dalam lingkungan dan pemahaman bahwa perubahan tersebut berdampak secara signifikan terhadap kehidupan pribadi mereka.
Pendekatan dalam menggunakan futuristik dengan siswa berbakat agak berbeda dari yang digunakan kebanyakan guru di dalam kelas biasa. Dalam mengajar futuristik, dipandang suatu falsafah mengajar yang futuristik, yaitu pengajaran yang tidak hanya berorientasi kekinian, tetapi juga beorientasi masa depan. Falsafah demikian dimaksudkan untuk meningkatkan pembelajaran pada semua mata pelajaran maupun segala bidang dalam kehidupan sehari-hari (Munandar, 1995:221). Sisk (Munandar, 1995:221) mengemukakan bahwa salah satu cara untuk menggambarkan proses penyerapan unsur pembelajaran futuristik secara menyeluruh adalah dengan membayangkan “garis waktu”. Garis waktu berfungsi untuk menemukenali asosiasi antara informasi masa lalu, masa kini, dan masa akan datang.
Munandar (2000:222) mengemukakan bahwa tujuan khusus pengajaran dengan filosofi futuristik adalah:
Ø  Memberikan siswa paradigma (cara pikir dan cara pandang) tentang masa depan yang lebih komprehensif.
Ø   Membekali siswa dengan keterampilan dan konsep yang perlu untuk memahami kompleksitas berbagai sistem.
Ø  Membantu siswa dalam menemukenali dan memahami secara massif masalah-masalah utama yang muncul di masa yang akan datang.
Ø  Membantu siswa memahami perubahan dan bagaimana menghadapinya.
3.      Teknik kreatif tingkat ketiga
Pemecahan masalah secara kreatif (Creative Problem Solving Processes) dikembangkan oleh Parnes, Presiden dari Creative Problem Solving Foundation (CPS). Proses ini mencakup lima tahapan, yaitu menemukan fakta, menemukan masalah, menemukan gagasan, menemukan solusi, dan menemukan penerimaan (Munandar, 1995:225).
a.       Tahap menemukan fakta
Tahap menemukan fakta merupakan tahap mendaftar semua fakta yang diketahui mengenai masalah yang ingin dipecahkan dan menemukan data baru yang diperlukan.
b.      Tahap menemukan masalah
Tahapan ini merupakan tahap dimana individu merumuskan masalah melalui pertanyaan-pertanyaan simplistik tertentu, misalnya “Dengan cara apa saya harus mengatasinya?”. Dengan demikian, individu dapat mengembangkan masalahnya dengan mengidentifikasi sub-sub masalah, sehingga masalah dapat dirumuskan kembali.
c.       Tahap menemukan gagasan
Tahap dimana individu berupaya mengembangkan gagasan pemecah masalah sebanyak mungkin.
d.      Tahap menemukan solusi
Gagasan yang dihasilkan pada tahap sebelumnya diseleksi berdasar kriteria evaluasi yang berpautan dengan masalah yang dihadapi. Masing-masing gagasan dinilai berdasar kriteria yang telah ditentunkan.
e.       Tahap menemukan penerimaan
Menyusun rencana tindakan agar pihak yang mengambil keputusan dapat menerima gagasan tersebut dan melaksanakannya (Munandar, 1995:225). Dalam upaya menerapkan berbagai solusi terhadap suatu masalah, seseorang perlu lebih sensitif terhadap kemungkinan terjadinya resistensi dari orang-orang yang mungkin terkena dampak dari penerapan tersebut. Hampir pada semua perubahan, terjadi resistensi, karena itulah seorang yang piawai dalam melakukan pemecahan masalah akan secara hati-hati memilih strategi yang akan meningkatkan kemungkinan penerimaan terhadap solusi pemecahan masalah oleh orang-orang yang terkena dampak dan kemungkinan penerapan sepenuhnya dari solusi yang bersangkutan (Whetten & Cameron, dalam Lasmahadi, 2005)
E.     Proses Pemecahan Masalah
Dalam memecahkan masalah ada beberapa tahap yang dilalui. Polya  menyarankan tahap-tahap tersebut sebagai berikut; (1) Memahami soal atau masalah; (2) Membuat suatu rencana atau cara untuk menyelesaikannya; (3) Melaksanakan rencana; (4) Menelaah kembali terhadap semua langkah yang telah dilakukan (Ruseffendi, 2006).
Memahami masalah artinya membuat representasi internal terhadap masalah, yaitu memberikan perhatian pada informasi yang relevan, mengabaikan hal-hal yang tidak relevan, dan memutuskan bagaimana merepresentasikan masalah. Untuk mempermudah memahami masalah dan mempermudah mendapatkan gambaran umum penyelesaian, sebaiknya hal-hal yang penting hendaknya dicatat, dan kalau perlu dibuatkan tabelnya atau pun dibuat sket atau grafiknya.
Membuat suatu rencana atau cara untuk menyelesaikannya, maksudnya adalah merumuskan model dari masalah secara kreatif. Untuk itu, perlu adanya aturan-aturan tertentu yang dibuat oleh individu selama proses pemecahan masalah berlangsung sehingga dapat dipastikan tidak akan ada satupun alternatif yang terabaikan. Kemampuan ini sangat tergantung dari pengalaman individu dalam mengahadapi suatu masalah. Semakin banyak variasi pengalaman seseorang, ada kecenderungan individu lebih kreatif dalam menyusun rencana. Melaksanakan rencana, yaitu menyelesaikan model masalah  yang telah dirumuskan. Dengan kata lain individu meyelesaikan masalah  itu dengan cara yang telah dirumuskan pada tahap dua. Menelaah kembali terhadap semua langkah yang telah dilakukan, yaitu berkaitan dengan hasil akhirdan semua keuntungan dan kerugiannya, memeriksa setiap langkah kerja, termasuk juga melihat alternatif penyelesaian yang lebih baik.
F.     Kemampuan Pemecahan Masalah dan Berpikir Kreatif
Berpikir kreatif dapat menolong seseorang untuk meningkatkan kualitas dan keefektifan kemampuan pemecahan masalahnya (Evan, J. R., 1991), sebaliknya pemecahan masalah  dapat meningkatkan kemampuan berpikir kreatif (Briggs, M. dan Davis, S., 2008). Kretivitas merupakan bentuk yang paling tinggi dari fungsi mental (Lang dan Evans, D. N. 2006). Hambatan untuk berpikir kreatif yang sering menghantui pemikiran individu (contoh, Perawat) adalah ketakutan-ketakutan sosial, takut berbuat salah, kurang percaya diri, atau meyakini  bahwa mereka tidak kreatif (Lang dan Evans, D. N. 2006).
Munandar (1999), menjelaskan mengapa berpikir kreatif atau kreatifitas penting dalam hidup. Antara lain, karena dengan berkreasi orang dapat mewujudkan dirinya, dan perwujudan diri termasuk salah satu kebutuhan pokok dalam hidup manusia. Hal ini diperkuat oleh Maslow 1968 (dalam Munandar S 1999), bahwa kreatifitas merupakan manifestasi dari individu yang berfungsi sepenuhnya dalam perwujudan dirinya. Orang yang sehat mental, yang bebas dari hambatan-hambatan, dapat mewujudkan diri sepenuhnya. Hal ini berarti ia berhasil mengembangkan dan menggunakan semua bakat dan kemampuannya dan dengan demikian memperkaya hidupnya.
Selain itu, kemampuan berpikir kreatif merupakan kemampuan untuk melihat bermacam-macam kemungkinan penyelesaian terhadap suatu masalah. Karena itu, pemikiran kreatif perlu dilatih agar anak mampu berpikir lancar (fluency) dan luwes (flexibility), mampu melihat masalah dari berbagai sudut pandang dan mampu melahirkan bebagai ide. Memiliki pikiran yang kreatif dapat memberikan kepuasan kepada individu. Kita dapat mengamati anak-anak yang sedang bermain bongkar-pasang, pada saat mereka menghasilkan suatu kombinasi baru, dengan bangganya mereka mempertunjukkan kepada orang-orang di sekitarnya.
Kreativitas memungkinkan manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam era globalisasi ini tak dapat dipungkiri bahwa kesejahteraan dan kejayaan masyarakat dan negara kita bergantung pada sumbangan kreatif, berupa ide-ide baru, penemuan-penemuan baru dan teknologi baru dalam anggota masyarakatnya. Untuk mencapai itu perlulah sikap dan prilaku kreatif dipupuk sejak dini, agar perawat kelak tidak hanya menjadi konsumen pengetahuan, tetapi mampu menghasilkan  pengetahuan baru, tidak hanya pencari kerja tetapi mampu menciptakan lapangan pekerjaan baru.
Bentley (dalam McGregor 2007) menambahkan bahwa pemecahan masalah dapat membantu anak untuk berfikir fleksibel dan dapat mengembangkan kemampuan yang dibutuhkan dalam menghadapi tantangan dalam kehidupan sehari-hari. Selanjutnya, Gagne (1970) mengemukakan bahwa pembelajaran pemecahan masalah dapat meningkatkan dan mengembangkan intelektual tingkat tinggi (dalam Jica, 2001).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar